26 July, 2009

Dasrun

DASRUN

“Kurang ajar!!! Siapa yang berani merusak tanamanku”, omel Dasrun ketika melihat tanaman cabenya berantakan seperti kapal pecah. Pagi itu Dasrun benar-benar emosi. Amarahnya tidak bisa dibendung lagi. Ia tidak bisa memaafkan pelaku yang berani-beraninya dan dengan tega merusak tanaman cabenya yang merupakan penghasilan utamanya. Awalnya ia menyangka hancurnya tanaman cabenya adalah perbuatan hewan liar. Namun ketika dibeberapa tempat ia menemukan banyak jejak kaki manusia, ia lalu mengambil kesimpulan bahwa pelakunya bukanlah hewan liar. dia juga menemukan tanaman cabe yang terpotong oleh sebuah benda tajam.

Tahun ini sepertinya Dasrun tidak bisa memanen hasil jerih payah yang telah ia korbankan selama beberapa bulan. Hampir seluruh tanaman cabenya ludes. Dia benar-benar marah, tapi tidak tahu harus marah pada siapa. Pada pelakunya? Siapa pelakunya? Dan yang lebih membuatnya marah karena tanaman cabenya itu sudah waktunya panen. Sudah terbayang dalam benaknya keuntungan yang akan didapat dari hasil panen itu. Kini tidak ada lagi yang tersisa kecuali bayangan keuntungan hasil penjualan cabe dalam benaknya. Dan itupun ikut sirna lantaran beban psikologi yang mengguncang pikirannya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang telah dilihatnya.

Jauh hari sebelum panen tiba, Dasrun telah merencanakan dengan matang penggunaan uang hasil keuntungan yang akan didapatnya. Rencananya dengan uang itu ia akan membelikan sepatu baru untuk anaknya. Beberapa bulan lalu ia telah berjanji pada anaknya akan membelikan sepatu baru.

“Ayah… ayah! belikan sepatu yah. Sepatu Joko sudah rusak. Lihat nih Yah!” Joko memperlihatkan sepatunya yang sudah rusak. Bagian depannya mirip seperti orang kelaparan sehingga meskipun sudah memakai sepatu, jari kakinya akan tetap terlihat.

Mendengar rengekan anaknya, Dasrun hanya bisa mengelus dada, sedih hatinya.

”Sabar yan nak, bapak belum punya uang. Nanti kalau sudah punya uang pasti akan bapak belikan,” begitulah kata yang ia ucapkan setiap kali Joko memintanya untuk dibelikan sepatu. Dan stelah mendengar ucapan begitu dari bapaknya, Joko biasanya langsung diam dan melupakannya.

Dasrun sedih melihat anaknya yang masih duduk di bangku kelas 2 sekolah dasar itu memakai sepatu yang kondisinya sebenarnya sudah tidak layak pakai lagi. Ingin sekali ia membelikan sepatu baru untuk anaknya, mengajaknya ke pasar dan menyuruhnya memilih sendiri sepatu yang diinginkannya. Namun sampai sekarang keinginan itu belum terwujud, ia belum mampu membelikannya. Keinginannya itu terbentur masalah dana, uanglah yag menjadi pokok persoalannya. Seandainya ia mempunyai uang banyak tentu tidak hanya sepatu yang bisa ia beli. Sayangnya pekerjaan yang ia geluti tidak bisa menghasilkan uang banyak. Lulusan sekolah dasar hanya bisa menjadikannya seorang petani cabe. Itu pun petani musiman. Penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehar-hari dan kadang malah kurang.

“Ayah! Belikan sepatu ya Yah,” nada sama yang selalu Joko ucapkan pada ayahnya itu terdengar lagi di telinga Dasrun.

Dasrun tersenyum. Kali ini ia memiliki jawaban berbeda atas pertanyaan anaknya itu. Dan anaknya pun sebenarnya juga mengharapkan jawaban yang berbeda dari yang biasanya ia dengar. Ia membopong anaknya dan meletakkannya diatas pangkuannya.

”Sabar ya nak, sebentar lagi keinginanmu akan terkabul. Mungkin dua minggu lagi kamu sudah bisa memakai sepatu barumu. Yang penting sekarang Joko harus banyak-banyak berdoa, minta kepada Allah supaya bapak bisa membelikan sepatu buat Joko,”

Senyum Joko langsung mengembang menghiasi wajahnya begitu ia mendengar perkataan bapaknya. Ia turun dari pangkuan bapaknya dan berjngkrak-berjingkrak menuju dapur. Ia ingin memberitahu kabar gembiranya itu pada ibunya.

