NILAI KETAUHIDAN DALAM QS AL QASHAAS : 77
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Tauhid dan Pembelajaran
Dosen Pengampu :
Dr. Hj. Marhumah,
Disusun Oleh :
Nurul Inayah (05410070-04)
Isnaeni Bashori (05410120)
Ahmad Ridlowi (06410060)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
Sesungguhnya setiap manusia mendambakan kehidupan bahagia, aman dan sejahtera. Tak satupun yang menginginkan kesusahan, terancam, dan sengsara. Inilah insting naluriah dan kebutuhan mendasar manusia yang selalu ingin digapai dengan bermacam cara menurut konsep hidup yang tertanam dalam fikirannya. Munculnya insting tersebut dikarenakan dorongan potensi nafsu yang sengaja Allah adakan bagi tiap insan. Dengan adanya nafsu, maka manusia akan berupaya mempertahankan eksistensi (keberadaannya) di dunia, karena nafsu diciptakan untuk melayani kebutuhan pokok manusia selaku makhluk hidup.
Kebahagiaan sifatnya kondisional. Jika seseorang sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka menurut pandangan ini tidak ada kebahagiaan yang abadi dalam jiwa manusia.
Dalam Islam, kebahagiaan bukan merujuk pada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani. Kebahagiaan dalam Islam ialah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinan itu. Seseorang yang yakin (iman) kepada Allah, maka ia akan bahagia dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Mereka akan merasa bahagia meskipun harus mempertahankan keyakinannya itu dengan taruhan nyawa. Sebagai contoh Bilal bin Rabah, ia merasa bahagia mempertahankan keimanannya merkipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun dijebloskan kedalam penjara dan dicambuk setiap hari.
Nah, dalam QS Al Qashaas 77 ini Allah SWT memerintahkan manusia untuk mencari kebahagiaan yang tidak melenakan dan tidak membuatnya syirik karena harta benda yang dimilikinya sebagaimana yang dialami oleh Qarun. Kebahagiaan yang diperintahkan Allah untuk mencarinya ialah kebahagiaan akhirat yang justru akan membuat kita lebih taat dan patuh kepada-Nya. Sehingga nilai ketauhidan dapat tetap tumbuh dalam jiwa manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bacaan QS. Al Qashaas : 77
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù 9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( wur [Ys? y7t7ÅÁtR ÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJ2 z`¡ômr& ª!$# øs9Î) ( wur Æ÷ö7s? y$¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
Artinya :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al Qashaas : 77)
B. Tafsiran Ayat
Ayat di atas sebenarnya memiliki kaitan yang erat dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat 76. Ayat tersebut mengisahkan tentang Karun dengan hartanya yang melimpah.
Menurut kebanyakan ulama ahli tafsir, karun yang dikisahkan dalam beberapa ayat ini adalah saudara sepupu Nabi Musa a.s. berkebangsaan Israel dan bukan berasal dari suku Qibthi (Gypsy, bangsa Mesir). Akan tetapi ia bersifat munafik terhadap Nabi Musa dan menjadi binasa karena kemunafikan dan kesombongannya sehubungan dengan kekayaannya yang melimpah yang dikaruniakan Allah kepadanya.[1]
Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi...
Harta benda itu adalah anugerah dari Allah SWT. Dengan adanya harta itu janganlah kita sampai lupa bahwa sesudah hidup ini kita akan mati. Sesudah dunia ini kita akan pulang ke akhirat. Harta benda dunia ini, sedikit ataupun banyak hanya semata-mata akan tinggal di dunia. Kalau kita mati kelak, tidak ada satupun yang akan dibawa keakhirat. Oleh karena itu pergunakanlah harta itu untuk membina hidup di akhirat kelak. Berbuat baiklah, nafkahkan rezeki yang dianugerahkan Allah itu kepada jalan kebajikan. Niscaya jika kita mati kelak akan menjadi amal yang berlipat ganda di sisi Allah. Dan yang untuk dunia janganlah pula dilupakan. Tinggallah dalam rumah yang baik, pakailah kendaraan yang baik dan moga-moga semuanya itu diberi puncak kebahagiaan dengan isteri yang setia.
Berbagai mufasir mencoba membuat penafsiran mengenai ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa nasib di dunia ini semata-mata hanyalah untuk menyiapkan kain kafan. Tetapi Ibnu Arabi memberikan tafsir yang lebih sesuai dengan roh Islam: “Jangan lupa bahagianmu di dunia, yaitu harta yang halal.”[2]
Dengan kata lain Islam menyuruh kita umat Islam untuk bekerja tidak hanya untuk akhirat saja tetapi juga untuk dunia. Dalam Islam dikenal dengan istilah tawazun (seimbang). Islam tidak mengajarkan manusia untuk hidup seperti pendeta atau biarawan yang melepaskan diri dari kehidupan dunia. Dalam Al Quran, Islam juga senantiasa mengingatkan kepada kita agar tidak berpangku tangan atau fasis dalam hidup ini. Memang Allah yang menentukan segalanya, tetapi manusia diwajibkan untuk selalu berusaha. Demikian pula dalam hadist Rosululloh saw. : “Kamu lebih tahu tentang urusan duniawimu.”
Bekerja untuk mencari rezeki hukumnya adalah wajib. Ummat Islam tidak boleh sampai menggantung hidupnya pada orang lain, senantiasa lemah dan malas. Namun demikian ummat Islam tidak boleh menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya. Islam adalah agama yang sarat dengan etika dan norma-norma sehingga ummat Islam adalah ummat yang beretika dan bermoral.
Jika kita bekerja untuk mencari rezeki yang halal dan kita infaqkan dengan jalan yang halal pula maka pada akhirnaya akan menjadi sumber dari kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan tidak ada kebahagiaan lain yang lebih menguntungkan dan melebihinya selain kebahagiaan dunia dan akhirat.
Akan tetapi mencari rezeki dengan jalan yang tidak halal (dengan jalan yang haram) dengan berbagai cara kita tempuh tanpa menghiraukan mana yang halal dan mana yang haram dan kita belanjakan pada jalan yang haram pula, maka kesemua itu akan menjadi sumber dari kecelakaan dan penderitaan didunia dan diakhirat. Rezeki yang dimilikinya tidak menjadi berkah tetapi justru menjadi laknat bagi pemiliknya.
Karena sumber penghasilan yang haram biasanya akan dibelanjakan dengan jalan yang haram pula. Dan dari rezeki yang haram tersebut akan menjadikan daging yang tumbuh dibadannya dan akan mempengaruhi perilakunya sehari-hari. Seperti sabda nabi Muhammad saw. “Ketahuilah bahwa dalam diri manusia itu ada segumpal daging apabila daging itu baik maka akan baik pula seluruh tubuh dan apabila daging itu jelek maka jelek pula seluruh tubuh itu ketahuilah daging itu adalah hati”
Yang terbaik ialah mencari rezki / harta yang halal kemudian membelanjakannya di jalan Allah (halal), seperti beramal, membantu orang yang sedang kesusahan, membangun masjid, dan sebagainya sehingga harta tersebut menjadi bekal kita di akhirat nantinya. Jangan sampai kekayaan yang kita miliki malah membuat kita jauh dari Allah, apalagi sampai menyekutukan-Nya.
“Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.”
Kebaikan Allah kepada kita tidaklah terhitung banyaknya. Sejak kita berada dalam kandungan, sampai kita datang ke dunia. Sampai dari tidak mempunyai apa-apa, lalu diberi rezeki berlipat ganda. Dalam hidup misalnya, kita diberi kebebasan untuk menghirup udara sebebasnya tanpa harus membayar sepeser pun, bahkan bumi ini pun diserahkan kepada manusia untuk dikelola tanpa Allah meminta imbalannya. “Maka nikmat Tuhan kamu yang nmanakah yang kamu dustakan?” Maka dari itu sudah sewajarnya pula jika kita berbuat kebaikan, yaitu IHSAN.
Ihsan ada dua. Pertama ihsan kepada Allah sebagimana yang tersebut dalam hadits Nabi ketika jibril menanyakan tentang Ihsan. Yaitu bahwa kita menyembah Allah seakan-akan kita melihat Allah itu sendiri. Dan meskipun kita tidak mungkin melihat-Nya namun Dia pasti melihat kita.
Kedua ialah Ihsan kepada sesama manusia. Yaitu hubungan yang baik, budi yang baik, penyelenggaraan yang baik, bermulut yang manis, berhati yang lapang, berbelas kasihan kepada fakir dan miskin. Kemudian disebut pula ihsan kepada diri sendiri, dengan mempertinggi mutu diri, memperteguh pribadi, guna mencapai kemanusiaan yang lebih, sempurna sehingga kita berguna dalam masyarakat.[3]
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.”
