Bidadari Surgaku….
Aku tidak tahu apakah ini kesedihan ataukah kebahagiaan. Yang jelas peristiwa-peristiwa yang telah menimpaku membuatku memiliki pandangan berbeda tentang seorang wanita. Ternyata apa yang dikatakan orang-orang selama ini tidaklah sama dengan apa yang telah aku alami. Orang-orang mengatakan bahwa wanita adalah seorang bidadari yang turun dari langit. Ia memiliki watak yang lemah lembut, tidak pernah menyakiti perasaan orang lain, berjiwa kasih sayang, dan masih banyak lagi perkataan orang yang mengagung-agungkan sosok seorang wanita.
Menurutku, ketika aku belum menemukan bidadari surgaku, wanita tidaklah seperti apa yang dikatakan orang-orang kebanyakan. Bagiku wanita justru adalah makhluk yang sangat mengerikan. Dan ia lebih menakutkan dari pada seekor singa. Kecantikan yang dimilikinya hanyalah sebagai umpan untuk menjerat mangsanya. Wanitalah yang mengajarkan aku derita dan kesedihan. Namun wanita jugalah yang mengajarkan aku kesenangan dan kebahagiaan.
Berawal dari perkenalanku dengan seorang wanita ketika SMA, Asni namanya sebut saja begitu. Bagiku ia adalah sosok wanita yang perfect. Di mataku ia adalah wanita yang cerdas, cantik, dan baik hati. Dari situ aku mulai tertarik dengan sikap dan kepribadiannya. Perasaan suka mulai menjalar diseluruh tubuh. Aku pun mengambil tindakan lebih lanjut untuk lebih mengenalnya (istilah kerennya pedekate).
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ternyata niatku disambut baik olehnya. Kami pun berteman akrab. Setelah beberapa bulan, aku mendapatkan firasat bahwa dia juga suka kepadaku. Perilaku dan perhatian yang dia tujukan padaku sepertinya lebih dari sekedar teman. Dan aku pun yakin tentang hal itu.
Seseorang pernah mengatakan jika kamu jatuh cinta pada seseorang maka katakanlah ketika kesempatan itu datang. Karena jika kesempatan itu telah pergi, maka kamu akan menyesali perbuatanmu seumur hidup. Dan perasaan bersalah itu tidak akan pernah hilang sampai ajal menjemputmu. Begitulah, tanpa menunggu lebih lama lagi aku nyatakan cintaku padanya. Dugaanku benar, aku bergembira karena cintaku bagaikan gayung bersambut. Dia menerima cintaku. Luapan kegembiraan tida bisa tertahankan. Keesokan harinya aku mentraktir beberapa orang temanku sebagai wujud dari kebahagiaanku.
Waktu terus berjalan. Tidak terasa dua tahun sudah aku menjalin hubungan dengannya. Selama ini hubungan kami baik-baik saja. Walaupun ada sedikit pertengkaran, menurutku hal itu wajar-wajar saja. Tidak selamanya hidup itu selalu bahagia. Dunia itu seperti roda yang berputar, kadang kita berada di bawah kadang berada di atas.
Menjelang ujian nasional kelas tiga, tanpa kuduga Asni memutuskan hubungannya denganku. Aku tidak menyangka kalau dia berbuat demikian, memutuskan hubungan secara sepihak. Tentu saja orang yang paling merasa dirugikan adalah aku. Aku yang masih mencintai dia dengan terpaksa harus meninggalkannya. Hatiku terasa sakit, sebenarnya aku tidak terima. Tapi apa mau dikata, perasaan tidak bisa dipaksakan. Asni sudah tidak mencintaiku lagi, buat apa aku masih mencintainya. Namun ketika aku tanyakan alasannya kepadanya, dia mengatakan bahwa bukannya dia sudah tidak mencintaiku lagi, tapi dia hanya ingin lebih berkonsentrasi belajar untuk menghadapi ujian naasional besok. Benar atau tidaknya alasan yang dia berikan padaku, aku tidak peduli. Hati ini sudah terlanjur sakit. Dan satu-satunya obat untuk menghilangkannya adalah dengan melupakannya.
