Keyakinan adalah senjata paling ampuh untuk melawan keragu-raguan
Siang hari yang cerah, aku baru saja menerima berita kelulusanku. Bahagia, senang. Tak dapat kulukiskan betapa gembiranya hatiku. Berkali-kali aku ciumi amplop putih yang telah aku lihat isinya. Di dalamnya tertulis jelas sebuah kata dengan huruf kapital bercetak tebal :
LULUS
Tidak sia-sia usahaku selama ini. Tidak percuma orang tua menyekolahkanku selama tiga tahun di sekolah ini. Tangisan kekecewaan orang tua yang selama ini terbayang menguap sudah dari benakku. Tidak ada alagi perasaan tegang, cemas, takut, dan perasaan tidak mengenakkan lainnya. Semuanaya sirna, yang ada hanya euforia dan sorai sorai atas kemenangan yang aku dapatkan.
Seluruh anggota keluarga memberikan selamat padaku. Tak terkecuali adik kecilku. Walaupun tidak bisa mengucapkan kata selamat dengan benar (karena masih cedal), aku merasa dia juga turut bahagia dengan kelulusanku. Ia juga memberiku sebuah permen kesukaannya, dan itu sungguh membuatku terharu. Anggota keluarga yang lain juga memberi hadiah padaku.
Dari sekian banyak hadiah yang mereka berikan padaku, yang paling membuatku senang sekaligus terharu ialah ketika orang tua menawariku untuk melanjutkan sekolah yang aku sukai. Bahagia dan senang rasanya. Beribu terima kasih tak lupa aku ucapkan pada mereka.
Manindaklanjuti penawaran orang tua, aku lantas mencoba mencari informasi tentang perguruan tinggi yang berkualitas. Di antara sekian banyak perguruan tinggi, aku memilih lima yang memungkinkan aku masuki.
Diantara kelima perguruan tinggi tersebut aku mendapatkan kebingungan dalam menentukan pilihanku. Aku sudah menanyakan pada seluruh anggota keluarga. Mereka pun membagi informasi yang mereka ketahui. Namun, pada akhirnya juga mereka kembali segala keputusan padaku.
Sulit bagiku untuk mengambil keputusan mengingat kelima perguruan tinggi tersebut sangat ingin aku masuki. Walaupun demikian aku tetap harus memilih. Tidak mungkin aku memasuki kelima-limanya sekaligus. Lagipula hidup adalah pilihan. Dan mau tidak mau kita harus memilih meskipun sebenarnya hal itu tidak kita inginkan. Keinginan kita ialah mendapatkan semuanya. Namun sekali lagi hal itu amatlah mustahil mengingat manusia memiliki keterbatasan, baik dalam indera maupun jiwa.
Tidak mudah memang ketika tiba saatnya untuk memilih. Ada semacam kecemasa dan ketakutan dalam mengambil suatu keputusan. Ya, sebab keputusan itulah yang nantinya akan menentukan arah hidup selanjutnya. Akankah menjadi lebih baik ataukah malah sebaliknya. Itulah yang kebanyakan orang derita ketika dihadapkan oleh pilihan-pilihan. Andaikata hidup itu tidak harus memilih...
Waktu terus berjalan. Sementara aku belum juga menentukan pilihanku. Aku masih belum bisa mengambil keputusan. Aku baru menyadari setelah aku mengalami bahwa ternyata memilih tidaklah semudah menunjuk orang lain untuk melakukan suatu pekerjaan. Dalam hal memilih, aku melihat ada konsekuensi di dalamnya. Dan konsekuensi itulah yang nantinya harus ditanggung sendiri. Suka atau tidak suka dengan akibatnya harus tetap diterima.
Detik berlalu semakin cepat. Aku merasa waktu berjalan lebih cepat dua kali lipat dari keadaan biasa. Waktu seakan mengejarku, dan aku terengah-engah karenanya. Seandainya saja perguruan tingginya hanya satu, tentu tidak harus pusing-pusing memilih.