Segala perbuatan yang akan merugikan orang lain, yang akan memutuskan silaturrahmi, aniaya, mengganggu keamanan, menyakiti hati sesama manusia, membuat onar, menipu, mencari keuntungan semata untuk diri sendiri dengan melupakan kepentingan orang lain, semuanya itu adalah merusak.
“Sesungguhnya Allah tidaklah menyukai kepada orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Kalau Allah telah menyatakan bahwa ia tidak menyukai orang yang suka merusak di muka bumi, maka balasan Tuhan pasti datang, cepat ataupun lambat kepada orang yang demikian. Jangan dikira Tuhan tidak tahu dengan apa yang kita lakukan, Tolstoy mengatakan “Tuhan tahu, tapi menunggu”. Dan jika hukuman Tuhan datang, tidak akan ada seorang pun yang mempunyai kekuatan dan daya upaya untuk menangkisnya.
C. Nasehat Kaum Qarun Kepadanya
Sebenarnya Qarun adalah orang yang miskin papa tidak punya apa-apa, kemudian atas karunia Allah maka Qarun menjadi orang yang paling kaya diantara kaumnya. Namun kekayaan itu membuat dirinya lupa akan siapa dia sebenarnya, dan menyombongkan diri dengan kekayaannya itu, durhaka kepada Allah, dan bahkan menyekutukannya.
Karena sudah dianggap melampaui batas, maka kaum Qarun menasehatinya seperti yang tercantum dalam QS Al Qashaas 77 tersebut, yaitu :
1. Pergunakankah harta dan nikmat yang banyak yang diberikan Allah kepadamu ini untuk mentaati Tuhanmu dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai macam cara pendekatan yang mengantarkanmu kepada perolehan pahala-Nya. Ditegaskan dalam hadits yang
ا غثنم خمسا قبل خمس : شبا بك قبل هر مك و صحتك قبل سقمك , و غنا ك قبل فقر ك , و فرا غك قبل شغلك و حيا تك قبل مو تك
Artinya :
“Pergunakanlah lima perkara sebelum lima perkara lain datang, yaitu : masa mudamu sebelum masa tuamu, kesehatanmu sebelum sakitmu, kekayaanmu sebelum kemiskinanmu, kesengganganmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.”
2. Janganlah kamu meninggalkan bagianmu dari kesenangan dunia dari perkara makan, minum dan pakaian, karena Tuhanmu mempunyai hak terhadapmu, demikian pula keluargamu, mempunyai hak terhadapmu.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar :
ا عمل لد نياك كانك تعيش ا بدا, واعمل لاخر تك كانك تمو ت غدا.
Artinya :
“Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup untuk selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok.”
Al Hasan berkata, “Dahulukanlah yang utama dan pegang teguhlah yang cukup.”[4]
3. Berbuat baiklah kepada makhluk Allah, sebagaimana Dia telah berbuat baik kepadamu dengan nikmat-Nya yang Dia limpahkan kepadamu, karena itu, tolonglah makhluk-Nya dengan harta dan kemuliaanmu, muka manismu, menemui mereka secara baik, dan memuji mereka tanpa sepengetahuan mereka.
4. Dan janganlah kamu tumpukkan segenap kehendakmu untuk berbuat kerusakan di muka bumi dan berbuat buruk kepada makhluk Allah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hendaklah kita menggunakan kekayaan yang kita miliki yang dikaruniakan oleh Allah kepada kita, semata untuk beribadah kepada-Nya. Dan berbuat baik kepada sesama manusia dengan jalan menafkahkan sebagian dari harta yang kita miliki untuk menolong mereka yang membutuhkannya, dan disamping itu janganlah melupakan bagian dari kenikmatan duniawi yang diperkenankan oleh Allah berupa makanan, minuman, pakaian, perkawinan dan perumahan, asalkan jangan sampai melampaui batas.
Dan janganlah dengan kekayaan itu kita malah membuat kerusakan-kerusakan dan berlaku sewenang-wenang di muka bumi, karena Allah sekali-kali tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Daftar Pustaka
Al Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al Maragi. Semarang: Toha Putra. 1993
Bahreisy, Salim, dan Said Bahreisy. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Surabaya: Bina Ilmu. 1990
Hamka. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983
-oOo-
[1] H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir (Surabaya: Bina Ilmu. 1990) Halaman 181-182
[2] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983) Halaman 128
[3] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983) Halaman 128
[4] Ahmad Mustafa Al Maragi, Terjemah Tafsir al Maragi 20 (Semarang : Toha Putra, 1993) halaman 169
No comments:
Post a Comment