Kant merupakan tokoh
besar dalam filsafat modern, ia berusaha meneruskan pemikiran abad pebcerahan. Filsafat
Kant disebut juga kritisisme, karena ia berusaha mensintesiskan secara kritis
antara Empirisme yang dikembangkan oleh Locke dengan Rasionalisme dari
Descartes. Kritisisme Kant dimulai dengan menyelidiki kemampuan dan batas-batas
rasio. Berbeda dengan para filsuf sebelumnya yang secara dogmatis apriori
mempercayai kemampuan rasio secara bulat.
Immanuel Kant
berusaha mencari jalan tengah untuk mensintesiskan antara Empirisme dan
Rasionalisme, sehingga ia disebut juga sebagai pengukur Realisme Kritis atau
Realisme Modern. Menurut Kant semua pengetahuan dimulai dari pengalaman, namun
tidak berarti semuanya dari pengalaman.[1]
A.
Riwayat Hidup Immanuel Kant
Immanuel Kant lahir di Koningsberg,
Prusia Timur, Jerman. Ia belajar filsafat, fisika, dan ilmu pasti di
Koningsberg, kemudian menjadi guru besar dalam ilmu logika dan metafisika di
Koningsberg juga.
Perjalanan hidupnya dapat dibagi
menjadi 2 tahap, yaitu tahap pra-kritis dan tahap kritis, dengan kira-kira
tahun 1770 sebagai garis pembatasnya, yaitu ketika ia menerima jabatan sebagai
guru besar. Sejak itu ia menyodorkan filsafatnya kepada dunia dengan penuh
kepastian. Semula Kant dipengaruhi rasionalisme Leiniz dan Wolf, kemudian
dipengaruhi empirisme Hume. Menurut Kant sendiri Humelah yang menjadikan dia
bangu dari “tidurnya” dalam dogmatisme.[2]
Dogmatisme adalah filsafat yang
mendasarkan pandangannya kepada pengertian-pengertian yang telah ada, tanpa
menghiraukan apakah rasio telah memiliki pengertian tentang hakekat, luas, dan
batas kemampuannya sendiri ataukah tidak. Filsafat yang bersifat dogmatis
menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar ilmu pengetahuan begitu saja
tanpa mempertanggungjawabkannya secara kritis. Dogmatisme menganggap pengenalan
obyektif sebagai hal yang sudah ada dengan sendirinya. Sikap sendirian menurut
Kant adalah salah. Orang harus bertanya, “Bagaimana pengenalan obyektif itu
mungkin?”. Oleh karena itu penting sekali menjawab pertanyaan yang mengenai
syarat-syarat kemungkinan adanya pengenalan dan batas-batas pengenalan itu.
Pikiran-pikiran dan
tulisan-tulisannya yang sangat penting membawa revolusi yang jauh jangkauannya
dalam filsafat modern. Ia juga terpengaruh oleh aliran Patteisme dari ibunya,
tetapi ia hidup dalam zaman Sceptisme serta membaca karangan-karangan Voltaire
dan Hume. Akibat dari itu semua kemudian memunculkan berbagai pertanyaan dalam
benaknya. What can we Know? (apa yang dapat kita ketahui), What is
nature and what are the limits of human knowledge? (Apakah alam ini dan
apakah batas-batas kemampuan manusia itu?). Sebagian besar hidupnya telah ia
pergunakan untuk mempelajari logical process of though (proses penalaran
logis), the external world (dunia eksternal), dan the reality of
things (realitas segala yang wujud).
B.
Pengertian Kritisisme dan
Ciri-cirinya
Secara harfiyah kata kritik berarti
“pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang
murni dengan pengenalan yang tidak murni, yang tidak ada kepastian. Ia ingin
membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang
bersifat sementara. Jadi filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas
kemampuan-kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan batas-batas
kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman (kepercayaan).
Filsafat Kant memulai pelajarannya
dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan
manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat
modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama
dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika,
dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut:
1.
Apa yang dapat saya ketahui?
2.
Apa yang harus saya lakukan?
3.
Apa yang boleh saya harapkan?[3]
Adapun jawaban dari ketiga
pertanyaan tersebut di atas adalah:
1. Apa-apa yang
harus diketahui manusia haanyalah yang dipersepsi dengan panca indera. Lain
dari pada itu merupakan ilusi, hanyalah ide.
2. Semua yang
harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum,
misalnya dilarang mencuri.
3. Yang bisa
diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya.
Ketiga
pertanyaan di atas ini bisa digabung dan ditambahkan menjadi pertanyaan ke
empat: “Apakah itu manusia?”
Ciri-ciri kritisisme dapat
disimpulkan dalam tiga hal:
1. Menganggap
bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
2. Menegaskan
keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat
sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangjau gejalanya atau fenomenanya saja;
3. Menjelaskan
bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara
peranan unsur Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa
ruang dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang
berupa materi.
C.
Tujuan Filsafat Kant
Melalui filsafatnya, Kant bermaksud memugar sifat objektifitas dunia
ilmu pengetahuan. Agar maksud itu tercapai, orang harus menghindarkan diri dari
sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak Empirisme. Rasionalisme mengira
telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari
pengalaman. Adapun empirisme, sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni
tentang pengalaman, tetap melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu
skeptisme yang radikal. Nah, Kant bermaksud mengadakan penelitian yang
kritis terhadap rasio murni.
Menurut Hume, ada jurang yang lebar antara kebenaran- kebenaran rasio
murni dengan realitas dalam dirinya sendiri. Menurut Kant syarat dasar bagi
segala ilmu pengetahuan adalah:
1. Bersifat umum
dan mutlak.
2. Memberi
pengetahuan yang baru.[4]
Empirisme memberikan kepada kita putusan-putusan yang sintetis, jadi
tidak mungkin empirisme memberi pengetahuan yang bersifat umum dan mutlak.
Sebaliknya rasionalisme memberikan kepada kita putusan-putusan yang analitis,
jadi tidak mungkin memberi pengetahuan
yang baru. Dengan demikian baik empirisme maupun rasionalisme tidak memenuhi
syarat-syarat yang dituntut ilmu pengetahuan.
Menurut Kant, perlu diselidiki bagaimana mungkin ada putusan-putusan
yang “sintetis a priori”, yaitu putusan-putusan yang sekalipun sintetis
namun tidak tergantung dari pengalaman. Filsafat yang menangani persoalan ini
oleh Kant disebut filsafat transendental, yaitu filsafat yang meneliti cara
orang mengenal segala sesuatu.
Segala pengalaman terjadi karena penggabungan dua faktor, yaitu pengamatan
inderawi dan penyadaran akali. Dalam kehidupan sehari-hari kedua faktor ini
tercampur, tidak dipisah-pisahkan. Akan tetapi dalam penyadaran secara teoritis
keduanya harus dipisahkan, dengan maksud supaya masing-masing dapat diselidiki
kemungkinan-kemungkinannya dan keadaannya yang secara logis transendental,
artinya bukan hanya ditentukan bagaimana bentuk pengertian-pengertian dan
putusan kita, tetapi juga bagaimana pengertian-pengertian dan dan
putusan-putusan itu mungkin dan syarat-syarat (a priori) mana yang
dipenuhinya.
D.
Pengertian Ruang dan Waktu
Menurut Kant, penginderaan kita
bersifat reseptif atau menerima apa yang disajikan oleh obyek yang tampak,
dalam arti ini, bahwa segi konstruktif pengamatan itu dianggap sebagai berasal
dari akal. Sebuah meja yang diamati menggerakkan indera kita. Dari kesan-kesan yang didapat dari hasil
pengamatan indera kita secara langsung itu (seperti bentuk, warna, suara yang
disebabkan) kita mendapat pengenalam atau pengetahuan.
Hubungan langsung antara pengenalan kita dengan objek yang diamati itu
oleh Kant disebut pengamatan. Adapun yang kita amati bukan bendanya sendiri,
melainkan salinan dari bentuk benda itu dalam daya-daya inderawi lahiriyah dan
batiniyah, yang disebut penampakan atau gejala-gejalanya (fenomena). Yang kita
amati bukan meja dalam dirinya sendiri, melainkan gagasan kita tentang meja,
yang tampak pada kita melalui indera-indera kita, sehingga kita membentuknya
dalam fantasi menjadi suatu gambar tertentu, yang dikuasai oleh kedua bentuk a
priori, yaitu ruang dan waktu.
Pengertian ruang atau keluasan ini berbeda dengan pengertian ruang yang
diberikan oleh Newton. Bagi Newton ruang ada di luar kita, tempat benda-benda
ditempatkan. Bagi Kant ruang atau keluasan adalah sebuah “bentuk formal”
penginderaan. Di dalam penangkapan inderawi kita mengatur kesan-kesan
pengamatan kita dalam dua dimensi atau tiga dimensi dalam ruang. Bentuk
pengamatan di dalam diri kita yang disebut ruang atau keluasan itulah yang
memungkinkan adanya penginderaan sesuatu. Demikian juga halnya dengan waktu
yang adalah juga “bentuk formal” penginderaan. Bentuk ruang mengatur atau
membentuk kesan-kesan inderawi yang lahiriyah, sedangkan bentuk waktu mengatur
atau membentu kesan-kesan inderawi yang batiniyah. Kedua pengertian ruang dan
waktu ini mendahului penginderaan yang bersifat a posteriori, dan
mewujudkan bentuk penginderaan a priori. Benda-benda tidak berada dalam
ruang dan waktu, tetapi pengamatan kita menangkapnya seolah-olah berada dalam
ruang dan waktu. Isi pengetahuan kita memang berasal dari benda-bendanya
sendiri, akan tetapi bentuk pengetahuan itu diberikan oleh pengenalan kita.
Jadi yang kita kenal bukan bedanya sendiri, melainkan penampakannya.
E.
Karya-karya Immanuel Kant
1.
Kritik atas rasio murni (kritik der reinen vermunft, 1781)
Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk mendamaikan
rasionalisme (a priori) dan empirisme (a posteriori). Unsur a
priori adalah unsur unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Unsur a
posteriori adalah unsur-unsur yang berasal dari pengalaman (rasio dianggap
sebagai lembaran putih). Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisme
kedunya berat sebelah. Menurutnya, pengalaman manusia merupakan paduan antara
sintesa unsur-unsur a priori dengan unsur-unsur a posteriori.
Walaupun Kant sangat mengaguni empirisme Hume, empirisme yang bersifat
radikal dan konsekuen, namun ia tidak dapat menyetujui skeptisme yang dianut
Hume dengan kesimpulannya bahwa dalam ilmu pengetahuan kita tidak mampu
mencapai kepastian. Hal ini tidak sesuai dengan Newton yang telah sukses besar
dalam penelitiannya mengenai kepastian ilmu pengetahuan, misalnya air mendidih
dalam 100 derajar Celcius, dan di mana-mana hasilnya selalu begitu.
Di atas sudah dikatan bahwa pengenalan merupakan sintesa antara unsur a
priori dengan unsur a posteriori. Unsur a priori memainkan peranan bentu, dan
unsur a posteriori memainkan peranan materi. Ia berpendapat bahwa pengetahuan
inderawi selalu ada dua bentuk a priori, yaitu ruang dan waktu. Jadi ruang
bukan merupakan ruang kosong, di mana benda-benda diletakkan.
Kant membedakan antara akal budi dengan rasio. Tugas akal budi adalah
menciptakan orde antara data-data inderawi. Dengan kata lain, akal budi
menciptakan putusan-putusan. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesa antara
bentu dengan materi. Materi adalah data-data inderawi dan bentuk adalah a
priori, yang perdapat pada akal budi. