26 July, 2009

S K S

SKS[1] Bikin Stres

Oleh : Ary El Wanasaby

Pagi itu Jono bangun kesiangan. Matahari sudah meninggi. Jam beker di meja belajarnya sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, sementara ia masuk sekolah jam tujuh tepat. Sekarang ia hanya memiliki waktu setengah jam untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ia sudah harus berada di sekolah sebelum jam tujuh jika tidak ingin terlambat dan mendapatkan ceramah dari satpam sekolah.

Jono memang tipe anak yang malas. Sering sekali ia dibangunkan oleh ibunya. Jika tidak demikian, maka jangan harap Jono akan bangun pagi. Sama saja seperti mengharap matahari terbit dari sebelah barat. Seperti hari ini, ia bangun kesiangan. Lantas ia pun marah-marah pada ibunya.

“Kenapa Ibu tidak mbangunin aku, hari ini kan aku ada ujian semester,” kata Jono dengan wajah dilipat karena jengkel. Matanya terlihat bengkak sebesar jengkol. Semalam ia begadang sampai larut malam. Rambutnya pun terlihat acak-acakan. Pagi itu ia benar-benar seperti badut yang kehilangan pekerjaannya.

“Ibu kan tadi malam sudah memperingatkan kamu supaya jangan tidur kemaleman, biar bisa bangun pagi,” jawab ibunya tenang. Ibunya memang sudah terlatih dalam menghadapi anaknya yang satu ini. Butuh kesabaran dan perhatian.

“Iya, tapi kan Jono harus belajar supaya tidak mendapat nilai jelek. Jono pasti akan diledekin temen-temen jika nilai Jono jelek. Biasanya juga Ibu kan selalu mambangunkan aku setiap hari. Kenapa hari ini Ibu tidak mambangunkan Jono,” sahut Jono kesal. Ibunya malah tersenyum, Hal itu membuat Jono tambah kesal.

“Ibu tadi sudah mambangunkan kamu kok, tapi kamu tidak mau bangun. Malah kamu menarik selimut dan menyembunyikan kepala kamu di bawah bantal. Dan karena Ibu sedang sibuk sementara kamu susah dibangunin, jadi terpaksa kamu Ibu tinggal. Salah siapa coba, masih mau menyalahkan Ibu?”

“Seharusnya Ibu membangunkan aku sampai benar-benar bangun,” Jono berkilah.

“Kan tadi Ibu sudah bilang, pagi ini Ibu benar-benar sibuk, lagian kenapa kamu belajar sampai larut malam. Selain bangunnya kesiangan juga bisa mengganggu kesehatan kamu. Udara malam itu tidak baik bagi tubuh,” timpal Ibu mencoba menasehati.

“Ibuuuu…” kata Jono kesal. “Hari ini tu Jono ada ujian semester, jadi Jono harus belajar,” lanjut Jono.

“Belajar kan tidak harus sampai larut malam, dan kenapa kamu baru mau belajar kalau hanya ada ujian. Coba belajar tiap hari, kan tidak perlu begadang.”

Jono tidak berkutik. Ia tidak mempunyai argumen lain untuk menjawabnya. Kali ini ia kalah. Dan memang selalu kalah jika berbicara dengan Ibunya, namun ia tidak pernah mau mengakuinya. Egonya terlalu besar. Sikap egois, mementingkan diri sendiri dan tidak mau mendengarkan nasehat orang lain masih bersemayam di jiwa remajanya. Namun begitu, hati kecilnya membenarkan perkataan Ibunya. Keinginan untuk belajar setiap hari kadang muncul di benaknya. Tetapi keinginan itu belum pernah terealisasi dengan baik. Rasa malas masih bercokol di jiwanya dan menguasai anggota tubuhnya.

“Ayo makan dulu.” ajak Ibunya kemudian.

“Ibu sudah menyiapkan nasi goreng kesukaan kamu.”

Jono melirik ke meja makan. Selera makannya muncul. Namun demikian ia tidak jadi memakannya. Ia melihat jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 06.50.

“Wah.. nggak sempat Bu. Jono mau berangkat sekolah sekarang. Udah telat nih,” ucap Jono sambil memakai sepatu.

“Kamu nggak suka nasi goreng kesukaan kamu? Kalau kamu tidak makan, nanti kamu sakit. Perutmu kan masih kosong.”

“Jono makan di kantin sekolah aja. Sudah tidak ada waktu niih. Jono berangkat dulu Bu,” tukas Jono seraya menyambar tas yang berada di meja makan.

Ibunya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya. Ia lalu memperhatikan kepergian anaknya sampa hilang dari pandangan matanya yang sudah mulai keriput.

-oOo-

Jarak antara sekolah Jono dengan rumahnya tidak begitu jauh, tidak sampai satu kilometer. Ia pergi ke sekolah dengan bersepeda. Waktu yang diperlukan tidak sampai sepuluh menit untuk sampai di sekolahnya.

