TABRAK LARI
Dewi jatuh tersungkur tatkala sebuah sepeda motor besar berwarna hitam menyerempetnya dari arah belakang. Ia cukup beruntung karena luka yang dialaminya tidak begitu parah, hanya luka tergores pada bagian lengan kanannya. Namun lebih tepat lagi kalau kecelakaan itu dikatakan sial baginya. Pasalnya ia jatuh ditengah keramaian dan dengan muka belepotan debu sehingga banyak orang melihatnya. Lebih sialnya lagi, pengendara yang menabraknya itu sama sekali tidak menghentikan sepeda motornya. Ia terus menancap gas seolah tidak mempunyai rasa bersalah sedikitpun.
Dengan susah payah Dewi bangkit dibantu Widia. Dewi menepuk-nepuk debu yang menempel di bajunya. Seketika itu pakaian yang dikenakan Dewi menjadi kotor dan berantakan. Baju putih -gaun lebih tepatnya- yang ia kenakan berubah menjadi coklat muda karena terkena debu jalanan yang cukup tebal. Gaun yang seharunya dihiasi dengan manik-manik berkerlap-kerlip justru malah menjadi gaun bermandikan lumpur.
Sementara itu, kakinya terkilir ketika terjatuh tadi. Tatkala berjalan untuk menepi, ia berjingkrak-jingkrak seraya menenteng sepatunya yang juga haknya patah. Wajahnya yang nyengir menahan sakit lebih terlihat seperti nenek sihir yang sedang murka dan bersiap-siap mengutuk siapa saja.
Muka Dewi seketika berubah merah padam karena menahan amarah. Pada siapa lagi kalau bukan pengendara yang brengsek itu. Bukan main jengkelnya Dewi. Gaun indah yang baru saja dibelinya kemarin, kini kotor belepotan debu. Semestinya gaun itu akan dipakainya pada sebuah reuni. Ia mencoba tampil semaksimal mungkin dengan gaun itu karena baginya reuni itu sangat penting tentunya. Sudah lama sekali ia menanti saat-saat seperti ini, bertemu dengan teman-teman lamanya. Sudah tiga tahun lebih ia tidak bertemu dengan teman-temannya. Keinginan untuk bertemu dan berbagi cerita dengan sahabat lamanya begitu membuncah di dadanya.
Dan pada hari itu, di saat-saat keinginannya akan segera terwujud, seorang pengendara brengsek –gelar yang baru saja diberikan Dewi- dan entah dari mana asal muasalnya, tanpa permisi terlebih dahulu, tiba-tiba saja nyelonong dihadapannya dan menggilas segala rencananya.
Ingin rasanya Dewi memaki habis-habisan pengendara tersebut, kalau perlu dibawakan pentungan supaya benar-benar kapok. Sayangnya ia tidak bisa melakukannya. Pengendara tersebut terlebih dulu kabur sebelum Dewi menyemprotnya dan menghadiahinya sebuah bintang besar di atas kepalanya. Ia hanya bisa mengingat plat nomor sepeda motor tersebut sebelum menghilang dibalik tikungan. Akan aku kejar kemanapu kau pergi, bersiap-siaplah!! Ancamnya.
Saking marahnya, Dewi juga tak lupa menyumpahi pengendara yang tak tahu sopan santun itu. Ia mengutuk pengendara yang tidak diketahui asal usulnya itu supaya celaka. Jatuh, tertabrak motor, mobil, atau masuk jurang. Kalau perlu sampai mati sekalian, geramnya.
Ia juga menyumpahi semoga selamanya tidak akan pernah memiliki pacar dan tidak ada seorang perempuan pun yang mau dengannya. Siapa yang mau dengan lelaki yang kurang ajar seperti dia. Tidak tahukah bahwa perempuan itu ibarat seorang ibu. Jika kurang ajar pada ibu maka nasibnya tidak akan jauh beda dengan Malin Kundang, yang hanya dengan abra kadabra langsung menjadi batu. Pikiran Dewi ngelantur kemana-mana.
Sebenarnya bukan sepenuhnya salah pengendara itu, sebab ia sendiri juga salah karena sebelum menyeberang tidak melihat situasi jalan terlebih dahulu. Namun Dewi tidak mau mengakuinya kesalahannya itu, seperti kata pepatah kuman diseberang lautan tampak sementara gajah dipelupuk mata tidak tampak. Kemarahannya membuat kesalahan sendiri dilupakan dan si pengendara itulah yang dijadikan sasaran kambing hitamnya.
