06 November, 2014

Kritisisme Immanuel Kant


Kant merupakan tokoh besar dalam filsafat modern, ia berusaha meneruskan pemikiran abad pebcerahan. Filsafat Kant disebut juga kritisisme, karena ia berusaha mensintesiskan secara kritis antara Empirisme yang dikembangkan oleh Locke dengan Rasionalisme dari Descartes. Kritisisme Kant dimulai dengan menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Berbeda dengan para filsuf sebelumnya yang secara dogmatis apriori mempercayai kemampuan rasio secara bulat.
Immanuel Kant berusaha mencari jalan tengah untuk mensintesiskan antara Empirisme dan Rasionalisme, sehingga ia disebut juga sebagai pengukur Realisme Kritis atau Realisme Modern. Menurut Kant semua pengetahuan dimulai dari pengalaman, namun tidak berarti semuanya dari pengalaman.[1]

A.    Riwayat Hidup Immanuel Kant
Immanuel Kant lahir di Koningsberg, Prusia Timur, Jerman. Ia belajar filsafat, fisika, dan ilmu pasti di Koningsberg, kemudian menjadi guru besar dalam ilmu logika dan metafisika di Koningsberg juga.
Perjalanan hidupnya dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap pra-kritis dan tahap kritis, dengan kira-kira tahun 1770 sebagai garis pembatasnya, yaitu ketika ia menerima jabatan sebagai guru besar. Sejak itu ia menyodorkan filsafatnya kepada dunia dengan penuh kepastian. Semula Kant dipengaruhi rasionalisme Leiniz dan Wolf, kemudian dipengaruhi empirisme Hume. Menurut Kant sendiri Humelah yang menjadikan dia bangu dari “tidurnya” dalam dogmatisme.[2]
Dogmatisme adalah filsafat yang mendasarkan pandangannya kepada pengertian-pengertian yang telah ada, tanpa menghiraukan apakah rasio telah memiliki pengertian tentang hakekat, luas, dan batas kemampuannya sendiri ataukah tidak. Filsafat yang bersifat dogmatis menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar ilmu pengetahuan begitu saja tanpa mempertanggungjawabkannya secara kritis. Dogmatisme menganggap pengenalan obyektif sebagai hal yang sudah ada dengan sendirinya. Sikap sendirian menurut Kant adalah salah. Orang harus bertanya, “Bagaimana pengenalan obyektif itu mungkin?”. Oleh karena itu penting sekali menjawab pertanyaan yang mengenai syarat-syarat kemungkinan adanya pengenalan dan batas-batas pengenalan itu.
Pikiran-pikiran dan tulisan-tulisannya yang sangat penting membawa revolusi yang jauh jangkauannya dalam filsafat modern. Ia juga terpengaruh oleh aliran Patteisme dari ibunya, tetapi ia hidup dalam zaman Sceptisme serta membaca karangan-karangan Voltaire dan Hume. Akibat dari itu semua kemudian memunculkan berbagai pertanyaan dalam benaknya. What can we Know? (apa yang dapat kita ketahui), What is nature and what are the limits of human knowledge? (Apakah alam ini dan apakah batas-batas kemampuan manusia itu?). Sebagian besar hidupnya telah ia pergunakan untuk mempelajari logical process of though (proses penalaran logis), the external world (dunia eksternal), dan the reality of things (realitas segala yang wujud).

B.     Pengertian Kritisisme dan Ciri-cirinya
Secara harfiyah kata kritik berarti “pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dengan pengenalan yang tidak murni, yang tidak ada kepastian. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman (kepercayaan).
Filsafat Kant memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika, dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1.      Apa yang dapat saya ketahui?
2.      Apa yang harus saya lakukan?
3.      Apa yang boleh saya harapkan?[3]
Adapun jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut di atas adalah:
1.    Apa-apa yang harus diketahui manusia haanyalah yang dipersepsi dengan panca indera. Lain dari pada itu merupakan ilusi, hanyalah ide.
2.     Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum, misalnya dilarang mencuri.
3.     Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya.
Ketiga pertanyaan di atas ini bisa digabung dan ditambahkan menjadi pertanyaan ke empat: “Apakah itu manusia?”
Ciri-ciri kritisisme dapat disimpulkan dalam tiga hal:
1.      Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
2.    Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangjau gejalanya atau fenomenanya saja;
3.      Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.