Dua bulan setelah ujian, aku melihat dia berjalan berdua dengan seorang lelaki. Aku tidak tahu apakah lelaki itu saudaranya ataukah pacar barunya, yang jelas mereka kelihatan begitu akrab. Tapi aku tidak mau tahu dan memang tidak ingin mencari tahu. Aku sedang sibuk mengurusi keperluan untuk persiapan kuliah. Satu pelajaran yang dapat kuambil ialah bahwa hidup itu tidak selalunya indah. Seperti langit, kadang cerah biru lazuardi dan kadang awan mendung menggantung membuat bumi suram buram. Dan aku juga tahu bahwa tidak semua harapan bisa kita wujudkan. Adakalanya harapan itu hanyalah sebuah mimpi dan akan hilang jikalau kita sudah terbangun. Sekarang aku harus bisa melupakannya. Mengubur kenangan dengannya bersama kesedihan dan kekecewaan. Di dalam hati aku taruh kembali harapan pada tempat baru yang akan aku singgahi. Ya, perguruan tinggi yang baru saja aku masuki.
-oOo-
Aku kuliah di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Sama sekali tidak menyangka kalau aku akan kuliah di kota pelajar itu. Kendati bukan perguruan tinggi favorit, setidaknya universitas tersebut tidak kalah kualitasnya dengan perguruan tinggi ternama di Jogja. Dan yang lebih penting aku menjadi tahu tentang kultur dan watak orang Jogja. Selain itu aku juga bisa mengenal karakter orang luar Jawa. Banyak sekali orang-orang dari luar Jawa datang ke kota pelajar itu. Tidak hanya sekedar untuk tempat tujuan kuliah saja, tetapi ada juga yang datang ke Jogja khusus untuk mencari pekerjaan.
Tidak terasa sudah satu tahun aku menyandang gelar sebagai mahasiswa. Ya… mahasiswa adalah sebutan bagi seorang orang yang menuntut ilmu di perguruan tinggi. Istilah mahasiswa sebenarnya hanya ada di Indonesia. Dalam bahasa Inggris, antara mahasiswa dan pelajar memiliki kata yang sama yaitu “student”. Istilah mahasiswa itu digunakan untuk membedakan bahwa antara seorang pelajar di perguruang tinggi itu berbeda dengan pelajar di SMA. Mahasiswa dianggap sudah memiliki kematangan dalam berpikir, ia lebih bersikap rasional, bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya dan sudah memiliki sikap kedewasaan tinggi. Sebelum kuliah, gambaranku tentang sosok mahasiswa adalah orang-orang yang selalu melakukan aksi unjuk rasa di jalan-jalan. Mereka sering membuat keonaran, mengganggu ketertiban sosial, bersikap anarki, dan hal-hal negatif lainnya. Setelah aku menjadi seorang mahasiswa kini aku tahu bahwa yang aku ketahui dari sosok mahasiswa ketika itu hanyalah sebagian kecil saja atau sisi lain dari kehidupan mahasiswa. Sebenarnya tidak hanya hal negatif saja yang ada pada diri seorang mahasiswa tapi segi positifnya pun ada, malah lebihh dominan. Namun segi-segi positif ini tidak begitu tampak karena kurang adanya vokal dan publik lebih menangkap hal-hal negatifnya saja yang cenderung hanya sebagian kecil dari aspek kehidupan mereka.
Dalam kehidupanku sebagai mahasiswa, kadang membuatku merasa seperti menanggung beban begitu berat. Aku mulai khawatir dengan masa depanku. Aku merasa harus memikirkan masa depanku mulai dari sekarang. Sebagai seorang remaja menjelang akhir sudah sepantasnya bagiku untuk mulai menata ulang visi dan misiku. Apa yang akan aku lakukan untuk sekarang dan masa yang akan datang. Aku harus mulai latihan bertanggung jawab dengan kehidupanku sendiri. Dan sudah sepantasnya pula bagiku untuk memilah dan memilih seseorang yang akan menjadi bagian dari hidupku. Walaupun dirasa masih terlalu dini untuk dipikirkan, tapi aku rasa itu perlu untuk mendapatkan gambaran tentang calon pasangan hidupku.
Pengalamanku yang telah lalu membuatku lebih selektif dan hati-hati dalam mengenal kaum hawa. Aku tidak ingin peristiwa lalu terulang kembali. Cukup hanya satu saja pil pahit yang kutelan. Biarlah masa laluku terkubur bersama waktu yang terus bergulir disampingku. Dan berharap kesedihan segera berganti dengan kebahagiaan.
