26 July, 2009

SEBUAH BATU SANDUNGAN

SEBUAH BATU SANDUNGAN

Tak ada yang disebut takdir, yang ada hanya pilihan yang berbeda. Semua kejadian di muka bumi ini sudah menjadi ketetapan-Nya. Begitu juga dengan keadaanku saat ini. Aku tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Aku juga tidak meminta pertanggungjawaban dari pihak manapun, yang aku inginkan adalah kesadaran diri sendiri untuk menyadari bahwa kita adalah manusia. Sudah menjadi kodrat bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bersih dari dosa dan kesalahan. Sekecil apapun, dosa dan kesalahan itu pasti ada. Hanya saja masalahnya sekarang adalah bagaimana membuat dosa itu tidak menjadi kebiasaaan. Sebisa mungkin dosa itu diminimalisir. Memang benar manusia itu tempatnya salah dan lupa. Namun jangan menjadikan kesalahan dan lupa itu sebagai alasan untuk tidak bisa berbuat benar dan selalu melanggar perintah-Nya.

Kegagalanku masuk perguruan tinggi favorit aku sadari betul bahwa itu merupakan keberhasilan yang tertunda. Kegagalanku mungkin disebabkan karena kesalahanku sendiri. Aku terlalu terobsesi sehingga mungkin menjadi takabur dan lupa bahwa Tuhan Maha Kuasa atas segala-galanya. Dan mungkin itulah sebabnya Dia mencobe memperingatkanku.

Tahun depan mungkin aku bisa menembus ujian masuk tersebut. Sudah kumantapkan dalam hati untuk mengulanginya tahun depan. Aku tidak mau masuk perguruan tinggi lain yang bukan menjadi pilihanku. Aku ingin masuk pergurun tinggi yang benar-benar menjadi pilihanku. Apapun tantangannya akan aku terima. Aku akan berjaung sekuat tenaga agar keinginanku itu bisa terwujud. Walaupun sebelumnya aku harus menelan pil pahit terlebih dahulu, aku akan lakukan. Bagiku memilih perguruan tingg favorit sama saja dengan memilih jalan hidup. Kesuksesan dan kegagalan hidup seseorang ditentukan disitu.

Tahun ini aku memang gagal menembus ujian masuk perguruan tinggi favorit. Sempat terbersit kekecewaan dalam diriku. Sempat pula aku putus asa dan tidak mau melanjutkan pendidikanku. Namun karena dukungan dan motivasi orang tuaku akhirnya semangatku tumbuh kembali bagai bara yang tertiup angin. Menjadi besar dan berkobar. Faktor terpentingnya adalah motivasi yang muncul dalam diri sendiri. Motivasi terbesar memang nuncul dalam dri sendiri. Sebesar apapun motivasi dan dorongan dari luar jika dari dalam tidak ada keinginan sama sekali, mustahil akan berhasil. Kalaupun berhasil tidak akan berlangsung lama.

Begitulah, akupun mulai menyusun strategi untuk menghadapi ujian masuk tahun depan. Waktu satu tahun bagiku sangat leluasa untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Lain halnya dengan tahun ini, aku gagal masuk mungkin wajar karena persiapannya kurang begitu matang lantaran waktu yang kurang mencukupi. Dengan waktu satu tahun ini, aku yakin bisa menembus ujian masuk itu. Untuk lebih meyakinkannya, aku mengikuti berbagai les privat dan bimbingan belajar. Kursus-kursus ketrampilan juga aku jalani sebagai bekal persiapan masa depan.

Aku merasa beruntung karena rencanaku didukung sepenuhnya oleh orang tuaku. Mereka bersedia membiayai segala sesuatunya. Sarana prasarana penunjang pun disediakan. Mereka tidak begitu kecewa dengan kegagalanku masuk ujian perguruan tinggi tahun ini. Mereka yakin sepenuhnya padaku. Mungkin mereka tahu potensi yang ada pada diriku sehingga ereka tidak begitu khawatir denganku. Karena kepercayaan orang tuaku itulah aku merasa harus bertanggungjawab atas kegagalanku. Aku harus membayar kegagalanku tahun ini dengan keberhasilan yang gilang gemilang tahun depan.

Kadang sempat terbersit rasa iri ketika melihat teman-teman sudah kuliah lebih dulu. Mereka dengan bangga menyandang gelar mahasiswa. Sebuah gelar akademik yang mungkin hanya ada di Indonesia. Sebuah gelar yang diberikan pada siswa yang bersekolah di perguruan tinggi. Disebut mahasiswa karena dianggap mereka bukan lagi siswa setingkat SMA. Mereka telah dianggap memiliki kemandirian dan sudah mampu melakukan segala perbuatannya dengan penuh tanggungjawab. Mahasiswa telah dianggap mampu memecahkan permasalahannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Rasa iri itu kadang muncul di kala menyaksikan mereka dengan bangga memasuki kampus dan memanggil guru mereka dengan sebutan dosen. Namun buru-buru rasa iri itu aku tepis. Aku pun menghibur diriku. Tenang saja, aku pasti akan menyusul kalian, bahkan aku akan lulus dan menyandang gelar sarjana lebih dulu. Tunggu saja. Janjiku pada diri sendiri.

Sempat pula orang tua menyuruhku untuk masuk perguruan tinggi lain. Namun, aku menolaknya. Keinginanku sudah tidak bisa dirubah. Aku tidak akan kuliah kalau tidak masuk perguruan tinggi pilihanku. Walaupun orang tuaku membujuku dengan iming-iming yang mungkin bisa membuat orang lain tergiur dan berubah pikiran, namun tidak bagiku. Tekadku sudah bulat. Dan akhirnya orang tuaku menyerah. Mereka memberikan toleransi terhadap keputusan yang telah kuambil. Mereka hanya memperingatkanku, jika tahun depan aku tetap tidak bisa berhasil masuk, aku harus menuruti mereka untuk memasuki perguruan tinggi lain. Karena sudah yakin bisa berhasil masuk tahun depa, aku menerima tawaran dan sekaligus menjadi tantangan bagiku.

Mulai saat itu berbagai kursus dan bimbingan belajar aku ikuti dan jalani dengan tekun dan serius. Tiada yang tidak kugunakan selain untuk belajar dan belajar. Padahal kalau melihat usaiaku yang masih remaja dan dalam masa bersosialisasi yang tinggi, hal itu terlihat tidak wajar bagi teman-teman lain yang seumuran denganku. Masa remaja sepertiku biasanya hobinya hura-hura, sering kumpul bareng teman, dan jarang sekali berada di rumah. Wajar saja jika mereka menganggapku orang yang aneh karena aku tidak pernah menjalani kehidupan remaja pada umumnya. Mungkin dalam pandangan mereka, aku adalah remaja kuper dan tidak memiliki banyak teman. Tapi bagiku hal itu tidak penting. Yang penting aku harus bertanggung jawab dengan masa depanku. Dan memang menurutku juga demikian. Aku harus memikirkan masa depanku mulai saat ini. Kalau bukan sekarang kapan lagi.

Tanpa terasa ujian masuk perguruan tinggi sudah dekat. Hanya tinggal menghitung mundur waktu yang telah berlalu. Beberapa hari menjelang pelaksanaan, aku merasa kondisi kesehatanku menurun. Penyakit langgananku mulai menyerang dan meradang. Aku sudah mencoba berobat kedokter. Namun aku tidak merasakan kondisiku semakin membaik. Justru yang terjadi malah sebaliknya, staminaku mulai melemah. Aku sudah tidak bisa lagi konsentrasi belajar, meskipun sebearnya dokter menganjurkanku untuk banyak-banyak istirahat. Aku tidak mau diam begitu saja sementara ujian sudah berada didepan mata. Aku harus tetap belajar meskipun orang tua mencoba melarangku. Saking semangatnya bahkan tanpa sepengetahuan mereka aku kadang belajar sampai larut malam. Akibatnya kondisi kesehatanku semakin memburuk. Sering terkena angin malam membuat tubuhku terserang masuk angin.