Widia hanya tersenyum melihat kemarahan Dewi. Meskipun Dewi tidak mengatakan apa-apa pada Widia, tetapi Widia tahu hal itu dari sorot matanya yang tajam. Seakan-akan Widia melihat ada kilatan api yang membara dikelopak matanya. Widia tidak merasa khawatir dengannya. Lagi pula tidak ada yang bisa dilakukan untuk membalas pengendara itu. Widia yakin kemarahan temannya itu akan segera mereda.
Sebenarnya Widia yang bersama Dewi juga nyaris tertabrak. Hanya saja Widia lebih beruntung. Ia segera tahu ketika mengetahui ada sepeda motor yang sedang meluncur kearahnya sehingga dirinya bisa menghindar.
”Aduh...!!” rintih Dewi mulai merasakan sakitnya, pertanda juga bahwa kemarahannya mulai mereda.
Widia segera menolong sahabatnya itu dan mengobati lukanya dengan parasetamol serta plester yang selalu ia bawa pada kotak P3K mungil di dalam tasnya. Masih dengan raut muka kesal Dewi membersihkan bajunya yang kotor seraya mulutnya mulai menceracau memaki pengendara itu.
”Dasar pengendara ugal-ugalan, tak sumpahin ketabrak mobil baru tau rasa!!” umpat Dewi penuh emosi. Kali ini ia mengatakannya dengan lantang. Mungkin tadi ia masih bisa mengendalikan emosinya.
”Eeehh...!! Sudah!! Sudah!! Jangan mendoakan kejelekan pada orang lain, tidak baik!! Bisa kualat!!” ujar Widia ngeles. Iba juga ia melihat Dewi yang merintih kesakitan, tetapi sebenarnya ia lebih ingin tertawa tatkala melihat muka Dewi yang cemberut mirip ikan badut. Namun ia menahannya karena tidak mau menyinggung perasaan sahabatnya.
”Habisnya aku benar-benar kesal pada dia!! Gara-gara dia gaun yang sengaja aku beli untuk acara reuni menjadi kotor, tuh lihat! Padahal gaun ini aku beli dengan tabunganku sendiri. Hu.. hu..” Dewi mulai terisak.
”Ya tapi kan bukan sepenuhnya kesalahan dia. Lagian kamu juga sih tidak melihat-lihat dulu sebelum menyeberang. Untung saja kamu tidak sampai tertabrak.”
Dewi cuma bisa tersedu mendengar penuturan Widia. Ia tidak menanggapi ucapan Widia. Dalam hati ia membenarkan perkataannya. Namun ia tidak mau begitu saja memaafkan pengendara ugal-ugalan itu. Ia juga patut disalahkan, pikir Dewi.
”Sudah, jangan cemberut terus dong!!” ledek Widia seraya mencubit pipi Dewi dengan genit. Ia mencoba menghilangkan kekesalan sahabatnya itu. Namun Dewi tidak menanggapi gurauannya. Ia malah menyeringai karena cubitannya terlalu keras. Terus terang ia masih kesal pada pengendara tersebut. Ia masih saja uring-uringan karena tidak bisa melampiaskan kemarahannya pada tersangka.
“Sudahlah tuan putri, jangan marah terus. Sebaiknya sekarang tuan putri segera pulang dan lekas-lekas ganti baju soalnya ....” belum selesai Widia ngomong, Dewi sudah terlebih dahulu menarik tangan Widia pulang. jalannya begitu cepat, ia lupa dengan kakinya yang keseleo. Ia juga lupa dengan tangannya yang masih terus mengeluarkan darah.
-oOo-
Setengah jam kemudian mereka berdua telah kembali lagi ke tempat semula di mana insiden kecl itu terjadi. Kali ini Dewi lebih berhati-hati ketika mau menyeberang. Mereka menunggu bis yang akan mengantarkannya ke tempat tujuan. Sementara itu Dewi telah mengganti pakaiannya dengan yang baru.
“Sudahlah!!” tukas Widia ketika wajah Dewi masih saja dilipat, “Jangan terlalu dipikirkan. Senyum dong senyum. Nah begitu kan lebih cantik.” Widia senang melihat Dewi bisa tersenyum lagi walaupun sebenarnya senyumnya itu hanyalah dibuat-buat.
Bukan Dewi namanya kalau melupakan begitu saja kesalahan orang lain. Apalagi jika sampai ia sendiri merasa dirugikan. Kalau dibiarkan saja lama-lama ia akan semakin bertindak sewenang-wenang, tidak hanya pada dirinya saja tetapi juga orang lain. Harus ada yang berani memperingatkannya supaya tahu bahwa seseorang tidak bisa berbuat seenaknya sendiri di atas bumi ini. Sebab bumi ini adalah milik bersama, tidak ada seorang pun yang berhak atas bumi ini. Dan suatu kesalahan jika dibiarkan saja berlarut-larut akan menimbulkan suatu sistem error yang dapat merusak keseimbangan alam. Lagi-lagi pikirannya ngelantur.
“Eh bisnya udah datang tuh!!” suara Widia memecah lamunannya. Sebuah bis berwarna biru tua berhenti tepat di depan mereka. Dewi dan Widia segera naik. Bis kembali melaju perlahan menyusuri panasnya aspal jalanan.
Tak berapa lama mereka pun sudah tiba di tempat tujuan. Bis berhenti tepat di depan pintu gerbang sebuah gedung pertemuan. Mereka datang terlambat dan sudah diperkirakan sebelumnya. Acara reuni telah dimulai sepuluh menit yang lalu. Ketika masuk, mereka berdua disambut meriah oleh teman-temannya. Sorak sorai dengan nada mengejek serempak mereka tujukan pada mereka berdua.
“Huuuu...!!!!”
Ada juga yang membunyikannya seperti lolongan serigala.
“Huuuu...!!! Hu..! Hu..! Hauuu....!!!!”
“Maaf ya teman-teman, kami terlambat..!! Maaf kami terlambat!! Maaf ya...” Berkali-kali Dewi dan Widia meminta maaf pada setiap orang yang menatap mereka berdua. Bukan main malunya mereka.
“Kemana saja Dew, nguras kolam renang dulu. Atau bagi-bagi sembako?” ledek salah seorang temannya. Dewi hanya tersenyum kecut. Jengkel juga ia dikatakan seperti itu. Enggak lihat apa aku habis kecelakaan. Dasar tak tahu diri, tertawa diatas penderitaan orang lain. Widia menjawil tangan Dewi, ia tahu apa yang sedang dipikirkan anak satu ini.
“Ssst, cuekin aja. Biarpun anjing menggonggong kafilah tetap berlalu,”
“He.. he.. “ Dewi tersenyum kecil mendengar penuturan sahabatnya itu. Ia tahu siapa yang disebut anjing itu. Tidak jauh-jauh amat bedanya, pikirnya. He.. he..
Akhirnya kekesalan Dewi terobati di tempat itu. Ia bisa melupakan semua kejadian buruk yang baru saja dialami. Senyum keceriaan selalu terpancar di wajahnya. Ia begitu merasa bahagia, lebih-lebih ketika menemukan orang yang selama ini di carinya. Sebelumnya sempat ia terdiam terpaku tatkala melihatnya. Ya, dia adalah Dhika, kaka kelasnya yang juga teman akrabnya.
“Hai, Apa kabar Dew, Wid?” sapa Dhika dengan senyum yang masih seperti dulu. Ramah dan menggoda.
“Mmm... mm.. Bbb.. Bb.. baik kak!!” jawab Dewi gagap. Sebuah jawaban yang singkat, padat, namun kurang kreatif. Terlalu plagiat! Namun segera ia bisa mengendalikan dirinya dan membalas uluran tangan Dhika. Ia hanya tidak menyangka akan bertemu secepat itu.
“Kamu Wid?”
“Baik juga kak.” Jawab Widia tak kalah ramah dan juga tenang.
“Kalian dari dulu masih sama ya, lengket terus.”
“Tapi nggak kayak perangko kan?”
“Hmm.. Kamu juga tidak berubah Dew, paling pandai kalau bergurau.”
Dewi merona mendapat pujian itu. Namun ia berusaha menutup-nutupinya.
Dewi merasa senang sekali dengan diadakannya acara ini. Acara reuni antar angkatan ini merupakan inisiatifnya sebagai anggota OSIS. Kebetulan Widia adalah mantan ketua OSIS, jadi tidak begitu repot-repot ia menyampaikan usulnya. Dan tanpa disangkanya acara itu disetujui oleh Widia. Setelah mengalami proses panjang, akhirnya terlaksanalah acara ini.
“Eh, oya.. aku lupa. Ada sesuatu yang harus aku urus. Aku pergi dulu ya Dew.” Tutur Widia sambil berlalu.
”Aku ikut!!”
“Jangan Ini tugas panitia. Kamu tidak diijinkan ikut. Kamu di sini aja sama kak Dhika. Nanti aku segera kembali.” tak lama kemudian Widia sudah menghilang di antara kerumunan.
Sepeninggal Widia, Dewi menjadi salah tingkah. Ia merasa serba salah, tak tahu apa yang harus dikatakan. Tiba-tiba saja mulutnya seperti dikunci. Ia lupa bagaimana harus memulai percakapan. Hari itu Dewi terlihat seperti orang tolol di hadapan Dhika. Keringat dingin seolah membanjiri seluruh tubuhnya.
Mengetahui itu, Dhika tersenyum. Untung saja dia bukan tipe orang yang suka menertawakan orang lain. Jadi ketawanya hanya dipendamnya dalam hati.
“Ehm... aku ingin mengatakan sesuatu padamu boleh nggak?” kata Dhika memulai percakapan.
“Oh iya, boleh saja.” Dewi merasa lega.
“Kamu masih ingat nggak ketika kita pura-pura pacaran dulu?”
“Mmmm.... Masih waktu itu kamu kan yang mempunyai ide seperti itu ketika gara-gara harus membawa pasangan saat menghadiri hari valentine?”
“Iya benar. Sekarang aku menginginkan kamu untuk mau menjadi pacarku lagi, tetapi kali ini pacar beneran. Maukah kau menjadi pacarku.”
Melambung hati Dewi lantaran mendengar ucapan dari Dhika. Kakinya serasa sudah tidak lagi menginjak tanah. Ia melayang-layang tinggi di angkasa, terbang bersama burung-burung melintasi awan yang putih berarak. Sudah lama ia menanti kata-kata itu. Dan kini telah terucap pada seseorang yang tepat dan ditujukan padanya. Dengan sedikit basa-basi malu-malu kucing Dewi menerima Dhika sebagai pacarnya.
Akhirnya Dewi menemukan Cinta pertaamnya di tempat reuni tersebut. Dan dia begitu bahagia karena selama ini sang kekasih yang menjadi pujaannya ternyata juga mencintainya. Tidak bisa dibayangkan betapa bahagianya Dewi kala itu. Dan selama acara tersebut Dewi sselalu tersenyum. Ia sama sekali lupa pada kejadian yang menimpanya siang tadi. Perasaan jengkel dan jutek yang ia tunjukkan pada temannya, Widia sama sekali berbeda dengan perasaannya saat ini. Wajah yang tadinya mengerikan seperti setan bertanduk dan berekor panjang kini menjelma menjadi sosok bidadri yang murah senyum. Lihatlah betapa cinta bisa mengubah segalanya.
Usai reuni, Dhika, sang pujaan hatinya mengajaknya pulang bersama.
“Kita pulang naik apa?” Tanya Dewi penasaran.
“Naik motor.” Jawab Dhika singkat.
Wow!! Nai motor!! Pekik Dewi dalam hatinya. Ia jadi teringat sebuah film yang mengisahkan tentang cinta remaja yang diputar pada sebuah TV swasta. Dalam film itu sang kekasih mengantarkan pulang perempuannya dengan motor besarnya. Dewi masih teringat betul kelanjutan film tersebut. Yag jelas film tersebut sungguh romantis. Dan ia mngin mengalaminya. Ia telah membayangakan saat Dhika memboncengnya dan mengantarkannya sampai tujuan. Khayalannya terbang tinggi melampaui awan yang paling tinggi.
”Kamu tunggu di sini, aku mau mengambil motorku diparkiran.”
Dewi hanya mengangguk. Sementara Widia sudah disuruhnya untuk pulang terlebih dulu naik angkot sebagaimana awalnya mereka datang ke acara tersebut.
Angan-angan Dewi masih melambung tinggi hampir melampaui batas ketidak warasannya. Setiap waktu ia selalu tersenyum sendiri. barangkali orang lain yang melihatnya akan menganggapnya sudah gila.
Dewi kaget bukan main tatkala melihat motor yang dibawa Dhika. Lebh terkejut lagi ketika ia lihat plat nomornya, S 1494 N. Pelat nomor yang pengendaranya ia sumpah-sumpahi, plat nomor yang jika ketemu akan menghajarnya habis-habisan, kini telah berada didepannya dengan senyum yang begitu menggoda. Tidak lain dan tidak bukan adalah Dhika, sang pengendara misterius itu.
Seketika itu pula angan-angan Dewi jatuh berdebum ke bumi, jatuh dan terus terperosok kedalam jurang kata-katanya yang berduri siang tadi. Sakit sekali rasanya sehingga membuatnya tersadar dari keterbengongannya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang telah dialaminya.
No comments:
Post a Comment