26 July, 2009

Di Dalam Bis "KONSER"

Di Dalam Bis "KONSER"

Pukul dua tepat aku sudah berada di terminal. Hari itu baru saja selesai sekolah. Seperti biasa, aku dan teman-teman menanti bis yang akan mengantarkan kami pulang ke rumah masing-masing. Satu persatu anak-anak mulai berkumpul, membentuk suatu rombongan yang cukup kontras dengan pengunjung terninal lainnya. Hal itu disebabkan karena seragam kami yang terlihat sangat mencolok.

Sekolah kami tidak terlalu jauh dari terminal. Butuh waktu tidak lebih dari 2-3 menit untuk bisa sampai ke terminal. Oleh karena itu untuk naik bis, kami lebih senang langsung ke terminal. Selain dapat berteduh, juga bisa memilih tempat duduk dengan leluasa.

Pada jam seperti ini sudah banyak para siswa duduk mengantri di depan jalur pemberangkatan bis. Sedangkan sebagian lainnya duduk berjajar di pinggir trotoar menanti bis yang mereka tunggu tiba.

Menunggu adalah pekerjaan membosankan. Dan memang itu kenyataan. Oleh karena itu kami mengisinya dengan sedikit kesibukan. Masing-masing anak memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Ada yang bercanda, memberi tebakan atau sebuah permainan kata, ada yang membaca buku, ada yang berdiam diri emmandangi langit yang cerah, dan bahkan ada pula yang berhias (terutama kaum perempuan).

Sampai sekarang aku heran, kenapa perempuan selalu ingin tampil begitu sempurna. Toh tidak setiap saat mereka tidak selalu diperhatikan. Namun, tentu mereka memiliki alasan sendiri yang berbeda dengan pendapatku, bisa jadi pendapat mereka malah sangat bertentangan dengan pendapatku.

Aku salah satu di antara sekian banyak siswa tersebut. Namun, aku lebih suka menjadi penonton. Duduk diam seraya menyaksikan tingkah polah mereka yang sesekali mengundang tawa. Sejak kecil aku memang tidak suka menjadi seorang publik figure. Jika apa yang ingin dilakukan itu tidak bermanfaat, lebih baik diam. Itu yang menjadi mottoku atau entah apa namanya.

Sementara Adi, yang duduk di sebelahku sedang asyik membaca buku. Entah buku apa yang dibacanya. Yang jelas aku sama sekali tidak berminat untuk membacanya. Melihat tebalnya saja kepalaku sudah pusing. Gaya belajarku lebih cenderung pada tipe auditori, yaitu belajar dengan cara mendengarkan. Maka bisa dikatakan aku fobia dengan buku-buku tebal seperti itu. Apalagi jika di dalamnya tidak ada gambarnya, sama sekali tidak tercerna apa yang terkandung di dalamnya.

Lain hanya bagi Adi. Ia terlihat begitu asyik menyelami buku itu. Sesekali tangannya membetulkan kacamata tebalnya yang entah sudah sampai minus berapa. Dan ia sama sekali tidak terpengaruh oleh riuh tawa di sekelilingnya. Aku menyebutnya sebagai Einstein kecil. Sebab di kelas ia masuk ke dalam jajaran daftar siswa yang mendapatkan predikat jenius oleh para guru, khususnya dalam mata pelajaran fisika.

Dan ketika aku tanya apa rahasianya, dia hanya menjawab,

“Tidak ada yang rahasia, dan tidak ada trik khusus. Intinya kamu harus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan tidak pernah menyerah sebelum kamu mendapatkan jawabannya,”

“Oohh…” responku singkat.

“Gampangkan?”

“Ya, ya, ya…” Gampang apaan, aku sama sekali tidak mengerti… hi.. hi… Aku menertawakan diriku sendiri.

Tak lama kemudian bis yang kami tunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Kami bersorak sorai menyambut kedatangannya. Kemunculannya bagaikan seorang jutawan yang hendak memberikan tiket pesawat gratis murah. Semua berebut hendak masuk ke dalamnya.

Bis cebong bertuliskan “KONSER” di kaca depannya berhenti tepat di hadapan kami. Ukurannya yang besar berbentuk balok mampu memuat lebih dari 50 penumpang. Pada bagian depannya terdapat puluhan lampu aneka warna, dan semuanya tertata dengan apik. Warna catnya yang terlihat baru membuat penumpang di dalamnya merasa percaya diri.

Tanpa menunggu komando, kami serentak menyerbu masuk bis. Semua ingin menjadi yang pertama yang memasuki bis tersebut. Akibatnya meeka semua tertahan di pintu masuk.

“Satu persatu!!” bentak kondektur bis geram.