Dengan kondisi yang demikian, aku sempat khawatir tidak bisa mengikuti ujian masuk perguruan tinggi tahun ini. Akan sia-sialah segala persiapanku selama satu tahun ini. Aku sempat putus asa. Apalagi ketika otakku benar-benar tidak bisa diajak untuk berpikir. Membaca buku pelajaran saja rasanya teramat pusing. Pandangan mata berkunang-kunang, tidak ada konsentrasi sama sekali. Pada saat itulah aku mencoba menuruti anjuran dokter. Aku istirahat total selama beberapa hari. Aku disuruh tidak memikirkan ujian. Aku harus konsentrasi pada kondisi kesehatanku. Aku harus sembuh! Aku harus sembuh! Tekadku begitu kuat untuk segera sembuh. Semua nasehat dokter aku turuti. Aku tidak peduli walau kadang organ tubuhku berontak saat aku meminum obat. Aku tetap paksakan. Aku harus segera sembuh. Aku tidak mau menyia-nyiakan semua rencana yang telah aku persiapkan dengan matang jauh-jauh hari.

Hanya dalam waktu dua hari, kondisiku berangsur-angsur pulih. Kesehatanku mengalami perkembangan begitu pesat. Dan pada hari ketiga aku sudah bisa sembuh. Keinginan untuk sembuh ternyata sangat membantu dalam mengembalikan kondisi kesehatanku seperti semula. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari nasehat dari dokter dan motivasi serta kasih sayang orang tua. Ternyata keinginan yang kuat bisa membuat sesuatu yang mustahil dilakukan menjadi mungkin dilakukan. Setelah kondisi kesehatan yang menjadi batu sandungan hilang, optimisme untuk bisa menembus ujian masuk pun kembali tumbuh.

Setelah lama dalam masa penantian, ujian masuk pun tiba. Hari itu berbondong-bondong manusia menuju tempat pelaksanaan ujian. Keramaian tidak bisa dielakkan hari itu. Sudah sejak tadi pagi puluhan, bahkan mungkin ratusan kendaraan saling berdesakan mencoba saling mendahului. Mencoba memasukkan kendaraan ke parkir area Mereka khawatir jika tidak bisa mengikuti ujian masuk itu.

Aku yang sudah datang sejak tadi pagi sekarang bisa tenang duduk di dalam ruangan seraya memperhatikan jalan raya yang dipenuhi berbagai jenis kendaraan. Bising sekali kedengarannya. Masing-masing kendaraan membunyikan klakson, menyuruh mobil yang ada di depannya agar segera berjalan. Namun usaha mereka sepertinya sia-sia karena kepadatan memang telah sampai pada puncaknya. Jalan menjadi macet total. Baru setelah beberapa lama akhirnya kendaraan tersebut mulai berjalan merayap.

Aku merasa beruntung karena sewaktu berangkat tadi tidak terjebak macet. Aku berangkat pagi-pagi sekali mengingat tahun kemarin aku juga terjebak macet gara-gara datang terlalu siang. Akibatnya aku menjadi panik, takut tidak bisa mengikuti ujian masuk. Dan persiapan yang sudah direncanakan dengan matang akhirnya menjadi sedikit berantakan. Aku menjadi lupa beberapa materi ujian yang sudah aku kuasai. Mungkin karena pengalaman itulah yang membuatku sekarang menjadi lebih baik dalam melakukan persiapan menghadapi ujian hari ini. Aku merasa lebih tenang walaupun ada sedikit butir-butir ketegangan merayap di sekujur tubuhku.

Bel tanda masuk berbunyi. Ujian akhirnya dimulai. Satu persatu soal aku jawab dengan mantap. Aku tidak perlu berpikir terlalu keras karena satu tahun lamanya aku telah mempersiapkan diri, sehingga berbagai strategi telah aku kuasai. Walaupun terkadang memang masih ada beberapa soal yang terasa sulit. Namun dengan sedikit mengerutkan kening soal tersebut bisa aku selesaikan.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Bel telah berbunyi kembali, sebagai pertanda bahwa waktu untuk mengerjakan soal telah selesai. Aku selesai tepat waktu, semuanya telah aku perhitungkan. Aku pun keluar ruangan dengan wajah cerah. Sementara itu aku melihat peserta lainnya keluar dengan wajah lusuh dan kumal, sama seperti keadaanku dulu ketika pertama kali ikut ujian masuk perguruan tinggi. Kini aku lebih optimis untuk bisa diterima di perguruan tinggi yang menjadi pilihanku. Ternyata memang tidak gampang untuk bisa masuk perguruan tinggi favorit, tetapi kali ini aku yakin bisa memasukinya dan akan menjadi salah satu keluarga besarnya disana, tentunya dengan menyandang gelar seorang mahasiswa. Aku merasa cita-citaku menjadi mahasiswa sudah berada di depan mataku. Tinggal menunggu waktu, maka cita-cita itu benar-benar akan menjadi milikku. Sudah tak sabar rasanya menunggu waktu itu.

