KECEWA
Pagi ini aku terlambat bangun. Tatkala perlahan mengintip dunia, serta merta cahaya matahari menghambur menyerbu masuk ke dalam kornea mataku. Aku meringis seraya mengangkat tangan, mencoba menghalangi sinar benderang tersebut.
Ketika bangun badanku terasa sakit semua. Efek dari begadang semalan menyebabkan seluruh otot tulang dan syarafku menegang. Semalam aku dan teman-teman begadang sampai dini hari demi membela klub kesayangan bermain di piala dunia. jangan bangga dulu kawan, sebab klub yang kami banggakan bukanlah dari
Asyik dan menyenangkan bisa ramai-ramai hanyut dalam ketegangan. Terlepas jiwa ini seakan terbang melayang lalu tiba-tiba berdiri di tengah-tengah lapangan menghadapi bola yang sedang diperebutkan. Maniak bola memang biasanya merasa ikut bermain walau sebenarnya hanyalah duduk di depan TV sambil mengunyah permen karet atau makan camilan kacang yang dibelinya beramai-ramai. Tapi satu hal yang patut dikagumi adalah mereka sekalu setia dengan pemain kesayangannya.
Tidak seperti biasanya aku bangun kesiangan. Meskipun sering begadang, aku tidak pernah kesiangan, apa lagi sampai sesiang ini. Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul setengah tujuh. Tidak ada lagi waktu untuk sholat shubuh. Namun demikian aku tetap melaksanakan sholat shubuh itu. Menurut yang telah aku pelajari, lupa sholat dalam keadaan tidur masih bisa dimaafkan, dan diharuskan segera sholat begitu terbangun dari tidurnya.
Pagi ini aku benar benar kelabakan. Pasalnya hari ini untuk pertama kalinya melaksanakan tugas PPL. Aku ditugaskan praktek mengajar di sebuah sekolah menengah atas. Aku khawatir jika hari pertama ini aku datang terlambat. Apa jadinya nanti jika kesan pertama sudah terlihat tidak becus. Datang saja sudah terlambat, bagaimana bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya? Belum lagi tanggapan guru lain tentangku. Lebih dari itu mereka mungkin akan mengkaitkanku dengan perguruan tinggi tempat aku selama ini berproses. Tentunya imej perguruan tinggi itu akan turun ratingnya dari segi kualitas dan sistem pendidikannya. Itulah kawan, menjadi mahasiswa harus pandai menjaga nama baik istitusi di mana kita tinggal dan berproses.
Seperempat jam aku mandi dan mempersiapkan diri. Kunci motor di dekat komputer aku sambar. Kamar aku kunci tanpa terlebih dahulu mematikan lampunya.. Kunyalakan mesin motorku dan segera tancap gas menuju
Waktu seperempat jam yang tersisa masih cukup untuk bisa sampai di tempat tujuan tepat waktu. Aku masih beruntung pagi itu karena tiga traffic light yang aku lewati selalu dalam keadaan hijau. Maka aku pun terus menancapkan gas seperti tak berniat menguranginya.
Satu kilometer menjelang sampai tempat tujuan, entah kenapa aku merasakan motorku terasa oleng, terutama pada roda depan. Serta merta aku mengurangi kecepatan dan kaki menginjak pedal rem. Saat benar-benar berhenti aku mendengar desis angin keluar dari ban depan motorku. Dan….
Astaghfirullahal`adhim!! pekikku dalam hati. Ban depan motorku kempes. Bagaimana ini.
Dalam keadaan bingung, aku menoleh ke kiri kanan mencari tukang tambal ban terdekat. Beruntung karena tidak jauh dari situ ada sebuah tambal ban yang sepertinya baru saja buka.
“Permisi, Pak. Selamat pagi,” sapaku ramah. Aku mencoba sambil tersenyum walau rasa kesal sedang beramai-rama menggerogoti hatiku.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu dek?”
“Ban depan motor saya kempes Pak, sepertinya bocor. Apa bapak bisa menambalnya sekarang,” jelasku seraya menunjuk ban depan yang kempes. Sama halnya dengan perutku yang kempes karena belum sempat sarapan tadi pagi.
“Oh, bisa dek bisa,” jelasnya sambil menekan-nekan ban yang kempes tersebut.
“Tapi bapak harus mempersiapkan peralatannya dulu Dek, soalnya bapak baru buka. Sebagian peralatan masih berada di dalam rumah,” memang benar apa yang dikatakan bapaknya, bengkelnya memang baru buka. Sebagian peralatan masih tersimpan di balik rumahnya yang hanya terbuat dari bilik bambu.
Aku mempertimbangkan perkatan bapak tadi dengan waktuku yang terus berjalan jauh meninggalkanku.
“Kira-kira berapa lama selesainya Pak?”
“Sekitar sepuluh menit, itupun kalau lubang bocornya cuma satu,”
Sepuluh menit? Mana bisa aku menunggu selama itu. Sedangkan
Aku kebingungan. Sementara itu belum ada kendaraan umum yang melintas di jalan itu. Seandainya saja ada, mungkin aku akan sedikit tertolong. Lalu aku memutuskan untuk berjalan kaki saja. Sekolah tempat aku tuju sudah terlihat walau dari kejauhan, mungkin tidak butuh
“Em.. begini saja, Pak. Kebetulan saat ini saya sedang terburu-buru. Kalau bisa bagaimana jika motor ini sementara saya tinggal disini saja. Silahkan bapak perbaiki sampai selesai dan saya akan mengambilnya nanti sehabis dzuhur,”
“Oh, iya tidak apa-apa,” jawabnya.
Aku lantas mengulurkan tangan bermaksud hendak memberikan kunci motornya. Namun diluar perkiraanku, bapak tadi mengulurkan tanngan, bukan menerima tetapi menolak kunci yang akan kuberikan.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Demi alasan keamanan, silahkan adek bawa saja kunci motornya. Dan sebelumnya tolong dikunci stang lebih dulu.”
“Lalu bagaimana Bapak memperbaiki ban motor saya.”
“Bapak masih bisa memperbaikinya meskipun dikunci stang. Bapak ingin adek tenang ketika meninggalkan motornya di sini. Dan bapak pun merasa tenang memperbaikinya.”
Aku tidak mengerti maksudnya. Mungkin itu salah satu manajemennya dalam mengelola pekerjaannya. namun aku tidak begitu mempedulikannya, yang jelas aku harus segera meninggalkan tempat itu.
“Kalau begitu keinginan bapak, kunci ini saya bawa. Dan saya juga minta tolong pada bapak untuk menjaga motor saya sampai saya mengambilnya kembali,”
“Kalau itu sudah menjadi tugas saya. Adek tidak usah khawatir bapak akan menjaganya. Lagi pula kuncinya
“Kalau begitu saya pamit dulu, Pak. Saya harus segera pergi, Assalamu`alaikum,”
“Wa`alaikumsalam,” jawabnya ramah.
Aku melangkahkan kaki dengan ringan meninggalkan bengkel kecil yang baru saja buka tersebut.
Mentari kian meninggi. Cahaya yang kuning keemasan perlahan berubah menjadi putih perak, dan menembus dedaunan hijau yang tertanam sepanjang trotoar jalan.
Aku terus berjalan sepanjang trotoar sambil sesekali melihat memperhatikan jarum jam yang terus bergerak di tangan kiriku. Sambil terus berjalan aku mengharap akan ada sebuah mobil angkutan melintas di jalan itu. Namun sekian lama menunggu harapan itu tak kunjung juga datang. Aku pun memutuskan berlari di sepanjang trotoar itu. Berpacu dengan waktu untuk sampai terlebih dahulu di depan pintu gerbang sekolah.
Pintu gerbang tinggal berapa ratus meter lagi. Wajahku semakin cerah, walau keringat mulai membasahi tubuhku yang kepanasan. Sayangnya kegembiraanku berlangsung sangat singkat tatkala melihat bahwa pintu gerbang perlahan mulai ditutup. Penjaga hanya menyisakan celah yang hanya bisa dilewati oleh satu orang.
