24 March, 2009

Hilangnya Suatu Bangsa di Dunia (Metode Maudhu'iy)


Tidak ada jaminan sesuatu bangsa dapat mengekalkan kuasa dan kedaulatannya jika asasnya hanya karana mereka adalah pribumi yang menempati tanah pusaka nenek-moyang. Sudah banyak umat yang terusir dari tanah air, malah tidak sedikit yang telah hilang di dunia. Yang berhak mewarisi bumi pusaka tidak semestinya bumiputera, tetapi siapa saja yang saleh, layak (memiliki sejumlah sifat keunggulan) menurut pandangan ketuhanan. Pewaris yang mendapat jaminan Tuhan adalah Al-Salihun, yaitu mereka yang menggabungkan iman dengan amal salih. Begitulah ketetapan Ilahi sejak dahulu, kini, dan kelak; "Dan sesungguhnya telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis di dalam) Lauh Al-Mahfuz, bahawasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh" (Al-Anbiya: 105).
Sejarah sebagai aktualisasi sunnatullah yang tidak berubah membuktikan hakikat bahawa unggul atau hancurnya sesuatu bangsa tergantung pada perilaku moral serta tingkah dan polah mereka sendiri. Penentu nasib sesuatu bangsa adalah kudrat dan iradat Tuhan Yang Maha Berkuasa. Tuhanlah yang menyelamatkannya dan Tuhan jugalah yang meghancurkan mereka dengan cara yang dikehendaki-Nya apabila kebejatan mereka telah sampai ke puncaknya. Demikianlah yang terjadi kepada kaum Lut, penduduk Madyan, kaum 'Ad, kaum Tsamud, Firaun, Qarun dan Haman.
“Maka tiap-tiap (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguruh, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiayai mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al-Ankabut: 40)
Demikianlah empat jenis contoh azab yang ditimpakan Allah kepada bangsa-bangsa yang tadinya "gagah perkasa" namun tiba-tiba, sekejap mata hilang di dunia. Pembinasaan itu sekali-kali bukan penganiayaan Tuhan kepada manusia, tetapi akibat dosa-dosa dan kezaliman mereka sendiri. Dengan kata lain, apabila mereka terbiasa melakukan kekufuran dan kezaliman bererti mereka telah menzalimi diri sendiri, menempah kehancuran diri. Demikianlah hakikatnya, dosa membawa binasa. Apabila Tuhan mengatakan, "Maka tiap-tiap (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosa-dosanya..." maka dapatlah dibayangkan nasib bangsa yang telah kehilangan kesedaran tentang dosa yang ditandai gejala meluasnya budaya kesewenang-wenangan melakukan kezaliman, penipuan, pembunuhan, pemerkosaan dan berbagai kejahatan lainnya.
Tentu ada sebabnya apabila Al-Quran berulang-ulang menegaskan hakekat bahwa dosa membawa binasa seperti dalam ayat:
“Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai yang mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka kerana dosa mereka sendiri dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain.” (Al-An'am: 6)
Demikianlah untuk kesekian kalinya Tuhan menyebutkan lagi, ".... kemudian Kami binasakan mereka, karena dosa mereka sendiri ...". Kekuatan dan kegagahan, kekuasaan dan kestabilan sama sekali bukan jaminan untuk terus kekal dan unggul. Bagi Tuhan terlalu mudah membinasakannya apabila Ia menghendakinya. Malah terlalu remeh di mata dunia yang tidak pernah merasa kehilangan dengan ketiadaan mereka. Hancurnya kaum 'Ad dan kaum Tsamud, tenggelamnya Firaun dan Haman. Tenggelamnya Qarun ditelan bumi tidak pernah ditangisi sebagai suatu tragedi. Satu bangsa boleh ada dan boleh tiada, satu generasi boleh datang dan boleh pergi. Dunia tidak pernah rugi. Setiap yang pergi akan segera ada pengganti yang lebih berkualitas.
Namun manusia selalu lupa apabila mendapat kuasa. Mereka lupa bahwa kuasa adalah milik Allah. Dialah yang sebenarnya Malika 'l-mulk. Manusia hanya pemegang amanah yang membawa implikasi, mematuhi syarat dan mandat pemiliknya, atau ia memperlakukannya sebagai hak dan miliknya sendiri, lalu bertindak sewenang-wenang, merajalela seolah-olah negara dan segala isinya dia yang punya, sementara seluruh rakyat adalah hamba dan abdinya. Penguasa seperti itu bisa dipastikan tidak akan terlalu lama melangkahkan kakinya di permukaan bumi ini.
Manusia yang terpedaya dengan kuasa itulah yang dibinasakan Tuhan dengan cara-cara yang dikendaki-Nya: ada yang dihancurkan melalui bencana yang menimpa secara tiba-tiba, ada yang dibinasakan dengan adu-domba sesama mereka, ada yang dihabisi melalui proses yang memakan masa seperti serangan wabah, krisis ekonomi, krisis alam sekitar dan sebagainya lagi. Seperti halnya negeri kita Indonesia ini, terjadinya krisis multi dimensi bukan semata karena kesewenangan Tuhan, tapi disebab karena manusia itu sendiri. Terlalu banyak para penguasa yang mementingkan diri sendiri, koruptor merajalela, suap-menyuap sudah menjadi keseharian kita, hukum diperjual belikan, dan berbagai hal lainnya.
Demikianlah hakikatnya, namun ramai manusia tertipu apabila menyaksikan fenomena yang rnernperlihatkan seolah-olah pengkhianat yang banyak mendapat pengalaman sentiasa menang. Segala gejala yang disaksikan itu sebenarnya belum sampai kepada batas akhir. Ia adalah permulaan atau pertengahan suatu perjalanan yang panjang, belum sampai ke penghujungnya.
Kalimat dosa yang membawa binasa itu kadang-kadang bertukar ganti dengan kalimat kezaliman. Maksudnya, Tuhan membinasakan sesuatu bangsa apabila mereka terbiasa melakukan kezaliman seperti mendusta dan rnenganiaya para Rasul serta orang-orang yang beriman, mencela ayat-ayat serta hukum-hukam Tuhan dan lain-lain yang dicakupi oleh istilah zalim dalam arti luas (al-Qasas:59, al-Kahf:59).
Memang sudah menjadi sunnatullah, generasi bangsa yang sudah tidak dapat diharapkan lalu dibinasakan Allah, mereka segera digantikan oleh generasi lain, yang benar-benar lain watak dan kualitinya seperti yang disebut pada akhir ayat 6 surah al-An'am tersebut (... dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain). Penggantian generasi itu berlaku karana sebab-sebab tertentu, terutama apabila mereka telah mengalami keadaan mabuk harta dan kehidupan dunia lalu nenjadi rakus, bakhil dan mernentingkan diri. Hakikat inilah yang diungkapkan dalam ayat-ayat:
Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau belaka. Dan jika kamu beriman dan bertaqwa, niscaya Dia akan memberikan pahala kepadamu dan tidaklah meminta harta-harta kamu. (*) Jikalau Dia meminta harta kepadamu dan mendesak kamu (supaya memberikan semuanya), niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkianmu. (*) Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini. (Muhammad: 36-38.)
Ayat-ayat di atas memberikan gambaran tentang kehidupan yang tidak pernah serius, terlalu banyak sandiwara yang serba pura-pura. Mereka yang tenggelam dalarn pola kehidupan seperti itulah yang diperingatkan agar rnenyadari bahwa hidup harus diisi dengan iman dan taqwa, bukan sandiwara. Iman dan taqwa itulah akhirnya yang akan memberi rnakna kehadiran-Nya. Tetapi ia harus dibuktikan dengan kesanggupan berkorban, membelanjakan harta pada jalan Allah dengan penuh keinsafan bahwa segala harta kekayaan itu sebenarnya bukan miliknya, tetapi milik Allah. Apabila suatu generasi bangsa sudah membelakangkan sikap dan kesadaran tersebut, tamatlah riwayat mereka, dan akan menyusullah generasi lain yang punya sikap yang sehat dan persepsi yang benar. Dalarn kaitan ini Hamka dalam Tafsir Al-Azharnya mengulas :