C.    Tujuan Filsafat Kant
Melalui filsafatnya, Kant bermaksud memugar sifat objektifitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu tercapai, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak Empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme, sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetap melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisme yang radikal. Nah, Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni.
Menurut Hume, ada jurang yang lebar antara kebenaran- kebenaran rasio murni dengan realitas dalam dirinya sendiri. Menurut Kant syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah:
1.      Bersifat umum dan mutlak.
2.      Memberi pengetahuan yang baru.[4]
Empirisme memberikan kepada kita putusan-putusan yang sintetis, jadi tidak mungkin empirisme memberi pengetahuan yang bersifat umum dan mutlak. Sebaliknya rasionalisme memberikan kepada kita putusan-putusan yang analitis, jadi tidak  mungkin memberi pengetahuan yang baru. Dengan demikian baik empirisme maupun rasionalisme tidak memenuhi syarat-syarat yang dituntut ilmu pengetahuan.
Menurut Kant, perlu diselidiki bagaimana mungkin ada putusan-putusan yang “sintetis a priori”, yaitu putusan-putusan yang sekalipun sintetis namun tidak tergantung dari pengalaman. Filsafat yang menangani persoalan ini oleh Kant disebut filsafat transendental, yaitu filsafat yang meneliti cara orang mengenal segala sesuatu.
Segala pengalaman terjadi karena penggabungan dua faktor, yaitu pengamatan inderawi dan penyadaran akali. Dalam kehidupan sehari-hari kedua faktor ini tercampur, tidak dipisah-pisahkan. Akan tetapi dalam penyadaran secara teoritis keduanya harus dipisahkan, dengan maksud supaya masing-masing dapat diselidiki kemungkinan-kemungkinannya dan keadaannya yang secara logis transendental, artinya bukan hanya ditentukan bagaimana bentuk pengertian-pengertian dan putusan kita, tetapi juga bagaimana pengertian-pengertian dan dan putusan-putusan itu mungkin dan syarat-syarat (a priori) mana yang dipenuhinya.

D.    Pengertian Ruang dan Waktu
Menurut Kant, penginderaan kita bersifat reseptif atau menerima apa yang disajikan oleh obyek yang tampak, dalam arti ini, bahwa segi konstruktif pengamatan itu dianggap sebagai berasal dari akal. Sebuah meja yang diamati menggerakkan indera kita. Dari kesan-kesan yang didapat dari hasil pengamatan indera kita secara langsung itu (seperti bentuk, warna, suara yang disebabkan) kita mendapat pengenalam atau pengetahuan.
Hubungan langsung antara pengenalan kita dengan objek yang diamati itu oleh Kant disebut pengamatan. Adapun yang kita amati bukan bendanya sendiri, melainkan salinan dari bentuk benda itu dalam daya-daya inderawi lahiriyah dan batiniyah, yang disebut penampakan atau gejala-gejalanya (fenomena). Yang kita amati bukan meja dalam dirinya sendiri, melainkan gagasan kita tentang meja, yang tampak pada kita melalui indera-indera kita, sehingga kita membentuknya dalam fantasi menjadi suatu gambar tertentu, yang dikuasai oleh kedua bentuk a priori, yaitu ruang dan waktu.
Pengertian ruang atau keluasan ini berbeda dengan pengertian ruang yang diberikan oleh Newton. Bagi Newton ruang ada di luar kita, tempat benda-benda ditempatkan. Bagi Kant ruang atau keluasan adalah sebuah “bentuk formal” penginderaan. Di dalam penangkapan inderawi kita mengatur kesan-kesan pengamatan kita dalam dua dimensi atau tiga dimensi dalam ruang. Bentuk pengamatan di dalam diri kita yang disebut ruang atau keluasan itulah yang memungkinkan adanya penginderaan sesuatu. Demikian juga halnya dengan waktu yang adalah juga “bentuk formal” penginderaan. Bentuk ruang mengatur atau membentuk kesan-kesan inderawi yang lahiriyah, sedangkan bentuk waktu mengatur atau membentu kesan-kesan inderawi yang batiniyah. Kedua pengertian ruang dan waktu ini mendahului penginderaan yang bersifat a posteriori, dan mewujudkan bentuk penginderaan a priori. Benda-benda tidak berada dalam ruang dan waktu, tetapi pengamatan kita menangkapnya seolah-olah berada dalam ruang dan waktu. Isi pengetahuan kita memang berasal dari benda-bendanya sendiri, akan tetapi bentuk pengetahuan itu diberikan oleh pengenalan kita. Jadi yang kita kenal bukan bedanya sendiri, melainkan penampakannya.