Akhirnya semuanya telah masuk. Seperti biasa, Adi adalah orang terakhir yang masuk. Sebab ia tidak suka berebut seperti yang dilakukan teman-temannya. Sejak kecil ia telah belajar menjadi orang yang nrimo

Dalam waktu singkat bis telah sarat penumpang. Hanya beberapa bangku yang terlihat masih kosong, di bagian depan atau belakang sopir. Kebanyakan siswa memang tidak suka duduk di sana. Merekaa lebih suka duduk di bagian belakang atau dekat pintu, sehingga jika saatnya turun tidak terlalu repot.

Aku mengambil tempat duduk di dekat pintu belakang. Dari situ aku bisa meihat pemandangan luar dengan jelas. Selain itu aku juga bisa merasakan hembusan angin saat bis berjalan. Aku mengambil tempat duduk itu karena aku orang yang paling tidak betah dengan udara panas. Selain itu, kursi di bagian belakang lebih tinggi ketimbang kursi-kursi yang lain. jika tidak ada penumpang yang berdiri, aku bisa dengan leluasa melihat jalan di depan. Namun jika aku merasa mengantuk, maka aku memilih pojok kanan sebagai tempat dudukku. Di sana aku bisa tidur tanpa ada gangguan sampai tiba di tempat tujuan. Tapi duduk di dekat pintu lebih menyenangkan dari yang lainnya.

Walaupun ada resiko terjatuh, aku tetap menyukai tempat duduk itu. Dan untuk resiko terjatuh sangat minim atau mungkin tidak pernah terjadi, sebab ada sang kondektur / kernet yang selalu menjaga pintu tersebut.

“Sudah tidat ada lagi?” tanya kondektur pada kami.

“Tidak Mas,” kami memanggilnya Mas kerena ia masih terlihat sangat muda. Meskipun tidak tahu pasti berapa umurnya, tapi diperkirakan di bawah 30-an.

“Berangkat!!!”

Baru beberapa meter bis melaju, tiba-tiba sang kondektur berteriak.

“Stop! Stoop!!”

Bis berhenti mendadak, khawatir kalau menabrak sesuatu.

Para penumpang spontan menjerit sambil masing-masing berpegangan pada apa saja. Adi yang saat itu sedang berdiri, terlempar ke depan dan menindih tubuh Udin yang kecil. Melihat adegan itu, tak ada satupun siswa yang tidak tertawa. Terlebih ketika melihat wajah Adi yang meringis seperti kuda. Agak kasihan juga aku melihatnya. Sudah jatuh masih pula tertimpa tangga. Sedangkan Udin, sudah jatuh malah tertimpa gentong. Untuk sesaat ia tidak dapat bergerak. Tulang belulangnya seakan patah semua. Barulah ia bisa berdiri setelah seorang teman membantunya berdiri.

Semua penumpang tertawa menyaksikan kejadian itu. Mereka menganggap itu adalah hiburan dan tontonan gratis. Tidak terbersit dalam benak mereka jika yang sedang berada pada posisi Adi dan Udin adalah mereka sendiri.

Adi dan Udin masih terlihat meringis menahan rasa sakit. Mereka berdua duduk tanpa mempedulikan gelak tawa teman-temannya. Kendati tidak ada yang lecet atau memar, namun mereka masih merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

Sementara itu, jauh di belakang sana, Amir berlari kewalahan. Tangannya melambai-lambai, mengisyaratkan bahwa ia ingin ikut naik.

Ketika sedang menyeberang jalan, tiba-tiba dari sebelah kanan melaju sebuah sedan dengan kecepatan tinggi. Sadar dengan bahaya yang sedang mengancamnya, Amir lantas berlari sekencang-kencangnya menghindari bahaya tersebut. Dan beruntung karena ia masih bisa terhindar dari bahaya yang baru saja mengancam jiwanya.

Fuh, nyaris saja. Pikirnya seraya terus memandang kepergian sedan tersebut.

“Ayo cepat Ndut!!” sang kondektur menyuruhnya mempercepat larinya.

“Ayo, Mir!!” yang lain menimpali.

“Kok aku ditinggal sih!!” protesnya pada sang kondektur. Tubuhnya penuh keringat. Wajahnya yang bulat terlihat memerah. Miriplah kiranya dengan ketel uap yang sedang merebus air.

“Salah sendiri jalannya lambat. Ayo cepat naik!!” ujar kondektur seraya menepuk bokong Amir supaya segera naik.

“Berangkat!!” dan bis pun perlahan bergerak.

Sang kondektur menuju ke kursi depan. Ia mengambil sebuah kaset, dan memutarnya melalui tape recorder yang terletak di depan kemudi. Sebuah lagu pun terdengar dari tiap sudut ruangan.