Akhirnya sebagai penutup ayat, atau penutup surat, Tuhan berfirman: "Dan jika kamu berpaling", artinya kamu berpaling kerana telah karnu tinggalkan pendirian yang asli itu, yaitu mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan diri sendiri, mengingat bahwa manusia sebagai pribadi tidak mempunyai apa-apa dan tidak dipunyai apa-apa, kalau pendirian ini telah ditinggalkan, "nescaya Dia akan gantikan kamu dengan kaum yang lain", kaum yang lain itu ialah yang sanggup memegang teguh amanat Allah, yang sanggup mewarisi kekayaan itu; "Dan mereka tidaklah akan menyerupai kamu.' (akhir ayat 38).
Pengganti itu ialah mereka yang lebih mementingkan keperluan bersama daripada kepentingan pribadi, yang mendahulukan kekayaan negara daripada kegemukan diri sendiri, yang inysaf bahwa negara ini adalah amanat Allah yang diserahkan ke tangannya, bukan harta pusaka nenek moyangnya yang akan dipeluk sampai mati.
Mereka itu pulalah yang akan menyambut tugas yang suci ini. Sesuai dengan firman Allah pada ayat 105 surah Al-Anbiya', "…bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh".
Kalau kesalehan tidak ada lagi, jangan heran kalau hancur semua. Dan sebelum hancur janganlah heran jika Allah menyerahkannya kepada tangan lain yang sanggup memimpinnya.
Isu penggantian suatu kaum dengan kaum yang lain itu disebut berulang kali dalam al-Qur'an. Misalnya dalarn ayat 38 dan 39 surah al-Taubah, Tuhan memberikan ancaman kepada mereka yang kehilangan ghirah perjuangan, mereka yang mulai mabuk dengan kesenangan hidup, terpedaya dengan kehidupan dunia yang sementara dan tidak seberapa, lupa dengan kebahagiaan ukhrawi yang berganda-ganda. Demikianlah hakikatnya, kesenangan dan kemewahan duniawi dapat membunuh idealisme dan melumpuhkan daya juang. Bangsa yang telah hanyut dalarn obsesi kebendaan yang secara konsekuensial membawa kematian idealisme perjuangan, adalah bangsa yang segera akan hilang di dunia. Ini bukan gertak kosong, tetapi ancaman Tuhan, "Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, nescaya Allah rnenyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan ditukarnya (kamu) dengan kaum yang lain,..."(al-Tawbah:39).
Kesimpulannya, nasib suatu bangsa sangat bergantung kepada kualitas diri yang dicirikan oleh khidmat dan manfaat. Suatu bangsa layak untuk terus hadir di dunia selama kehadirannya bermanfaat kepada kemanusiaan sejagat. Hakikat inilah yang tersirat di sebalik ungkapan simbolik, "...Adapun buih itu, akan hilang sebagai (bahan) yang tidak ada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. (a1-Ra'd: 17). Kalirnat al-zabad (buih) adalah simbol bangsa tanpa kualitas, tanpa isi. Yang ada hanya gelembung kosong yang serba rapuh, sewaktu-waktu boleh pecah dan rnenghilang dari dunia. Apalah yang dapat disumbangkan oleh buih, berapalah harga segunung buih. Untuk terus hadir di pentas dunia, sesuatu bangsa harus mampu menyumbang, harus punya visi dan misi, idealisme dan iltizam. Tetapi bangsa buih yang jiwa dan pikirannya kosong melompong, hilang arah dan tujuan, hanyut dihantam ombak, tidak akan punya masa depan selain "hilang di dunia". Wallohu a`lam.


Daftar Pustaka

Al Qur`anul Karim
Hasbi Ash – Shiddieqy. T. M, Ilmu – Ilmu Al Quran. Jakarta : Bulan Bintang. 1967
Shihab, M. Quraish, Mukjizat Al Qur`an
http://www.google.com/

No comments:

Post a Comment