Dan kini, aku kembali menjalin hubungan dekat dengan seorang wanita. Namanya Nayla. Beberapa hari yang lalu kita telah menjalin benang merah bersama dan berjanji untuk berbagi suka dan duka. Nayla, selain cantik dia juga adalah wanita yang cerdas. Kemampuan intelektualnya diatas rata-rata mahasiswa lainnya. Beberapa bulan yang lalu kita mengajukan beasiswa bersama-sama pada sebuah lembaga swasta. Dan alhamdulillah dalam waktu dua bulan beasiswa itu turun.
Selama berteman dekat dengan Nayla, aku menjadi lebih termotivasi untuk masuk kuliah. Dia selalu memberi support kepadaku. Saat aku sedang malas kuliah, dia selalu mengingatkanku tentang tujuanku kuliah sehingga rasa malas itu menjadi lari terbirit-birit karenanya. Perhatian yang dia berikan padaku kadang seperti orangtuaku sendiri. Hal itu membuatku seperti merasa berada di rumah sendiri, selalu ada yang mengingatkan dan memperhatikanku.
Dalam hidupnya, seseorang tentu tidak ingin jatuh kedalam lubang yang sama. Apalagi jika lubang itu begitu dalam dan gelap. Tapi jika Tuhan memang menghendaki demikian, apa mau dikata. Toh manusia hanya bertindak sebagai pemeran di atas panggung dunia. Dan manusia tinggal mengikuti saja alur serta skenario yang telah dirancang oleh-Nya. Mungkin seperti itulah yang menimpaku saat ini. Meskipun aku tidak ingin kejadian masa lalu terulang lagi, tapi kalau Tuhan memang berkehendak demikian maka apa mau dikata. Manusia tidak punya daya upaya untuk menolak ketetapan-Nya.
Belum genap satu tahun aku mengikat benang merah dengan Nayla, kembali masa laluku terulang lagi. Secara sepihak ia memutuskan benang itu dan menguraikan lagi kain yang telah dirajutnya. Kini kain itu telah tercerai berai bersama dengan hatiku yang hancur luluh dan terpecah belah menjadi puing-puing yang berserakan dimana-mana. Dengan susah payah aku berusaha mengumpulkan kembali puing-puing itu. Aku tidak tahu kenapa dia mengambil keputusan yang menyakitkan hatiku. Kenapa dia dulu begitu perhatian padaku jika pada akhirnya dia mencampakkan dan melemparku kedalam lembah yang suram dan tiada bertepi. Kadang aku tidak mengerti sebenarnya apa yang diinginkan kaum wanita. Kenapa mereka membuat sakit hati kaum lelaki. Apakah mereka ingin menunjukkan kekuatan mereka. Apakah mereka ingin mengatakan bahwa lelaki tidak berdaya jika tanpa wanita? Bukankah wanita juga demikian? Aku tidak tahu jawabannya, hanya merekalah kaum wanita yang tahu.
-oOo-
Aku sudah jera dengan makhluk bernama wanita, terlebih mereka yang memiliki nama Asni dan Nayla. Aku tidak mau mengingat nama mereka lagi seumur hidupku karena dengan mengingatnya sama saja dengan membuka kembali luka lama yang pedihnya tiada tara. Cukup sudah dua orang itu yang membuat luka hatiku dan akan kuhentikan petualanganku dalam mencari cinta. Sepertinya kedua wanita itu memberikan trauma yang cukup dalam bagiku. Butuh waktu yang lama untuk menyembuhkannya dan aku harus menghindari segala urusan yang mengingatkanku dengan kedua wanita itu.
Aku mencoba mencari kesibukan baru yang bisa melupakan kesedihanku. Dan satu-satunya jalan terbaik menurutku ialah dengan mondok di pesantren. Ya… kini aku mondok di sebuah pondok pesantren salaf yang cukup modern. Di pondok itu aku bisa melupakan kesedihanku sedikit demi sedikit. Walaupun ingatanku tentang mereka berdua masih ada namun kesedihan itu sudah sirna dan menganggap kejadian lalu sebagai hal yang biasa saja. Di pondok, aku memiliki kesibukan baru. Selain mengaji kepada Kyai sebagai kegiatan rutinku, aku juga kadang mengajar ngaji anak-anak TPA. Walaupun tidak digaji aku tetap merasa senang karena dari situ aku bisa mengajarkan ilmu-ilmu yang telah Kyai berikan padaku sehingga ilmu yang aku dapatkan pun menjadi semakin mantap.
Sudah satu tahun aku mondok di pesantren salaf itu. Telah banyak kitab-kitab yang aku pelajari. Pengetahuanku tentang agama Islam pun semakin luas. Ternyata Islam merupakan agama yang menarik untuk dipelajari dan barang siapa saja yang mempelajari Islam berikut beserta Al-Qur`an san Sunnah Rosul maka ia akan mendapatkan hidayah dan petunjuk dari Allah SWT. Telah banyak orang-orang non Islam yang mempelajari Al-Qur`an dengan tujuan utama mencari kelemahan Islam- kemudian malah mereka masuk Islam. Mereka masuk Islam dikarenakan mereka berpikir menggunakan akalnya. Namun jarang sekali kita temukan orang yang berpaling dari Islam disebabkan karena hasil berpikir mereka. Kebanyakan mereka yang keluar dari Islam cenderung disebabkan karena mengikuti keinginan perut. Mereka mau mengorbankan akidah dan keyakinan mereka demi –contoh ekstrimnya- sebungkus mie rebus. Mereka inilah orang-orang yang masih lemah imannya. Ujian dan cobaan yang menimpanya membuatnya berpaling dari agama fitrah, satu-satunya agama yang diterima oleh Allah. “Innaddina `indallahil Islam” sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.
Aku semakin tekun belajar di pondok itu. Keingintahuanku tentang agama Islam kadang membuatku merasa tidak puas dengan apa yang telah disampaikan Pak Kyai. Tidak jarang aku menemui Pak Kyai hanya untuk menanyakan sesuatu yang belum aku ketahui. Alhamdulillah Pak Kyai selalu memberikan waktu luangnya untukku. Dia malah merasa senang jika ada santrinya yang begitu antusias mempelajari ilmu Islam.
Ada satu hal yang diajarkan Pak Kyai dan sampai sekarang masih melekat erat di dalam benakku. Ini berkaitan dengan pasangan hidup. Ia menyampaikan sebuah ayat Al-Qur`an yang artinya (kurang lebih) : dan wanita yang baik hanya akan menikah dengan laki-laki yang baik pula. Ayat ini aku pegang betul dan kujadikan pedoman dalam mencari paangan hidupku sehingga aku harus menjadi orang baik jika enginginkan wanita yang baik pula. Bagaimana bisa mmendapatkan bidadari yang sholehah jika diri sendiri bertingkah laku seperti preman. Meskipun hal itu bisa saja terjadi, menurutku itu ironi. Kasihan sang bidadarinya dan bagi preman sendiri tidakkah malu mempersuntingnya.
-oOo-
Suatu hari, salah seorang santri berkata padaku bahwa Pak Kyai menginginkan aku untuk menemui beliau di rumahnya nanti malam bakda Isya. Aku merasa heran, tak seperti biasanya Pak Kyai menyuruhku untuk menghadap, apalagi sampai ke rumahnya. Ada apa gerangan. Apa yang ingin disampaikan Pak Kyai? Apakah aku telah melakukan suatu kesalahan? Berbagai pertanyaan muncul dibenakku.
Malam harinya, setelah bakda isya, aku langsung menemui Pak Kyai dirumahnya. Pak Kyai menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengajakku duduk di ruang tamu yang sepertinya memang sudah dipersiapkan untuk menyambut kedatanganku. Setelah basa basi sejenak, Pak Kyai mulai berbicara serius dan menjelaskan maksud beliau mengundang ke rumahnya. Aku begitu kaget ketika beliau mengutarakan maksudnya untuk menikahkan aku dengan putrinya. Sebelumnya beliau memang sudah tahu kalau aku memang belum menikah. Beliau menjelaskan juga alasan memilihku sebagai calon menantunya. Dan menurutnya aku adalah orang yang cocok untuk menjadi menantuya karena beliau menganggap bahwa aku memenuhi kriteria sebagai seorang suami sholeh dan bertanggung jawab.
Aku merasa bimbang. Ada perasaan ragu untuk mengambil keputusan. Selain itu aku sendiri belum pernah melihat wajah putri Pak Kyai. Aku hanya dengar dari santri lain bahwa putri Pak Kyai itu cantik. Tapi bagiku, cantik atau tidaknya bukan suatu masalah. Dan mengenai budi pekertinya, aku tidak perlu menyangsikannya lagi. Yang menjadi masalahnya adalah karena aku merasa belum siap untuk menjadi seorang suami, apalagi suami bagi putri seorang Kyai. Apa kata orang jika aku tidak bisa membahagiakannya.
“Nak Imron tidak usah bingung. Pikirkanlah baik-baik. Saya tidak mengharuskan anda untuk memberikan jawabannya malam ini juga. Nak Imron bisa memikirkan tawaran yang saya berikan dengan matang. Shalatlah istikharah, minta petunjuk pada Allah.” Kata Pak Kyai dengan bijaknya.
“Baik Pak Kyai, saya akan pikirkan tawaran Pak Kyai. Tapi sebelumnya apakah nantinya putri Pak Kyai mau menerima saya seandainya saya menerima tawaran Pak Kyai?” saya mencoba meyakinkan.
“Mengenai hal itu, nak Imron tidak usah khawatir. Saya sudah menanyakannya hal ini kepadanya, dan putri saya sudah menyerahkan segala urusannya pada saya sebagai bapaknya.”
“Oh begitu. Kalau demikian saya pamit dulu Pak Kyai. Saya akan memikirkannya lagi dan Insya Allah jika sudah mendapatkan jawabannya saya akan segera menemui Pak Kyai lagi. Mari Pak Kyai Assalamu`alaikum.”
“Wa`alaikumsalam. Kami tunggu jawabannya”
Aku pulang dari rumah Pak Kyai dengan berbagai kebimbangan dan ketidak mengertian. Kenapa Pak Kyai memilihku sebagai caon menantunya? Bukankah masih banyak lelaki lain yang lebih pantas untuk menjadi calon menantunya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul berputar-putar di dalam kepalaku.
Dua hari kemudian aku kembali ke rumah Pak Kyai untuk memberikan sebuah jawaban dan sekaligus menentukan arah kehidupanku selanjutnya. Dan seperti biasa Pak Kyai menyambutku dengan ramah.
“Bagaimana Nak Imron, apakah sudah mendapatkan jawabannya?” tanya Pak Kyai.
“Alhamdulillah sudah Pak Kyai dan saya harap jawaban saya ini memberikan kebaikan bagi semuanya. Baiklah……” Aku menarik napas sejenak, mengumpulkan seluruh tenagaku untuk mengeluarkan kata-kata selanjutnya.
“Baiklah, saya terima tawaran Pak Kyai dan saya bersedia menjadi menantu sekaligus istri bagi putri Pak Kyai.” Aku menghela napas lega.
Pak Kyai tersenyum mendengar jawabanku.
“Jawabanmu Insya Allah merupakan kebaikan bagi kita semua.” Lalu Pak Kyai memperkenalkan putrinya kepadaku. “Ini putri saya, Insya Allah kamu tidak akan menyesal menikahi putriku.”
Subhanallah, dalam hati aku berdecak kagum. Ternyata apa yang dikatakan oleh para santri memang benar, putri Pak Kyai memang cantik. Parasnya sungguh mempesona. Dia seperti bidadari yang turun dari surga. Aku bersyukur karena telah memilihnya.
Kau bunga di tamanku
Mekar dan kian mewangi
Menghiasi diriku
Dimanapun aku berada
Dilubuk hati ini
Engkau bidadari surgaku
Dirimu adalah anugerah Tuhan untukku
Yang pasti kan kusukuri dan selalu kan ku jaga
Engkau adalah p enentram jiwa
Membuatku rindu untuk berkumpul
Di surga nanti
Semoga Allah kan mengabulkan kerinduan ini
Sehingga kita berkumpul bahagia selamanya
(Lirik Nasyid)
Sesaat pandangan kita bertemu, dia tersenyum padaku. Entah kenapa jantung ini tiba-tiba berdebar begitu keras. Hati ini berdesir dan sekujur tubuh mulai gemetar. Belum pernah aku merasakan suasana seperti ini sebelumnya. Buru-buru aku mengalihkan pandanganku. Aku lihat dia juga berbuat sama seperti aku lalu kemudian masuk ke dalam rumah setelah minta ijin kepada ayahnya.
Jantungku masih berdebar keras dan tidak beraturan. Aku menghela napas panjang dan berusaha menenangkan diri. Pertemuan pertama yang begitu mengesankan. Sungguh suatu kejadian yang tidak akan mungkin terlupakan dalam hidupku. Oh iya, aku belum tahu namanya, siapa gerangan namanya.
“Maaf Pak Kyai nama putri bapak siapa ya?” aku mencoba menanyakannya.
“Oh iya maaf. Bapak sampai lupa memperkenalkan nama putri bapak. Namanya Asniah Nailasari.”
“Haaah…?!?!??!!”
(Al Wanasaby)
Minggu, 16 Desember 2007
Selesai : 02.25 WIB
Sleman, Yogyakarta
No comments:
Post a Comment