“Lagunya jelek. Ganti dong, Om!” protes Amir pada kondekturnya. Amir sudah kenal betul dengan kondekturnya, begitu pula dengan kami. Hal itu karena sudah terlalu seringnya kami pulang sekolah dengan bis tersebut. Bahkan mungkin bisa dikatakan hampir setiap hari. Sehingga tidak heran jika kami memiliki sebuah hubungan yang lebih dari sekedar hubungan antara kondektur dengan penumpangnya.

Namun, bukan berarti lantas kami gratis. Kami tetap membayar sebagaimana penumpang lainnya. Sebab kami tahu, pekerjaan tidak bisa di samakan dengan persahabatan.

“Cerewet! Emang maunya lagu apa?”

“Yang bagus, lah. Yang terbaru kek,

“Ngaak ada yang baru, adanya kaset lama semua. Gimana? Atau ada temanmu yang bawa kaset? Biar diputar disini.” jelasnya.

“Aku ada!” seseorang lantas menyerahkan kasetnya pada sang kondektur, untuk kemudian diputarnya kaset itu.

“Terobosan kiri!!” seorang Ibu-ibu mengetokkan jari telunjuknya pada atap bis yang terbuat dari triplek. Maka terdengarlah bunyi nyaring sebagai isyarat yang ditujukan pada sopir untuk menghentikan kendaraannya.

“Ya, terobosan kiri!!”

Satu penumpang turun.

Mati satu tumbuh seribu, peribahasa itu sangat tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi pada bis itu setelahnya.

Tatkala ibu itu turun, lebih dari sepuluh orang, yang memang sudah menunggu kedatangan bis itu langsung naik memenuhi ruang kosong dalam bis itu. Satu-sua orang masih kebagian tempat duduk, namun sebagian lainnya terpaksa berdiri karena sudah tidak ada tempat duduk yang kosong.

Sebagian besar penumpang yang naik adalah para siswa yang juga selalu menjadi langganan bis itu. Sehingga wajar jika bis itu lebih dikenal dengan sebutan bis sekolah, meskipun tidak secara resmi sebutan itu disematkan padanya.

Namun banyak para siswa yang sangat tertolong oleh keberadaan bis tersebut. Mereka bisa pulang lebih cepat lantaran bis itu memang memberikan kepercayaan bisa mengantarkan penumpang lebih cepat. Dan tentunya dengan tetap mengutamakan keselamatan para penumpangnya, sesuai dengan slogan yang tertempel pada salah satu kaca jendelanya “Utamakan Keselamatan Penumpang”.

Dalam sekejap bis telah penuh sesak oleh penumpang. Panas matahari yang begitu terik serta tidak adanya kipas angin membuat udara di dalam bis menjadi panas. Satu persatu keringat para penumpang mulai bercucuran. Tidak sedikit dari para penumpang yang mengeluh karena kepanasan. Sementara itu bis tak juga kunjung berangkat.

Penumpang semakin bertambah, suhu udara di dalam bis terus meningkat.

Para siswa yang tidak tahan karena kepanasan mamanfaatkan buku catatannya sebagai kipas untuk mendapatkan hembusan angin. Sementara siswa yang lain lebih suka keluar dari dalam bis itu.

Aku yang juga telah berdiri karena harus mengalah dengan seorang kakek, ikut keluar. Namun kembali masuk karena takut tidak mendapatkan ruang di bis itu. Aku tidak tahan jika harus menggantung di pinggir pintu seperti sang kondektur jika bisnya sudah sangat penuh. Lebih-lebih hari ini aku sedang puasa. Biarkan mereka yang kuat saja yang berada di luar, bergelantungan di dekat pintu.

Aku sendiri berdiri di dekat Adi yang sampai saat ini masih duduk sambil asyik membaca buku. Di sebelahnya duduk Dewi, kakak kelasnya yang juga dikenal sebagai bunga di sekolah.

“Baca buku apa Di?” tanya Dewi pada Adi.

“Buku pelajaran,” jawab Adi singkat dan terlihat gugup.

“Oh, rajin banget. Hobi baca buku ya?”

“Ah, tidak, kok,” nadanya terdengar malu-malu. Wajahnya terlihat memerah, entah karena kepanasan atau karena sebab lain. Ia lantas memalingkan mukanya keluar jendela, seolah tida ingin mukanya yang merah itu diketahui oleh Dewi.

Cukup lama Adi menatap keluar jendela seraya sesekali mengusap keringat di dahinya.

Lama tidak berangkat juga, Adi mulai gusar. Keringat di pipinya mulai menetes. Ia lalu memasukkan bukunya, dan meminta ijin pada Dewi untuk memberinya jalan agar ia bisa keluar.

“Lho, mau ke mana?”

“Mau keluar, panas.” Mukanya terlihat begitu memerah seperti buah labu yang sudah masak.

“Permisi, Ri” aku pun sedikit menggeser tubuhku yang sudah tidak bisa bebas bergerak lagi.

“Kenapa, Di?” tanyaku.

Belum sempat Adi menjawab, dari belakang Amir nyletuk.

“Dia nervous kali Ri,”

Kata-kata Amir cukup keras untuk bisa didengar oleh genk JAIL yang duduk berderet di kursi paling belakang. Salah seorang yang diduga ketua genknya menimpali.

“Oalah Di, gimana kamu bisa dapat cewek kalau duduk besebelahan aja kamu mandi keringat.” Musik tawa lantas meledak mengiringi syair ejekan yang dibawa oleh ketua genk.

Wajah Adi semakin memerah. Ingin ia keluar, tapi ia khawatir jika teman-teman menganggap pernyataan Amir benar adanya. Ia ingin balas mengejek, tapi apa?

Merasa bersalah karena ucapannya, Amir mencoba mengalihkan topik.

“Wah, pasti karena banyak setannya,”

Merasa tersindir, genk tersebut langsung bungkam. Mereka tidak mau dikatakan setan lantaran menertawakan Adi. Padahal setan yang dimaksud Amir buka mereka. Amir teringat perkataan gurunya bahwa jika ada orang laki-laki dan perempuan berduaan maka yang ketiganya adalah setan.

Namun Amir tidak berniat hendak meluruskan maksudnya. Sebab dengan seperti itu mereka jadi diam dan beban bersalahnya pada Adi sedikit terkurangi.

Sementara Dewi lain lagi tanggapannya.

“Enak aja, emang aku setan,” sungutnya.

“Bukan,” sahutku. “Kuntilanak, kali.” godaku.

Sebuah cubitan keras bersarang di lenganku. Aku hampir berteriak kalau saja tidak ingat sedang berada di dalam bis. Kuusap lenganku berkali-kali supaya sakitnya lekas hilang.

“He he he… jangan main-main sama api, nanti kamu akan terbakar. Untung saja cuma merah, kalau gosong kan jadi hitam,” ledek Amir.

“Tega sekali kamu Wi, kulitku sampai hampir lepas,” ujarku masih sambil mengusap lenganku. Warna merah perlahan muncul pada bekas cubitan.

“Salah sendiri,”

“Coba lihat,” Dewi menarik lenganku sehingga aku terduduk. Dewi lalu mengambil sebuah hansaplast dari dalam tasnya. Dan ditempelkanya hansaplast itu pada bekas cubitannya.

“Maaf ya, aku kelewatan nyubitnya,” ungkapnya menyesal.

“Ngaak kok, justru aku yang kelewatan. Ada asap tentu karena adanya api. Tidak mungkin ada asap jika tidak ada api, bukan,” jawabku.

Bis berangkat lagi. Kali ini dengan penumpang yang penuh sesak. Aku beruntung karena bisa mendapatkan tempat duduk kembali. Sementara Adi menggantikan posisiku berdiri, sebab dia tidak mau ketika ditawari duduk lagi. Mungkin benar apa kata Amir tadi.

Adi memang orangnya cukup unik. Selama mengenalnya, jarang sekali atau mungkin malah tidak pernah aku melihatnya bercakap-cakap dengan perempuan. Jangankan dengan lawan jenis, dengan sesama jenis pun ia jarang sekali. Adi adalah sosok penyendiri. Satu-satunya yang menjadi teman setianya adalah buku-buku yang selalu ia baca.

Ingin sekali aku membantu mengubah kebiasaannya. Sebab jika ia terus seperti, khawatirnya jika sudah dewasa dan terjun kemasyarakat ia akan mengalami kesusahan. Sebab manusia adalah makhluk sosial yang nota bene tidak bisa mengatakan tidak untuk hidup bermasyarakat. Hidup bermasyarakat merupakan hal mutlak yang mau-tidak mau, suka atau tidak suka manusia harus menjalaninya.

Mungkin Adi, dalam dirinya sendiri ada keinginan untuk berubah. Namun ia masih terlalu takut untuk mencobanya, sebab membentuk sebuah kebiasaan baru terbukti lebih sulit dari pada membentuk sebuah baja menjadi sebuah keris.

Tapi aku percaya, Adi pasti bisa melakukannya sendiri. ia cukup pintar dan rajin membaca buku. Mungkin apa yang ia perlukan untuk mengubah kebiasaan tersebut akan ia temukan dalam buku yang dibacanya. Hanya saja sekarang mungkin belum saatnya ia untuk mengetahui. Lambat laun waktu pasti akan mempertemukannya. Biarkan ia berproses. Dan membiarkan seseorang berproses dalam mencari jati dirinya merupakan suatu bentuk pemberian keleluasaan terhadap seseorang untuk memilih jalan hidup sesuai hati nurani yang dimiliki.

Selasa, 23 Desember 2008

Gowok.

No comments:

Post a Comment