-oOo-

Hari ini surat kabar membawakan berita mengenai nasibku. Pagi-pagi sekali aku sudah berada di depan rumah menunggu penjual koran lewat membawakan berita untuknya. Berita yang bisa membuatku gembira tentunya. Apalagi kalau bukan diterima menjadi mahasiswa. Lama menunggu akhirnya panjual koran itu lewat.

”Bang! Koran bang!!” teriakku dengan penuh semangat. Aku sudah tidak sabar ingin melihat hasil pengumuman itu.

Buru-buru koran itu kusambar dari tangan sang penjual dan membawanya ke dalam rumah. Penjual koran itu hanya geleng-geleng melihat sikapku yang tergesa-gesa. Di dalam rumah, koran itu aku bolak-balik. Aku mencari halaman yang memuat pengumuman hasil penerimaan mahasiswa baru. Susah juga rupanya menemukannya. Akhirnya pengumuman itu dapat aku temukan di halaman tengah surat kabar. Aku mulai mengurutkan nama-nama yang terdaftar tersebut mulai dari atas. Pada kolom pertama aku tidak menemukan namaku. Lalu aku lanjut ke kolom kedua. Pada kolom kedua ini pun aku masih belum bisa menemukan namaku. Pada kolom berikutnya, aku mulai panik karena masih juga belum menemukan namaku tercantum di sana. Aku terus melanjutkan pencarianku pada kolom berikutnya dan berikutnya lagi sampai kolom terakhir. Namun tetap saja aku tidak bisa menemukan namaku di sana.

Tidak menyerah, ku ulangi lagi penelusuran dari awal. Kali ini lebih hati-hati baragkali saja ada yang terlewatkan. Satu persatu nama-nama itu aku cermati. Aku bahkan sempat menghentikan pencarianku tatkala melihat nama yang hampir mirip dengan namaku. Jangan-jangan itu memang benar namaku yang salah dalam penulisannya. Aku mencoba mencocokkannya dengan nomor pesertaku. Namun ternyata nama itu memang nama orang lain, bukan namaku. Nomornya sama sekali berbeda dengan nomor punyaku. Akhirnya pencarianku selesai dengan hasil yang sama dengan sebelumnya. Namaku memang tidak tercantum disana.

Hilang sudah harapanku, musnah sudah impianku. Aku merasa masa depanku akan suram. Tidak ada lagi yang perlu diharapkan. Walau aku masih bisa kuliah di perguruan tinggi lain, namun aku tidak yakin bisa menyelesaikannya dan memperoleh gelar strata satu. Semangatku sudah hilang bersama dengan hilangnya harapanku.

Aku remas-remas halaman surat kabar itu. Sedih, jengkel, marah bercampur jadi satu. Aku tidak menyadari kedatangan ayahku. Aku baru sadar ketika ia sudah berada di dekatku. Ia mengambil koran yang telah aku rusak halaman tengahnya. Beberapa saat kemudian ia menepuk-nepuk bahuku. Aku melihat kegembiraan terpancar di wajahnya. Dia lalu menyodorkan koran itu padaku. Jari telunjuknya menunjuk pada deretan tulisan yang membuatku penasaran untuk melihatnya lebih dekat. Spontan aku berteriak gembira. Deretan tulisan itu adalah namaku, ya namaku dan nomor ujianku. Aku masuk dalam daftar peserta yang diterima dengan nilai tertinggi. Sujud syukur aku panjatkan pada-Nya. Tiada kata terindah yang bisa kuucapkan selain terima kasihku pada semuanya, terutama Dia Sang Maha Pencipta.

-oOo-

Selesai 12 Maret 2008

Pukul 20.16 WIB

Sapen, Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment