07 September, 2014

Agama Buddha



Agama Budha merupakan salah satu agama dari beberapa agama di Indonesia. Agama ini lahir di India dengan pendirinya yaitu Sidharta Gautama. Ia adalah seorang putera mahkota yang mengasingkan diri dari kerajaannya untuk mencari hakikat suatu kebenaran tentang arti kehidupan.
A.    Pengertian dan Asal Usul Agama Budha
Buddha (dalam Bahasa Sansekerta berarti: mereka yang sadar, yang mencapai pencerahan sejati. Dari perkataan Sansekerta: “Budh”, untuk mengetahui) merupakan gelar kepada individu yang menyadari potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya.[1] Kata Budha bisa juga berarti “Ia yang bangun.”[2]
Budha adalah sebutan bagi seseorang yang telah mencapai penerangan sempurna. Agama Budha lahir di negara India, tepatnya di Wilayah Nepal. Pendirinya adalah Sidharta Gautama (Budha Gautama). Ia lahir pada tahun 623 SM di India Utara, dan meninggal dunia pada usia 80 tahun (543 SM). Ia adalah putera mahkota Kerajaan Kapilavatthu pada waktu itu, dan sekarang terletak dekat dengan perbatasan India dan Nepal. Ia hidup serba berkecukupan sehingga hampir tidak mengenal istilah penderitaan.
Ketika berusia 29 tahun, Sidharta Gautama berjalan-jalan dengan para pengawal kerajaan, ia melihat peristiwa- peristiwa yang sangat mengesankan hatinya, yaitu:
1.      Orang berusia tua yang sedang menderita karena ketuannya.
2.      Orang yang sedang menderita karena penyakitnya.
3.      Orang meninggal dunia sedang ditandu oleh anggota keluarganya yang sedang dirundung duka.
4.      Seorang petapa yang menyatakan bahwa ia sedang berusaha mencari cara mengatasi penderitaan.[3]
Empat peristiwa tersebut menggugah hati nuraninya terhadap penderitaan hidup manusia, dan ia pun mulai berpikir bagaimana cara manusia untuk dapat mengatasi dan membebaskan diri dari penderitaan. Lalu ia memilih cara keempat sebagai petunjuk baginya untuk memperoleh cara dalam mengatasi penderitaan.
Sidharta Gautama kemudian pergi meninggalkan anak dan isterinya pada usia 29 tahun. Ia meninggalkan kehidupan mewahnya sebagai putera mahkota dengan menjadi seorang petapa. Ia berkelana di hutan melakukan perjuangan batin untuk mencari cara mengatasi penderitaan. Dan pada usia 25 tahun akhirnya ia mampu menyadari tentang penderitaan hidup dan cara mengatasinya. Ia berhasil mencapai penderahan atau penerangan sempurna sewaktu bertapa di bawah kerindangan pohon Boddhi (pohon beringin). Itulah sebabnya ia mendapatkan gelar atau sebutan Buddha (yang sadar) sehingga nama lengkapnya menjadi Budha Gautama. Ia juga dikenal dengan nama sakyamuni, yang berarti “orang arif yang pendiam dari suku Sakya”.

B.     Kitab Suci Agaa Budha
Setelah selesai dari bertapanya dalam mencari cara mengatasi penderitaan, ia lalu menyampaikan ajarannya kepada siapapun tanpa memandang asal kelahiran, keturunan, dan kedudukan sosial orang pada saat itu. Hal itu dilakukannya selama 45 tahun. Ajaran-ajarannya diturunkan kepada murid-muridnya secara turun-temurun dan kemudian ditulis dalam kitab-kitab pada tahun 80 SM.
Kitab suci agama Budha yang paling tua, yang diketahui sampai sekarang, tertulis dalam bahasa Pali, yang terbagi dalam tiga kelompok besar (disebut Tripitaka atau tiga keranjang) yaitu:
1.      Vinaya Pitaka, berisi peraturan-peraturan hidup unat Budha yang meninggalkan hidup berumah tangga (bhikkhu dan bhikkhuni).
2.      Sutta Pitaka, berisi khutbah-khutbah Budha Gautama dan murid-muridnya yang terkenal pada masa ia masih hidup.
3.      Abhidamma Pitaka, berisi ajaran ilmu jiwa dan metafisika agama Budha.[4]

C.     Konsep Ketuhanan Agama Budha
Perlu ditekankan bahwa Budha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Budha berbeda dengan konsep agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal. Dalam kitab Budha dijelaskan:
“Ketahuilah para Bukkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.”[5]
Ungkapan di atas adalah pernyataa dari Sang Budha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Budha. Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah “Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang” yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan, dan Yang Mutlak.” Dalam hal ini Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (Anatta), yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun.
Jadi perlu ditegaskan sekali lagi bahwa Budha bukanlah Tuhan. Budha adalah manusia. Ia dilahirkan, dijelmakan, dan juga diciptakan.
Dengan mempelajari konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Budha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Budha yang mencampuradukkan konsep Ketuhanan menurut agama Budha dengan konsep Ketuhanan agama-agama lain, sehingga banyak umat Budha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Budha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.
Dalam agama Budha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebudhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana roh manusia tidak perlu lagi mengalami proses lahir kembali. Untuk mencapai itu, pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya, tidak ada dewa-dewi yang dapat membantu. Hanya dengan usaha sendirilah kebudhaan dapat dicapai. Budha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran dengan realitas sebenar-benarnya.

D.    Konsep Moral dalam Agama Budha
Sebagaimana Islam dan ajaran Kristen, ajaran Budha juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemoralan. niilai-nilai kemoralan yang diharuskan untuk umat awam umat Budha biasanya dikenal dengan Pancasila Budha. Kelima nilai-nilai kemoralan itu yaitu:
1.      Bertekad melatih diri menghindari melakukan pembunuhan makhluk hidup.
2.      Bertekad melatih diri menghindari melakukan pencurian.
3.      Bertekad melatih diri menghindari perbuatan asusila.
4.      Bertekad melatih diri menghindari perbuatan perkataan dusta.
5.      Bertekad melatih diri menghindari makan makanan atau minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran dan menimbulkan ketagihan.
Pancasila Budha inilah yang senantiasa menjadi pedoman moral penganut agama Budha agar bisa hidup damai dan sentosa.

E.     Aliran-aliran dalam Agama Budha
Ada beberapa aliran dalam agama Budha, yaitu:
1.      Budha Theravada
Secara bahasa kata “theravada” berasal dari bahasa Pali yang terdiri dari dua kata yaitu “thera” dan “vada”. Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh terdahulu, dan vada berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti ajaran para sesepuh.
Aliran Theravada adalah aliran yang memiliki sekolah Budha tertua. Aliran ini cenderung mempertahankan kemurnian ajaran Budha, menggunakan kitab Tripitaka berbahasa Pali. Aliran ini seringkali disebut agama Budha aliran selatan, sebab pada umumnya berkembang di negara-negara Asia selatan seperti Srilanka wan wilayah Asia Tenggara (sebagian dari Cina bagian barat daya, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Thailand) dan juga sebagian Vietnam. Secara umum sama dengan aliran Budha lainnya, Theravada mengajarkan mengenai pembebasan akan dukkha (penderitaan) yang ditempuh dengan menjalankan sila (kemoralan), Samadhi (konsentrasi), dan panna (kebijaksanaan).
Agama Budha Theravada hanya mengakui Budha Gautama sebagai Budha sejaran yang hidup pada masa sekarang. Meskipun demikian Theravada mengakui pernah ada dan akan muncul Budha-budha lainnya.
2.      Budha Mahayana
Aliran ini cenderung mempertahankan makna-makna hakiki ajaran Budha, menggunakan kitab suci Tripitaka berbahasa Sansekerta. Aliran ini sering disebut agama Budha aliran utara, karena pada umumnya berkembang di Negara-negara Asia Timur dan Asia Tengah.
Lotus sutra merupakan rujukan sampingan penganut Budha aliran Mahayana. Tokoh aliran ini adalah Kuan Yin yang bermakna Maha Mendengar dan dipercayai telah memasuki alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut.
Penyembahan kepada Amitabha Budha (Amitayus) merupakan salahs atu aliran utama Budha Mahayana. Surga Barat merupakan tempat tujuan umat Budha aliran Sakhavati selepas mereka meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka terhadap Budha Amitabha dimana mereka tidak perlu lagi mengalami proses reinkarnasi dan dari sana menolong semua makhluk hidup yang masih menderita di bumi.
Mereka mempercayai bahwa mereka akan lahir semula di surga barat untuk menunggu saat Budha Amitabha memberikan khotbah Dhamma dan Budha Amitabha akan memimpin mereka ke tahap mencapai Budhi (tahap kesempurnaan dimana kejahilan, kebencian, dan ketamakan tidak ada lagi).
Seorang Budha bukanlah dewa atau makhluk suci yang memberikan kesejahteraan. Semua Budha adalah pemimpin segala kehidupan kea rah mencapai kebebasan dan kesengsaraan. Hasil amalan ajaran Budha inilah yang akan membawa kesejahteraan kepada penganutnya.
Menurut Budha Gautama, kenikmatan kesadaran nirwana yang dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Budha Mahayana khususnya merujuk kepada banyak Budha.
3.      Budha Vajrayana
Wajrayana atau kadang ditulis Vajrayana, adalah suatu ajaran Buddha yang diIndonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Wajrayana adalah ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha Mahayana, dan berbeda dalam hal praktik, bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran Wajrayana, latihan meditasi sering di barengi dengan visualisasi.
Istilah "Wajrayana" berasal dari kata vajra yang dalam bahasa sanskerta bermakna 'halilintar' atau 'intan'. Wajra melambangkan intan sebagai unsur terkeras di Bumi, maka istilah Wajrayana dapat bermakna "Kendaraan yang tak dapat rusak".
Filosofi ajaran agama Buddha dapat dibagi dua: Hinayana/Pratimokshayana (salah satunya Theravada) dan Mahayana. Hinayana menekankan pada pencapaian sebagai Arahat, sedangkan Mahayana pada pencapaian sebagai Bodhisattva. Tantrayana yang merupakan bagian dari Mahayana juga sering dikenal dengan nama jalan Boddhisattva. Hinayana dapat dibagi menjadi Vaibhashika dan Sautrantika. Sedangkan Mahayana dibagi menjadi Cittamatra dan Madhyamika. Madhyamaka ini terdiri dari Rangtong (yang mencakup Sautrantika dan Prasangika) dan Shentong (Yogacara). Keempat filosofi ajaran Buddha ini (Vaibhasika, Sautrantika, Cittamatra, dan Madhyamika) telah ada sejak zaman Buddha Gautama, muncul karena adanya perbedaan kepercayaan, perbedaan level pemahaman, perbedaan pencapaian, dan realisasi dari para murid Buddha.[6]
4.      Budha Zen
Zen adalah salah satu aliran Buddha Mahayana. Kata Zen adalah bahasa Jepang yang berasal dari bahasa mandarin "Chan". Kata "Chan" sendiri berasal dari bahasa Pali "jhana" atau bahasa Sanskerta dhyana( ध्यान ). Dalam bahasa vietnam Zen dikenal sebagai “thiền” dan dalam bahasa korea dikenal sebagai “seon”.
Jhana atau Dhyāna adalah sebuah kondisi batin yang terpusat yang ditemui dalam meditasi. Meski secara semantik, kata Chan sendiri berasal dari kata ‘dhyāna’ (sansekerta) atau ‘jhana’ (pali). Zen tidak bertujuan pada pencapaian jhana. Ini sekadar menunjukkan bahwa ajaran Zen sangat menekankan pada aspek meditasi atau samadhi.[7]





[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Buddha
[2] Huston Smith, Agama-agama Manusia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001) hal. 106
[3] Djam’annuri, Agama Kita (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000) hal. 63
[4] Ibid., hal. 64

No comments:

Post a Comment