Jono tiba di sekolah tepat saat bel masuk berbunyi. Ia segera memarkirkan sepedanya dan berlari masuk ke kelas dengan nafas yang masih ngos-ngosan. Keringat bercucuran menghiasi keningnya. Sesekali ia mengusap pelu yang mengalir di pipinya.

Di dalam ruang kelas, ia mencari tempat duduknya. Setelah ketemu ia kemudian mencocokkan nomor yang ada di meja dengan nomor di kartu ujiannya. Dan memang benar, itu adalah tempat duduknya. Ia duduk dibarisan depan tepat di depan meja guru yang jaraknya hanya beberapa meter saja. Ia duduk di meja itu. Kembali ia mengusap keringat di pipinya. Temannya ada yang nyletuk.

“Habis lari maraton Jon?!”, perkataan temannya itu di sambut tawa oleh seluruh siswa di ruangan itu.

Jono tidak menggubris pertanyaan temannya. Ia sibuk mempersiapkan peralatan tulisnya.

Tak berapa lama, dua petugas pengawas masuk ke kelas itu. Mereka membagikan lembar soal dan lembar jawaban kepada para peserta ujian. Bel pertanda mulai mengerjakan sudah dibunyikan. Semua peserta pun mulai mengerjakan soal ujian tersebut. Tak terkecuali Jono. Ia sudah mempersiapkan dirinya dengan belajar semalaman. Ia yakin bisa menjawab semua soal dengan benar dan akan mendapatkan nilai bagus nantinya. Raut wajahnya menampakkan rasa percaya diri yang luar biasa. Tapi ia tidak tahu sampai kapan rasa percaya dirinya akan bertahan.

Waktu terus berjalan. Para siswa sibuk dengan dirinya masing-masing. Suasana begitu hening. Hanya terdengar suara kertas yang di bolak balik oleh siswa dan suara langkah sepatu pengawas yang berjalan mondar mandir. Matanya menjelajahi seluruh ruangan. Ia berkeliling dan mengawasi setiap peserta kalau-kalau ada yang nyontek.

“Budi! Kerjakan tugasmu sendiri!” kata pengawas ketika melihat Budi yang sedang bertanya kepada teman di sampingnya.

“I.. Iya Pak,” jawab Budi gugup karena perbuatannya diketahui oleh pengawas. Ia pun tidak jadi menanyakan soal jawaban dan kembali mengerjakan tugasnya sendiri. Suasana kembali hening.

Di meja barisan depan, Jono terlihat begitu larut dengan pertanyaan-pertanyaan di lembar soal itu. Hal itu bisa terlihat diraut wajahnya. Keningnya terlihat mengkerut. Kedua alisnya hampir menyatu. Sepertinya ia sedang berpikir keras untuk mencari jawabannya. Lembar jawaban telah ia isi lebih dari setengahnya.

Mulut Jono komat-kamit membaca berulang ulang soal yang butuh pemahaman mendalam. Ia mencoba mengingat-ingat jawabannya di buku yang telah ia pelajari semalam suntuk. Tetapi usahanya sia-sia. Ia tidak berhasil mengingat kembali materi yang telah ia baca tadi malam. Konsentrasinya mulai pudar. Dan penyebabnya adalah bunyi perutnya yang kelaparan. Rasa lapar membuatnya susah berpikir. Kepalanya terasa begitu berat. Seperti ada gajah besar yang menindih kepalanya. Matanya yang masih ngantuk tidak bisa fokus pada kalimat yang dibacanya, sehingga ia perlu berkali-kali mengulang bacaannya supaya benar-benar paham dengan pertanyaannya. Tanpa disadari hal itu membuat waktunya terbuang cukup banyak.

Waktu tinggal sepuluh menit., tapi Jono baru saja menyelesaikan tiga puluh soal dari lima puluh soal secara keseluruhan. Dan ketika pengawas memberitahukan sisa waktu tersebut, Jono terlihat begitu gugup. Ia mulai mengerjakan seluruh pertanyaan dilembar soal itu dengan cepat. Hatinya mulai gusar. Apalagi ketika dilihatnya temannya sebagian besar sudah selesai mengerjakannya. Keringat dingin mulai bercucuran. Ia lalu menjawab setiap pertanyaan sekenanya tanpa dipikir lebih kanjut.

Dan bel pun akhirnya berbunyi.

“Yap anak-anak! Waktu kalian sudah habis. Soal dikumpulkan dan lembar jawaban diletakkan di meja masing-masing. Silahkan keluar dengan tertib,” kata pengawas.

Pengawas mulai mengumpulkan lembar jawaban para siswa. Dengan terpaksa Jono harus keluar meninggalkan ruangan itu. Sepuluh nomor di lembar jawabannya masih terlihat kosong. Ia belum sempat mengerjakannya karena waktu sudah habis. Ia pun keluar ruangan dengan lesu. Tubuhnya pucat karena kelaparan. Ia benar-benar lelah. Seluruh tenagannya terkuras saat mengerjakan soal ujian tadi. Ia mulai ragu dengan hasil jawabannya. Apalagi ketika teringat bahwa sepuluh pertanyaan belum ia sentuh sama sekali. Nilai jelek pun mulai terbayang di benaknya.