Khawatir gerbang akan ditutup rapat, aku mulai panik. Terbayang olehku citra buruk yang akan mereka sematkan padaku. Tentunya hal ini akan semakin mempersulitku dalam melaksanakan tugas PPL. Lebih dari itu aku harus tetap menjaga nama baik perguruanku. Apa jadinya jika citra buruk itu tersemat pada perguruan tinggiku hanya karena aku tidak bisa disiplin. Tentu sebuah kesalahan secara jamaah, dan aku akan merasa bersalah pada semua orang yang bernaung di bawah perguruan itu.
Ketika benar-benar tidak ada angkutan yang lewat disitu, aku pun nekat menyetop sebuah sepeda, kebetulan pengendaranya adalah siswa sekolah tersebut. Siswa itu ketakutan ketika serta merta aku mengambil alih sepedanya. Awalnya ia akan lari, tapi aku segera menyuruhnya duduk dibelakang dengan nada agak membentak. Siswa itu tak berkutik dan menuruti saja perintahku. Tanpa banyak bicara lagi, aku mulai mengayuh sepeda tersebut. Sepeda pun bergerak dengan hukum fisika berubah beraturan. Sepeda meluncur dengan kecepatan tinggi. Fantastis! Aku merasakan diriku seolah sedang mengendarai angin. Roda depan yang tipis dan pipih membentuk sudut aerodinamis yang membuatku semakin mudah membelah angin.
“Hati-hati, Mas!” teriak siswa yang duduk di jok belakang. Wajahnya terlihat sangat ketakutan. Tangannya mendekap erat perutku. Aku tidak bisa bernapas. Sementara itu satpam mulaimenutup rapat pintu gerbang.
“Tunggu dulu Paak!!!” teriakku berusaha menghentikannya, dan berhasil. Satpam tersebut menoleh kearahku. Dia terkejut ketika sepeda yang aku tunggangi hampir saja menabraknya.
“Maaf Pak. Bapak tidak apa-apa?” tanyaku sedikit sedikit panik. Napasku naik turun tak beraturan.
“Ah, tidak apa-apa. Memangnya ada apa mas kok terburu-buru sekali?” satpam tersebut balik bertanya.
“Saya cuma takut terlambat masuk ke kelas. Kebetulan hari ini saya ada tugas PPL untuk mengajar di sekolah ini.” jelasku seraya mengatur napasku yang masih ngos-ngosan.
“Masuknya masih setenga jam lagi, Mas. Kenapa Mas takut terlambat?”
“Lho bukannya masuknya jam tujuh tepat?” tanyaku heran. Ya, bukankah di mana-mana sekolah itu masuknya jam tujuh pagi? Batinku membenarkan.
Satpam tersebut tersenyum. Aku merasa dia sedang menertawakan kebodohanku.
“Maaf, Mas. Memang kebanyakan sekolah lain masuknya jam tujuh. Tapi khusus untuk sekolah ini masuknya jam setengah delapan. Ya, mungkin ini merupakan salah satu kebijakan sekolah tersendiri.”
Jelas sekarang. Dia memang sedang menertawakan kebodohanku.
“Kalau memang masuknya jam setengah delapan, kenapa Bapak sudah mau menutup pintu gerbangnya?” tanyaku lagi.
“Siapa yang mau menutup pintu gerbang. Justru saya baru mau membukanya. Apa Mas tidak lihat,” dan memang setelah berbicara seperti itu, ia membuka lebar-lebar pintu gerbang.
Aku melongo. Tiada hentinya aku menertawakan diriku sendiri. Alangkah bodohnya aku ini, pikirku. Setengah mati aku bela-belain dengan mengambil paksa sepeda orang, ternyata waktu yang tersisa masih cukup panjang. Lebih menyedihkan lagi aku telah merusak sepeda orang lain. Tanpa sengaja aku telah menabrak bahu jalan. Akibatnya ban depan sepedanya kempes. Buka maksud menyuap, lalu aku memberinya uang sebagai biaya untuk menambal bannya.
Burung-burung murai berkicau ramai di antara pepohonan, merenda pagi penuh keceriaan sambil berjemur di bawah sinar mentari yang hangat. jalanan sudah mulai ramai dengan kendaraan dan para pejalan kaki. Mereka berpacu dengan waktu berusaha mengumpulkan rizki di pagi hari yang cerah dan penuh gairah.
-oOo-
Dering bel tanda istirahat terdengar nyaring. Bersamaan dengan itu semua siswa berhamburan keluar kelas. Masing-masing berpencar kesegala arah, seperti sekelompok pasukan yang sedang mengintervensi suatu daerah. Semua kelas seketika kosong, kecuali satu kelas yang berada di paling pojok koridor. Mereka masih tetap berada di dalam kelas.
“Baiklah anak-anak siapa yang ingin beristirahat!?” kataku sambil mengacungkan tangan.
Semua siswa angkat tangan. Bahkan siswa yang tidak pernah angkat tangan pun seketika itu juga angkat tangan.
“Baiklah, saya pikir semuanya uingin istirahat, bukan?”
Kelas menjadi ramai. Suaranya terdengar seperti sekelompok lebah yang sedang membangun sarangnya.
“Ya iyalah Pak. Semuanya pasti ingin beristirahat!!” jawab salah seorang siswa dengan kesal. Bagaimana tidak kesal, memang sekarang sudah waktunya istirahat. Guru baru ini pertanyaannya aneh-aneh aja, pikirnya.
“Baiklah, baiklah. Saya harap semuanya tenang dulu,” ucapku mencoba mengendalikan suasana. Aku melihat satu persatu wajah mereka. Sebagian besar mereka tampak lesu, kurang semangat, dan penuh beban. Dan aku ingin membuat wajah mereka kembali ceria tanpa beban psikis.
“Baik,” lanjutnya, “Saya akan mengijinkan kalian beristirahat asalkan kalian bisa menjawab satu pertanyaan tebakan dari saya,” kelas kembali riuh. Tapi Aku tidak mempedulikan hal itu. “Oke, ini hanya sekedar permainan. Pertanyaannya adalah, kenapa kalau bel berbunyi semua siswa keluar kelas? Siapa yang bisa menjawab saya kasih hadiah!”
Hampir semua anak mengacungkan tangan. Mereka berebut saling menjawab. Aku mencoba menenangkan mereka. Satu persatu aku mempersilahkan mereka menjawabnya. Namun dari sekian banyak jawaban tidak ada satupun yang sesuai dengan jawabanku.
“Menyerah?” kataku.
“Apa jawabannya, Pak?” tanya salah seorang siswa penasaran.
“Jawabannya adalah, karena mereka semua mempunyai kaki,” jawabku singkat.
Geeerrr…!!!
Aku tersenyum melihat keceriaan kembali menghiasi wajah mereka. Seperti itulah seharusnya. Wajah-wajah yang penuh semangat dan rasa optimisme tinggi. Sebab kelak merekalah yang akan meneruskan perjuangan bangsa
“Sekian dulu dari saya. Apabila ada kesalahan saya mohon maaf. Terima kasih dan selamat siang, Wassalamu`alaikum wr. wb,”
“Wa`alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!” jawab mereka serempak.
Aku menghela napas. Lega, perasaan itulah yang sedang kualami saat ini. Beban yang kupikul terasa lepas begitu saja. Tubuhku menjadi ringan seringan kapas yang terbang tertiup angin. Aku telah berhasil. Ya… Aku berhasil.
Seulas senyum tersungging tipis menghiasi wajahku. Dengan langkah ringan aku keluar kelas mengikuti siswa lainnya. Tugas pertama telah terselesaikan. Sukses pertama mengajar membuatku semakin bersemangat melaksanakan tugas PPL-ku. Dengan semangat itu aku yakin akan mendapatkan nilai yang sangat memuaskan bagi diriku.
Namun, semangatku tiba-tiba buyar lantaran mendengar bunyi perutku yang keroncongan. Tersadarlah aku bahwa sejak pagi ini perutku belum kemasukan makanan sedikit pun. Lalu setelah mengantarkan buku administrasi di kantor, aku segera mencari kantin. Sayangnya kantin di sekolah sedang tutup. Lalu aku mencari makan di luar dengan meminta ijin terlebih dahulu pada petugas keamanan.
Tidak sulit mencari warung makan. Tidak jauh dari pintu gerbang, tepatnya di depan pintu gerbang seberang jalan, ada sebuah warung makan yang cukup ramai pengunjungnya. Sepertinya warung makan di sini enak, pikirku.
Aku mengambil tempat duduk di pojok depan dekat dengan jendela. Dari tempat itu aku bisa melihat dengan jelas suasana sekolah. Sehingga bila bel masuk aku akan segera mengetahuinya dengan mudah.
Dalam sekejap makanan yang kupesan sudah berada dihadapanku. Benar-benar sesuai dengan namanya “Warung makan cepat saji”. Sambil menikmati makananku, yang ternyata memang enak sesuai selera lidahku, pandanganku berkeliling seputar ruangan. Aku ingin mengetahui lebih detil kondisi warung makan itu.
Hingga pada sebuah sudut ruangan pandanganku berhenti. Aku mencoba memfokuskan penglihatanku terhadap seseorang. Sepertinya aku mengenalnya. Teman lamakah?
Ingatanku kembali ke masa lalu, mencoba mengingat kembali seseorang yang memiliki frame yang sama dengan yang baru saja aku lihat. Aku mengacak-acak kembali memori di otakku, dan menelitinya dengan seksama file-file yang dianggap cocok. Dan… Ketemu…!!! Aku menemukan sebuah bingkai yang mirip dengan apa yang baru saja di tangkap indera penglihatanku.
Tapi, aku ragu…. aku tidak yakin dengan perasaanku. Sesuatu memang terlihat sama dengannya. Namun, ada satu hal yang membedakannya, dan itu sangat penting bagiku ketika mengenalnya. Sebab itu menjadi ciri khas yang selalu dimilikinya. Dan ciri khas itu tidak dimiliki oleh orang yang sedang duduk di sudut ruangan itu. Seorang perempuan dengan rambut hitam, lurus, dan terurai, dengan postur tubuhnya hampir sama, atau bahkan sama dengan temanku dulu.
Tidak… Bukan! dia bukan temanku!! Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri. Dalam hati ada rasa tidak terima jika perempuan yang sedang duduk dengan laki-laki di hadapannya adalah temanku.
Aku terus memperhatikan mereka berdua. Rasa penasaran memaksaku terus mengintainya. Sayangnya wajah perempuan itu tidak menghadap ke arahku. Tapi jika dilihat dari samping, wajahnya hampir sama dengan temanku dulu, gadis yang selalu berjilbab anggun yang telah mencuri hatiku.
Ataukah memang orang yang sama?
Tidak!! Tidak mungkin!!!
Aku kenal betul siapa temanku. Dia tidak mungkin akan melepas jilbabnya di depan umum, apalagi saat bersama laki-laki lain. Tapi, mataku tidak dapat tertipu. Perempuan yang kulihat sekarang memang sama dengan temanku dulu. Hanya saja kini ia tidak memakai jilbab.
Tiba-tiba aku beristighfar dalam hati. Aku teringat bukankah temanku itu sedang ke luar negeri? Kenapa aku bisa berprasangka buruk terhadapnya. Sudah tentu perempuan yang sedang duduk di sudut ruangan itu bukan temanku. Mungkin hanya wajahnya yang hampir sama. Lagi pula ada sedikit perbedaan diantara keduanya.
Bukan dia bukan temanku, pikirku. Aku kembali merasa lega dan yakin betul kalau dia bukanlah temanku yang aku maksud. Terlalu naif jika menyamakan temanku dengannya. Keduanya berbeda jauh 180 derajat.
Sudahlah tidak baik berlama-lama menggunjingi orang. Lebih baik aku segera keluar dari sini.
“Berapa Mbak?” tanyaku ketika berada di depan kasir.
“
Aku mengeluarkan uang
“Terima kasiih,”
“Sama-sama Mbak,”
Ketika hendak keluar, seseorang menepuk pundakku.
“Eh, Din!? Apa kabar?” suara lembut seorang perempuan menyapaku ketika aku membalikkan badan.
Aku mengenal jelas suara itu. Dan kini aku dapat melihat dengan jelas wajah perempuan yang tadi membelakangiku. Memoriku dengan cepat menemukan file yang tersimpan sudah cukup lama. Dan ketika cocok dengan wajah yang sedang dihadapanku, seketika itu pula tubuhku terhuyung. Pandanganku perlahan kabur, dan semuanya gelap. Aku tak sadarkan diri….
No comments:
Post a Comment