Agama Budha merupakan salah satu
agama dari beberapa agama di Indonesia. Agama ini lahir di India dengan
pendirinya yaitu Sidharta Gautama. Ia adalah seorang putera mahkota yang
mengasingkan diri dari kerajaannya untuk mencari hakikat suatu kebenaran tentang
arti kehidupan.
A.
Pengertian dan Asal Usul Agama Budha
Buddha (dalam Bahasa Sansekerta berarti: mereka yang
sadar, yang mencapai pencerahan sejati. Dari perkataan Sansekerta:
“Budh”, untuk mengetahui) merupakan gelar kepada individu yang menyadari
potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya.[1] Kata Budha bisa juga
berarti “Ia yang bangun.”[2]
Budha adalah sebutan bagi seseorang yang telah mencapai
penerangan sempurna. Agama Budha lahir di negara India, tepatnya di Wilayah
Nepal. Pendirinya adalah Sidharta Gautama (Budha Gautama). Ia lahir pada tahun
623 SM di India Utara, dan meninggal dunia pada usia 80 tahun (543 SM). Ia
adalah putera mahkota Kerajaan Kapilavatthu pada waktu itu, dan sekarang
terletak dekat dengan perbatasan India dan Nepal. Ia hidup serba berkecukupan
sehingga hampir tidak mengenal istilah penderitaan.
Ketika berusia 29 tahun, Sidharta Gautama
berjalan-jalan dengan para pengawal kerajaan, ia melihat peristiwa- peristiwa
yang sangat mengesankan hatinya, yaitu:
1.
Orang berusia tua yang sedang menderita karena
ketuannya.
2.
Orang yang sedang menderita karena penyakitnya.
3.
Orang meninggal dunia sedang ditandu oleh anggota
keluarganya yang sedang dirundung duka.
4.
Seorang petapa yang menyatakan bahwa ia sedang berusaha
mencari cara mengatasi penderitaan.[3]
Empat peristiwa tersebut menggugah hati nuraninya
terhadap penderitaan hidup manusia, dan ia pun mulai berpikir bagaimana cara
manusia untuk dapat mengatasi dan membebaskan diri dari penderitaan. Lalu ia
memilih cara keempat sebagai petunjuk baginya untuk memperoleh cara dalam
mengatasi penderitaan.
Sidharta Gautama kemudian pergi meninggalkan anak dan
isterinya pada usia 29 tahun. Ia meninggalkan kehidupan mewahnya sebagai putera
mahkota dengan menjadi seorang petapa. Ia berkelana di hutan melakukan
perjuangan batin untuk mencari cara mengatasi penderitaan. Dan pada usia 25
tahun akhirnya ia mampu menyadari tentang penderitaan hidup dan cara
mengatasinya. Ia berhasil mencapai penderahan atau penerangan sempurna sewaktu
bertapa di bawah kerindangan pohon Boddhi (pohon beringin). Itulah sebabnya ia
mendapatkan gelar atau sebutan Buddha (yang sadar) sehingga nama lengkapnya
menjadi Budha Gautama. Ia juga dikenal dengan nama sakyamuni, yang berarti
“orang arif yang pendiam dari suku Sakya”.
B.
Kitab Suci Agaa Budha
Setelah selesai dari bertapanya dalam mencari cara
mengatasi penderitaan, ia lalu menyampaikan ajarannya kepada siapapun tanpa
memandang asal kelahiran, keturunan, dan kedudukan sosial orang pada saat itu.
Hal itu dilakukannya selama 45 tahun. Ajaran-ajarannya diturunkan kepada
murid-muridnya secara turun-temurun dan kemudian ditulis dalam kitab-kitab pada
tahun 80 SM.
Kitab suci agama Budha yang paling tua, yang diketahui
sampai sekarang, tertulis dalam bahasa Pali, yang terbagi dalam tiga kelompok
besar (disebut Tripitaka atau tiga keranjang) yaitu:
1.
Vinaya Pitaka, berisi peraturan-peraturan hidup
unat Budha yang meninggalkan hidup berumah tangga (bhikkhu dan bhikkhuni).
2.
Sutta Pitaka, berisi khutbah-khutbah Budha
Gautama dan murid-muridnya yang terkenal pada masa ia masih hidup.
3.
Abhidamma Pitaka, berisi ajaran ilmu jiwa dan
metafisika agama Budha.[4]
C.
Konsep Ketuhanan Agama Budha
Perlu ditekankan bahwa Budha bukan Tuhan. Konsep
ketuhanan dalam agama Budha berbeda dengan konsep agama Samawi dimana alam
semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir hidup manusia adalah kembali ke
surga ciptaan Tuhan yang kekal. Dalam kitab Budha dijelaskan:
“Ketahuilah para Bukkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak
Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para
Bikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang
Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari
kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi
para Bikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak
Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran,
penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.”[5]
Ungkapan di atas adalah pernyataa dari Sang Budha yang
terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan
Yang Maha Esa dalam agama Budha. Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali
adalah “Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang” yang artinya “Suatu Yang
Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan, dan Yang Mutlak.” Dalam
hal ini Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (Anatta), yang tidak
dapat digambarkan dalam bentuk apapun.
Jadi perlu ditegaskan sekali lagi bahwa Budha bukanlah
Tuhan. Budha adalah manusia. Ia dilahirkan, dijelmakan, dan juga diciptakan.
Dengan mempelajari konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini,
kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Budha adalah berlainan
dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep
tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Budha
yang mencampuradukkan konsep Ketuhanan menurut agama Budha dengan konsep
Ketuhanan agama-agama lain, sehingga banyak umat Budha yang menganggap bahwa
konsep Ketuhanan dalam agama Budha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam
agama-agama lain.
Dalam agama Budha tujuan akhir hidup manusia adalah
mencapai kebudhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati
dimana roh manusia tidak perlu lagi mengalami proses lahir kembali. Untuk
mencapai itu, pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya, tidak
ada dewa-dewi yang dapat membantu. Hanya dengan usaha sendirilah kebudhaan
dapat dicapai. Budha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk
yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan
melihat kebenaran dengan realitas sebenar-benarnya.
D.
Konsep Moral dalam Agama Budha
Sebagaimana Islam dan ajaran Kristen, ajaran Budha juga
menjunjung tinggi nilai-nilai kemoralan. niilai-nilai kemoralan yang diharuskan
untuk umat awam umat Budha biasanya dikenal dengan Pancasila Budha. Kelima
nilai-nilai kemoralan itu yaitu:
1.
Bertekad melatih diri menghindari melakukan pembunuhan
makhluk hidup.
2.
Bertekad melatih diri menghindari melakukan pencurian.
3.
Bertekad melatih diri menghindari perbuatan asusila.
4.
Bertekad melatih diri menghindari perbuatan perkataan
dusta.
5.
Bertekad melatih diri menghindari makan makanan atau
minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran dan menimbulkan ketagihan.
Pancasila Budha inilah yang senantiasa menjadi pedoman
moral penganut agama Budha agar bisa hidup damai dan sentosa.
E.
Aliran-aliran dalam Agama Budha
Ada beberapa aliran
dalam agama Budha, yaitu:
1. Budha Theravada
Secara
bahasa kata “theravada” berasal dari bahasa Pali yang terdiri dari dua kata
yaitu “thera” dan “vada”. Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh terdahulu,
dan vada berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti ajaran para
sesepuh.
Aliran
Theravada adalah aliran yang memiliki sekolah Budha tertua. Aliran ini
cenderung mempertahankan kemurnian ajaran Budha, menggunakan kitab Tripitaka
berbahasa Pali. Aliran ini seringkali disebut agama Budha aliran selatan, sebab
pada umumnya berkembang di negara-negara Asia selatan seperti Srilanka wan
wilayah Asia Tenggara (sebagian dari Cina bagian barat daya, Kamboja, Laos,
Myanmar, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Thailand) dan juga sebagian
Vietnam. Secara umum sama dengan aliran Budha lainnya, Theravada mengajarkan
mengenai pembebasan akan dukkha (penderitaan) yang ditempuh dengan menjalankan
sila (kemoralan), Samadhi (konsentrasi), dan panna (kebijaksanaan).
Agama
Budha Theravada hanya mengakui Budha Gautama sebagai Budha sejaran yang hidup pada
masa sekarang. Meskipun demikian Theravada mengakui pernah ada dan akan muncul
Budha-budha lainnya.
2. Budha Mahayana
Aliran
ini cenderung mempertahankan makna-makna hakiki ajaran Budha, menggunakan kitab
suci Tripitaka berbahasa Sansekerta. Aliran ini sering disebut agama Budha
aliran utara, karena pada umumnya berkembang di Negara-negara Asia Timur dan
Asia Tengah.
Lotus
sutra merupakan rujukan sampingan penganut Budha aliran Mahayana. Tokoh aliran
ini adalah Kuan Yin yang bermakna Maha Mendengar dan dipercayai telah memasuki
alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan
sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut.
Penyembahan
kepada Amitabha Budha (Amitayus) merupakan salahs atu aliran utama Budha
Mahayana. Surga Barat merupakan tempat tujuan umat Budha aliran Sakhavati
selepas mereka meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka terhadap Budha
Amitabha dimana mereka tidak perlu lagi mengalami proses reinkarnasi dan dari
sana menolong semua makhluk hidup yang masih menderita di bumi.
Mereka
mempercayai bahwa mereka akan lahir semula di surga barat untuk menunggu saat
Budha Amitabha memberikan khotbah Dhamma dan Budha Amitabha akan memimpin
mereka ke tahap mencapai Budhi (tahap
kesempurnaan dimana kejahilan, kebencian, dan ketamakan tidak ada lagi).
Seorang
Budha bukanlah dewa atau makhluk suci yang memberikan kesejahteraan. Semua
Budha adalah pemimpin segala kehidupan kea rah mencapai kebebasan dan
kesengsaraan. Hasil amalan ajaran Budha inilah yang akan membawa kesejahteraan
kepada penganutnya.
Menurut
Budha Gautama, kenikmatan kesadaran nirwana yang dicapainya di bawah pohon
Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan sebagai manusia.
Menekankan konsep ini, aliran Budha Mahayana khususnya merujuk kepada banyak
Budha.
3. Budha Vajrayana
Wajrayana atau kadang ditulis Vajrayana,
adalah suatu ajaran Buddha yang diIndonesia lebih
sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana.
Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana,
ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Wajrayana adalah ajaran yang
berkembang dari ajaran Buddha Mahayana, dan berbeda dalam hal
praktik, bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran Wajrayana, latihan meditasi
sering di barengi dengan visualisasi.
Istilah
"Wajrayana" berasal dari kata vajra yang dalam bahasa sanskerta bermakna 'halilintar' atau 'intan'. Wajra melambangkan intan sebagai unsur terkeras di
Bumi, maka istilah Wajrayana dapat bermakna "Kendaraan yang tak dapat
rusak".
Filosofi ajaran agama
Buddha dapat dibagi dua: Hinayana/Pratimokshayana (salah satunya Theravada) dan Mahayana.
Hinayana menekankan pada pencapaian sebagai Arahat, sedangkan Mahayana pada pencapaian sebagai Bodhisattva. Tantrayana yang
merupakan bagian dari Mahayana juga sering dikenal dengan nama jalan
Boddhisattva. Hinayana dapat dibagi menjadi Vaibhashika dan Sautrantika.
Sedangkan Mahayana dibagi menjadi Cittamatra dan Madhyamika.
Madhyamaka ini terdiri dari Rangtong (yang mencakup Sautrantika dan Prasangika)
dan Shentong (Yogacara). Keempat filosofi ajaran Buddha ini (Vaibhasika,
Sautrantika, Cittamatra, dan Madhyamika) telah ada sejak zaman Buddha Gautama, muncul karena
adanya perbedaan kepercayaan, perbedaan level pemahaman, perbedaan pencapaian,
dan realisasi dari para murid Buddha.[6]
4. Budha Zen
Zen adalah
salah satu aliran Buddha Mahayana.
Kata Zen adalah bahasa Jepang yang berasal dari bahasa mandarin
"Chan". Kata "Chan" sendiri berasal dari bahasa Pali
"jhana" atau bahasa Sanskerta dhyana(
ध्यान ). Dalam bahasa vietnam
Zen dikenal sebagai “thiền” dan dalam bahasa korea dikenal sebagai “seon”.
Jhana atau Dhyāna adalah sebuah
kondisi batin yang terpusat yang ditemui dalam meditasi. Meski secara semantik,
kata Chan sendiri berasal dari kata ‘dhyāna’ (sansekerta) atau ‘jhana’ (pali).
Zen tidak bertujuan pada pencapaian jhana. Ini sekadar menunjukkan bahwa ajaran
Zen sangat menekankan pada aspek meditasi atau samadhi.[7]
No comments:
Post a Comment