"Ah.. biarlah. Yang penting kan sudah berusaha. Ngapain dipikir lagi. Yang berlalubiarlah berlalu," hiburnya.

Ia lalu pergi kekantin. Perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Setibanya di kantin, ia langsung makan sepuasnya. Ia benar-benar kelaparan. Hampir semua gorengan di atas meja habis ia makan. Ia baru berhenti ketika merasa perutnya sudah tidak bisa menampung makanan lagi. Sampai-sampai terdengar suara yang khas dari mulutnya. Suara khas orang yang kekenyangan.

Setelah membayar semua makanan yang dimakannya, ia pun kembali ke kelas. Setibanya di kelas, bel masuk berbunyi. Semua peserta ujian masuk ke kelas, tidak ketinggalan pula Jono. Jono yang merasa tenaganya sudah pulih, kali ini kembali bersemangat.

Sebenarnya ia merasa kurang PD jika harus duduk di depan. Ia ingin usul agar tempat duduknya di pindah ke belakang saja. Tapi percuma saja, ini kan ujian. Tempat duduk harus sesuai dengan nomor urut dan kebetulan nomor urut Jono berada di meja bagian depan. Mau tidak mau ia harus duduk di depan sesuai nomor urutnya. Memang seperti itulah aturannya.

Soal kembali dibagikan. Bel sudah berbunyi. Para siswa serempak membuka soal. Kalau dipikir mirip pelatihan di kepolisian.

Kali ini Jono berusaha mengerjakan soal secepatnya. Ia ingin menyelesaikan seluruh soal sebelum waktunya habis. Namun kenyataan tidak sesuai dengan apa yang ia rencanakan. Baru beberapa menit berjalan, ia mengalami masalah dengan perutnya. Ia merasa ingin buang air besar, perutnya mules. Lagi-lagi ia tidak bias konsentrasi mengerjakan soal. Ia berusaha mengabaikan masalah perutnya, tetapi tidak bias. Lama kelamaan sakit perutnya tidak bisa ditahan. Akhirnya ia minta ijin kepada pengawas untuk meninggalkan ruangan.

“Kenapa?” kata pengawas.

“Anu Pak, mau minta ijin ke belakang sebentar,” tukas Jono sambil memicingkan mata karena menahan sakit perutnya.

“Oya silahkan, tapi jangan lama-lama ya,” kata pengawas kemudian.

“Terima kasih Pak,” kata Jono seraya buru-buru pergi menuju kamar mandi.

Beberapa saat kemudian Jono kembali masuk ke kelas. Dia merasa lega karena sakit perutnya sudah hilang. Namun ia sudah kehilangan waktu sebanyak lima belas menit. Teman-temannya sudah hampir selesai mengerjakan ujiannya. Jono pun mengejar ketertinggalannya. Dan akhirnya Jono bisa menyelesaikan seluruh soal tepat waktu dan ia merasa kali ini kemenangan berpihak padanya.

-oOo-

Ujian semester sudah selesai. Hari ini adalah pembagian raport. Orang tua murid berdatangan ke sekolah untuk mengambil raport anaknya. Begitu pula dengan Ibunya Jono. Ia telah mendapatkan surat undangan dari Kepala Sekolah, sama seperti orang tua murid yang lain.

Siang harinya Ibu Jono pulang dengan membawa raport anaknya. Jono yang melihat Ibunya datang langsung menanyakan nilai raportnya. Ibunya menyerahkan nilai raportnya. Ketika raportnya di buka, kekecewaan terlihat pada raut muka Jono. Apa yang diharapkannya ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Hampir semua nilainya berada di bawah rata-rata. Hanya beberapa saja yang diatas rata-rata. Ia juga tidak mendapatkan peringkat kelas. Ia sedih dan amat kecewa.

“Aku gagal Bu,” ucapnya dengan nada lesu.

Ibunya tersemyum melihat kekecewaan anaknya, dan berusaha menghiburnya.

“Kamu belum gagal jika kamu bisa mengambil hikmah dari semua ini. Ubahlah segala kebiasaan buruk kamu dan perbaiki cara belajar kamu. Sekarang kamu sudah tahu sendiri akibatnya belajar system borongan.”

Jono tidak menyangka akan memperoleh jawaban seperti itu dari Ibunya. Ia piker ia akan dimarahi habis-habisan. Jono kagum pada Ibunya. Ia tidak menyangka kalau Ibunya begitu baik padanya. Sama sekali tidak terlihat raut kemarahan di wajahnya. Ia sungguh bangga memiliki Ibu yang bangga seperti dia. Ia mulai menyadari akan kesalahannya. Dan ia menyesali perbuatannya selama ini karena tidak menuruti nasehat Ibunya. Ia berjanji, mulai sekarang ia akan belajar dengan rajin dan akan membuat Ibunya bangga.

-oOo-

“Seseorang tidak akan pernah tahu

jika ia tidak pernah mencobanya”




[1] Sistem Kebut Semalam (cara belajar orang malas yang hanya mau belajar jika aka nada ujian)

No comments:

Post a Comment