“Ibu! Ibu! Joko mau dibelikan sepatu oleh ayah,” pekik Joko kegirangan.

Dasrun hanya bisa tersenyum melihat tingkah lucu anaknya. Ia berharap panen tahun ini akan melimpah. Ia yakin Tuhan akan selalu menolong hambanya yang sedang mengalami kesusahan. Dan ia semakin yakin akan mendapatkan keuntungan besar ketika melihat tanaman cabenya berbuah lebat.

Akan tetapi sepertinya Tuhan telah berkehendak lain. Apa yang Dasrun harapkan tidaklah sesuai dengan realita yang telah menimpanya. Panen kali ini ia tidak bisa memenuhi janjinya pada Joko. Hampir sebagian besar tanaman cabenya rusak. Ada yang patah, tercabut, bahkan ada yang hanya tinggal batang yang masih tegak berdiri sehingga mirip seperti tongkat yang ditancapkan ke tanah.

Hati Dasrun miris melihat pemandangan di ladangnya pagi itu. Entah siapa yang tega merusak tanaman cabenya. Hatinya gerimis, mendung seakan menggantung di atas langit hatinya. Kakinya goyah tak kuat menahan beban yang menimpa dirinya. Ia jatuh tersungkur tak kuasa menahan kepedihan yang begitu mendalam. Ia tidak bisa membayangkan nasib keluarga untuk kedepannya. Istrinya pasti akan kecewa mendengar berita ini karena hanya melalui penjualan cabe inilah dapurnya bisa mengeluarkan asap. Tidak ada pekerjaan lain untuk itu. Dan yang lebih membuatnya terpukul adalah anaknya yang juga akan turut kecewa. Keinginannya memiliki sepatu baru harus ditunda sampai tahun depan atau entah sampai kapan. Ia tidak tega membayangkan wajah lucu anaknya berubah menjadi kesedihan dan kekecewaan.

Cukup lama Dasrun tertegun menyaksikan tanaman cabe di hadapannya hancur. Ia tidak percaya dengan pandangan yang ditangkapnya pagi itu. Baru kemarin ia melihat tanamannya masih utuh dengan buah cabenya yang tumbuh bergelantungan sangat lebatnya. Pagi ini ia seperti berada di ladang orang lain, sama sekali tidak mirip seperti kemarin yang ia lihat. Tapi itu memang ladangnya bukan milik tetangganya. Ladang itu memang telah berubah.

Dasrun masih tetap berada di kebun meski tak tahu apa yang harus diperbuat pada kebunnya itu. Ia hanya duduk bengong memandangi tanaman cabenya yang porak poranda. Tidak ada keinginan untuk memperbaikinya. Ia sudah lelah, kalah, dan menyerah, tidak ada lagi semangat dalam dirinya. Hatinya benar-benar hancur luluh. Tidak ada lagi yang bisa ia perbuat untuk mengembalikan tanaman cabenya seperti semula. Sebuah cangkul dan arit ia letakkan begitu saja di atas tanah yang coklat kekuningan karena terkena sinar mentari.

Mentari pagi mentari bersinar cerah. Burung-burung bernyanyi riang, bercanda meloncat kesana kemari pada dahan pohon. Angin segar yang berhembus memberikan kesejukan pada raga yang mengalami kelelahan. Namun semua itu tidak bisa menghibur hati Dasrun yang sedang berduka cita. Baginya semuanya terlihat suram. Langit seperti bara api yang akan menghanguskan tubuhnya. Burung-burung seakan bernyanyi dan menari mengejeknya. Angin yang berhembus seperti membawa hawa kematian yang siap mencabut nyawa siapa saja yang dilewatinya. Pada hari itu tidak ada keindahan sedikitpun baginya.

Menjelang tengah hari, Dasrun tetap setia pada posisiya semula, duduk termenung dengan pandangan kosong. Kondisinya tidak jauh beda dengan patung. Ia sedang menunggu keajaiban datang dari langit, mengharapkan sesuatu yang mustahil akan terjadi. Kondisinya tidak lebih baik ketika ia datang waktu pagi. Ia semakin larut dalam kesedihan. Dan kesedihan itu hanya dia yang bisa merasakannya.

Sore harinya barulah Dasrun pulang ke rumahnya. Sepert biasanya sang isteri menyambutnya dengan senyum yang menyenangkan. Namun bagi Dasrun senyum itu malah menambah sakit dan sedih hatinya. Apa yang harus ia katakan pada isterinya. Apa yang akan terjadi seandainya isterinya tahu hal yang sebenarnya. Ia ingin sekali membagi kesedihannya itu tapi ia ragu melakukannya. Ia khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Akhirnya Dasrun mengurungkan niatnya.

”Bagaimana cabenya, apa sudah siap dipanen?

“Iya sebentar lagi, kamu jangan khawatir sebentar lagi kita bisa membeli bahan makanan dan membelikan sepatu untuk Joko,”

”Syukurlah, aku sempat memikirkan hal-hal yang tidak mengenakkan terjadi pada tanaman cabe kita.”

”Apa yang kau pikirkan,”

”Aku memikirkan kalau tanaman cabe kita hancur dan rusak tak bersisa, dan kita tidak bisa makan dan....” Isterinya tidak melanjutkan perkataannya.

”Sudahlah, kamu jangan berpikir yang tidak-tidak, semuanya akan baik-baik saja,” pikiranmu memang tepat, tapi aku tidak mau kau tahu hal yang sebenarnya. Kamu sudah cukup menanggung beban keluarga kita. Biarlah kejadian ini aku yang bertanggungjawab. Sebagai isteri aku tidak ingin membuatmu menderita, batin Dasrun. Dari luar, Joko menghampiri ayahnya.

“Ayah mana sepatu baru buat Joko? Katanya ayah mau membelikannya untuk Joko,”

“Sabar lee, lusa akan bapak belikan,”

“Tapi janji lo.”

“Iya lusa Joko sudah bisa memakai sepatu baru. Bapak janji. Mandi dulu sana, biar cakep,”

Senyum manis mengembang di wajah Joko. Ia menuruti perintah ayahnya.

-oOo-

Malam begitu gelap. Tidak ada bintang maupun rembulan yang menghiasi cakrawala. Langit berselimut awan mendung. Tetesan gerimis mulai turun membasahi bumi, sembuat malam terasa semakin dingin.

“Man, kita pulang yuk. Sudah mulai hujan nih,” kata salah seorang yang berbadan kerempeng pada temannya.

“Pulang Jo? Kamu niat ronda enggak sih?” orang yang merasa dipanggil namanya itu menanggapi permintaan temannya itu.

”Lagi males nih, apalagi hujan kayak gini. Lebih baik pulang dan bikin kopi panas. Buat apa sih ronda segala, dari dulu dea kita aman-aman saja. Sampai sekarang belum ada yang melapor kalau rumahnya disatroni maling.”

”Kamu ini memang maunya selalu enak sendiri. Justru karena kita ronda tiap malam makanya maling tidak ada yang berani beraksi.” Paiman tidak mau terbujuk rayuan Paijo. Ia merasa memiliki tanggungjawab menjaga keamanan desanya. Ia tidak ingin kejadian beberapa bulan lalu yang menimpa desa tetangga terjadi pada desanya. Maling itu berhasil menggasak seluruh harta kekayaan penduduk desa tetangganya. Karuan saja pemilik rumah shok berat dan akhirnya dibawa kerumah sakit. Paiman tidak ingin hal itu sampai terjadi pada desanya. Oleh karena itu ia berusaha menjaga keamanan desanya itu.

”Kalau kamu mau pulang, pulang saja sendiri. Aku masih mau jaga malam,” Paiman memberi tawaran pada Paijo. Sebenarnya ini kesempatan Paijo untuk pulang, tapi demi kesetiakawanan Paijo menolak tawaran Paiman.

”Kalau begitu kita jaga di pos ronda saja yuk, kita balik aja. Hujan sudah mulai deras. Aku berani jamin tidak akan ada maling malam ini. Semua orang malas keluar, mereka lebih suka berdiam diri di rumah sambil menikmati hidangan hangat. Lagian penduduk desa kita kan selalu hidup berkecukupan, mana ada yang mau jadi maling.”

”Kamu pergi saja duluan ke pos ronda, aku masih mau berkeliling. Aku harus memastikan semuanya aman,” Paiman meneruskan perjalanannya. Meskipun agak kesal mau tidak mau Paijo ikut dengan Paiman. Ia tidak ingin dianggap sebagai orang yang tidak setiakawan.

Ketika mereka sampai di kebun cabe, tiba-tiba Paiman meberi isyarat pada Paijo supaya diam. ”Sssttt!!” Paiman menyuruh Paijo mendekatinya.. Paijo mendekati Paiman, mencari tahu apa yang terjadi. Paiman mengarahkan jari telunjuknya kearah kebun cabe. Paijo ikut memperhatikan kebun cabe itu. Samar-samar terlihat sebuah cahaya berkelap-kelip.

”Siapa yang malam-malam begini berada di kebun cabai,” Paijo penasaran.

”Yang pasti bukan untuk menanam cabe.”

”Wah! Pasti dia maling. Ayo kita tangkap maling itu.” paijo hendak bergerak namun Paiman mencegahnya.

”Jangan kita belum tahu apa yang sedang ia kerjakan. Kita harus mencari tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya.”

”Bagaimana caranya?” Paijo tidak mengerti.

”Kita tunggu saja sebentar, nanti kalau dia mau pergi, baru kita sergap.”

Cukup lama mereka memperhatikan sosok tubuh dalam kegelapan itu. Gerak geriknya memang mencurigakan. Sepertinya dia memang sedang mencuri. Paiman tahu kebun itu milik Haji Zuhri. Dan tidak mungkin haji Zuhri pergi ke kebun malam-malam. Sudah pasti dia itu maling. Paiman lalu menyuruh Paijo memanggil beberapa orang untuk membantu penyergapan iu. Tidak beberapa lama Paijo sudah datang dengan beberapa orang yang bersenjata lengkap. Ada yang membawa pentungan, golok, celurit, bahkan ada yang embawa sebuah senapan angin. Mereka lalu menunggu waktu yang tepat untuk menyergapnya.

Tidak selang beberapa lama, sosok itu hendak pergi meninggalkan kebun itu. Spontan Paiman memberi aba-aba pada mereka.

”Tangkap!!!”

Seraya mengangkat senjata, serempak mereka berteriak, ”Ayo serbu!!!”

Sosok tubuh itu kaget ketika mendengar teriakan banyak orang. Buru-buru ia pergi dari kebun itu. Ia sudah tidak memperdulikan lagi segala sesuatunya. Ia berlari dan terus berlari menyelamatkan diri. Namun malang baginya karena terlalu buru-buru ia jadi tidak bisa elihat sebuah akar yang melintang di depannya. Akibatnya ia jatuh terjerembab. Ia tidak bisa melarikan diri lagi, sepertinya kakinya patah. Gerombolan massa berhasil mengejarnya. Langsung saja tubuh yang lemah tidak berdaya itu menerima pukulan dan bogem mentah bertubi-tubi. Dari mulutnya hanya terdengar rintihan kecil mengaduh menahan sakit. Namun para pemuda itu tidak menghiraukan rintihan kesakitan itu. Mereka terus menerus memukulinya tanpa ampun. Hingga pada akhirnya tidak terdengar lagi rintihan keluar dari sosok tubuh yang sudah tergeletak terkulai tidak berdaya.

Melihat korbannya tidak berdaya, Paiman menyuruh yang lain agar berhenti memukulinya. Ia mencoba mengenali wajah pencuri itu. Namun karena langit terlalu gelap usahanya itu tidak berhasil.

”Ada yang membawa senter?”

”Ada,” seseorang mengulurkan senter padanya.

Semua orang terkejut ketika melihat wajah pencuri itu. Mereka seolah tidak percaya dengan apa yang telah mereka lihat.

”Masya Allah. Ini kan Pak Dasrun!”

”Iya ini Pak Dasrun.” Semua orang merasa mengenalinya. Seketika itu timbul penyesalan pada apa yang telah mereka perbuat. Mereka tidak menyangka bahwa sosok tubuh itu adalah Pak Dasrun tetangga mereka sendiri.

Paiman mencoba memeriksa keadaan Pak Dasrun yang sudah tidak bisa bergerak lagi. Ia mencoba merasakan denyut nadi ditangannya. Namun usaha itu sia-sia, tdak ada tanda-tanda kehidupan lagi pada tubuhnya. Tangannya terasa dingin, lebih dingin dari udara malam itu. Malam itu, sebuah nyawa telah pergi meninggalkan jasadnya. Seorang bapak yang dengan gigih berusaha membahagiakan anak isterinya harus mengakhiri kehidupannya ditangan tetangganya sendiri. Demi kebahagiaan anak isterinya sebuah nyawa rela terlepas dari jasadnya. Selamat tinggal Pak Dasrun. Semoga engkau bisa memaafkan kami semua yang sedang berada di sini saat ini.....

Selesai:

Jumat, 7 Maret 2008

Pukul 12.34 WIB

Sapen, Yogyakarta

No comments:

Post a Comment