Aku terkadang merasa iri melihat teman-teman yang lain yang hanya bisa memasuki perguruan tinggi. Terpikir olehku, seandainya saja aku seperti mereka, tentu aku tidak akan susah-susah lagi memikirkan hal semacam ini.
Apakah aku ini bodoh?!?
Ya, aku memang bodoh. Seharusnya aku bersyukur karena mendapat kesempatan lebih banyak ketimbang mereka. Aku mendapat kesempatan untuk memilih sendiri pilihanku. Dan aku bisa dengan leluasa menentukan arah hidupku. Sementara mereka harus memasuki perguruan tinggi yang mungkin sebagian besar mereka tidak menyukainya.
Ayo!! Berpikirlah!! Rileks…. tenang…
Aku mengatur napasku perlahan. Kuhirup udara semampuku lalu beberapa saat kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit bersama beban-beban yang seolah menghimpitku.
Setelah melalui beberapa tarikan napas, aku mulai bisa menenangkan diriku sendiri. Aku mulai bisa berpikir jernih. Ayo, kamu pasti bisa! seruku pada diri sendiri. Kutata diri, dan mulai mengakumulasikan berbagai pertimbangan baik buruknya, dengan tujuan akhir harapannya mencapai yang terbaik.
Ketika aku sudah mantap dengan keputusanku, sesuatu yang sama sekali tak terduga mengubah segalanya. Ayahku meninggal. Kejadian tersebut sungguh sangat mengguncang jiwaku. Duka lantas mengunjungi rumahku dan keluarga-keluarga terdekatku. Hujan air mata turun begitu deras di musim kemarau nan panjang. Tak ada sesuatupun yang tumbuh karenanya selain kesedihan dan kepedihan yang mencuat dari jiwa yang tertekan. Pancaran cahaya kepastian perlahan meredup dalam hatiku, atau mungkin hilang sama sekali. Segalanya menjadi gelap dan kelam penuh ketidakpastian.
Senja mulai temaran. Saat itu aku baru saja pulang dari pemakaman. Dalam keadaan kacau dan tak menentu, aku bertemu dengan sahabat-sahabatku. Mereka datang dengan membawa sedikit sinar terang bagiku. Aku merasa sedikit terhibur lantaran kehadiran merekak sangat berarti bagiku. Tidak ada beban yang terlalu berat jika kita mau berbagi. Dan tidak akan ada rasa kehilangan jika di hati kita masih ada perasaan saling memiliki.
Namun demikian keraguan masih menyelimuti jiwaku yang kini tak tahu harus kemana melangkahkan kaki. Secercah pancaran sinar korek api belum cukup menerangi jalanku yang panjang dan berliku. Dan aku masih tetap berdiri, berpijak pada bumi yang sama seperti tentara penjaga istana di Inggris, diam tak bergerak. Tidak ada lagi niat dalam hatiku untuk melanjutkan sekolahku.
Seiring waktu berjalan, aku mmulai menemukan kembali pancaran cahaya kepastian itu. Cahaya tersebut datang dari orang-orang terdekatku. Adik, kakak, Ibu, dan teman-teman bermainku. Dorongan dan motivasi mereka memberikan api semangat dalam diriku. Bara yang hampir padam perlahan menyala karena tertiup angin sepoi menyejukkan.
Baiklah ayah... aku akan melanjutkan sekolahku. Mungkin seperti itu juga yang menjadi maumu. Aku harap engkau tetap bisa menyadi penyemangatku meskipun ku tahu engkau sudah tidak ada di sampingku lagi. Harapanku semoga aku bisa menjadi seperti orang yang pernah engkau harapkan, serta mampu berbakti kepadamu, membalas segala jasa dan jerih payahmu. Meskipun aku tahu tidak akan pernah terbalas lantaran begitu melimpahnya kebaikanmu padaku.
Ya Allah, berilah hamba kemantapan diri. Mudahkanlah perjalanan hamba untuk mencapai ridho-Mu. Terangilah jalanku agar dalam ku melangkah tidak terjerumus kedalam perkara yang Engkau murkai...
Ya Allah, ampuni kedua orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu kecil...
No comments:
Post a Comment