E.     Karya-karya Immanuel Kant
1.      Kritik atas rasio murni (kritik der reinen vermunft, 1781)
Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk mendamaikan rasionalisme (a priori) dan empirisme (a posteriori). Unsur a priori adalah unsur unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Unsur a posteriori adalah unsur-unsur yang berasal dari pengalaman (rasio dianggap sebagai lembaran putih). Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisme kedunya berat sebelah. Menurutnya, pengalaman manusia merupakan paduan antara sintesa unsur-unsur a priori dengan unsur-unsur a posteriori.
Walaupun Kant sangat mengaguni empirisme Hume, empirisme yang bersifat radikal dan konsekuen, namun ia tidak dapat menyetujui skeptisme yang dianut Hume dengan kesimpulannya bahwa dalam ilmu pengetahuan kita tidak mampu mencapai kepastian. Hal ini tidak sesuai dengan Newton yang telah sukses besar dalam penelitiannya mengenai kepastian ilmu pengetahuan, misalnya air mendidih dalam 100 derajar Celcius, dan di mana-mana hasilnya selalu begitu.
Di atas sudah dikatan bahwa pengenalan merupakan sintesa antara unsur a priori dengan unsur a posteriori. Unsur a priori memainkan peranan bentu, dan unsur a posteriori memainkan peranan materi. Ia berpendapat bahwa pengetahuan inderawi selalu ada dua bentuk a priori, yaitu ruang dan waktu. Jadi ruang bukan merupakan ruang kosong, di mana benda-benda diletakkan.
Kant membedakan antara akal budi dengan rasio. Tugas akal budi adalah menciptakan orde antara data-data inderawi. Dengan kata lain, akal budi menciptakan putusan-putusan. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesa antara bentu dengan materi. Materi adalah data-data inderawi dan bentuk adalah a priori, yang perdapat pada akal budi. Bentuk a priori ini dinamakan Kant dengan istilah “kategori”.
Menurut Kant ada 12 kategori, tetapi yang disebutkan di sini hanya dua kategori saja yang terpenting, yaitu substansi dan kausalitas. Jika kita umpamakan menbentuk putusan bahwa A menyebabkan B, maka kita harus memikirkan hubungan antara data A dan B berdasarkan kategori kausalitas (sebab akibat). Maksud Kant kiranya dapat diterangkan sedikit dengan perumpamaan berikut, jika seorang memakai kacamata yang kacanya berwarna merah, maka ia melihat segala benda berwarna merah, meskipun sebenarnya benda itu aslinya tidak berwarna merah. Keadaan tersebut disebabkan karena jalan melalui mana pengalaman dilakukan (jalan pengenalan yang ditempuh), memuat suatu faktor (kacamata berwarna merah) yang karena faktor itu ia hanya bisa melihat hal-hal yang berwarna merah. Nah, demikian halnya dengan akal budi kita. Akal budi mempunyai struktur sedemikian rupa, sehingga terpaksa mesti memikirkan data-data inderawi sebagai substansi atau menurut ikatan sebab akibat atau menurut kategori lainnya. Dengan demikian Kant sudah menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan alam itu pasti.
Pada rasio, tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari keputusan-keputusan, dan menggabungkan putusan-putusan itu. Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi-argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide yaitu jiwa, dunia dan Tuhan. Ide menurut Kant adalah suatu cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala-gejala psikis (jiwa), dalam bidang kejadian-kejadian jasmani (dunia) dan dalam bidang segala-galanya yang ada (Tuhan). Ketiga ide tersebut mengatur argumentasi kita tentang pengalaman, tetapi ide itu sendiri tidak termasuk dalam pengalaman kita. Karena kategori akal budi hanya berlaku untuk pengalaman, maka kategori itu tidak dapat diterapkan pada ide-ide. Tetapi justru itulah yang diusahakan oleh metafisika. Misalnya, metafisika membuktikan bahwa Tuhan adalah penyebab pertama alam semesta. Tetapi dengan itu metafisika melewati batas-batas yang ditentukan untuk pengenalan manusia. Adanya Tuhan tidak dapat dibuktikan, sekalipun metafisika senantiasa berusaha demikian.
2.      Kritik atas rasio praktis (kritik der praktischen vermunft, 1788)
Rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan; atau dengan kata lain, rasio yang memberi perintah kepada kehendak kita. Misalnya, bila kita meminjam barang kepunyaan orang lain, maka kita harus mengembalikan kepada pemiliknya.
Ada tiga postulat yang disebutkan Kant dalam rasio praktis ini yaitu:
1.      Kebebasan kehendak;
2.      Immoralitas jiwa, dan
3.      Adanya Tuhan.
Ketiga postulat tersebut tidak memiliki pengetahuan teoritis. Menerima ketiga postulat tersebut dinamakan Kant sebagai glaube alias kepercayaan.
3.      Kritik atas daya pertimbangan (kritik der urteilskraft, 1790)
Kritik ketiga ini bagi Kant merupakan jembatan antara dua kritik sebelumnya, yaitu teoritis dan praktis. Sudut pandang yang ketiga ini harus bebas (sebagaimana penimbangan moral pada kritik kedua) sekaligus juga harus berdasar pada inderawi (sebagaimana pada kritik pertama). Sudut pandangan ketiga berkenaan dengan pengalaman yang tidak dapat kita tafsirkan secara langsung dengan menggunakan pengetahuan ilmiah atau praktek moral, pengalaman yang berkaitan dengan perasaan. Dalam kritik jenis ketiga ini, berkebalikan dengan kritik pertama; jika pada kritik pertama (teoritis) pemikiran mengendalikan imajinasi untuk menangkap kebenaran, maka pada kritik ketiga ini imajinasi mengendalikan pemikiran untuk mengungkap keindahan.
Perlu dikemukakan bahwa objek keindahan Kant bukanlah benda-benda seni buatan manusia, namun bagaimana manusia berhubungan dengan alam raya, jadi alam inilah objek estetika.
Lebih jauh, Kant menyatakan ada empat perasaan kita ketika memandang objek inderawi, yaitu menyenangkan, indah, agung, dan baik.[5] Keindahan bagi Kant tidak didasarkan pada kepentingan diri pribadi.
Keindahan timbul karena ada misteri yang tersembunyi didalam objek tertentu yang kita alami. Ia misteri, karena ia muncul tidak biasa; ia terasa berkaitan dengan kehidupan kita, namun tak pernah dapat dimengerti keterkaitannya. Ia misteri, karena itu kita ingin melestarikannya dan rindu untuk dapat mengulanginya kembali.
Pertimbangan keindahan dari Kant tentu saja masih terasa subjektif, namun paling tidak ia telah merumuskan apa saja yang membuat kita menyatakan bahwa sesuatu indah. Kriteria kenikmatan, kebaikan, keindahan, dan keagungan, membuat kita jadi mengerti apa saja yang didapat oleh perasaan ketika mengalami sesuatu hal, sekaligus juga tapal batas bagi perasaan.

F.     Kesimpulan
Immanuel Kant erupakan tokoh besar dalam filsafat modern. Ia lahir di Koningsberg, Jerman. Hidupnya dibagi dalam dua tahap yaitu tahap kritis dan tahap praktis. Filsafatnya terkenal dengan kritisismenya. Ia berusaha mensintesiskan secara kritis antara Empirisme Hume dengan Rasionalisme dari Descartes. Tiga karyanya yang terkenal yaitu kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, dan kritik atas daya pertimbangan.



[1] Burhanudin, Logika Formal (Jakarta: Bina Aksara, 1988) hal. 127
[2] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980) hal. 64
[3] Jauhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003) hal. 114
[4] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980)
[5] Bambang Anees dan Radea Juli A. Hambali, Filsafat untuk Umum (Jakarta: Kencana, 2003) hal. 370

No comments:

Post a Comment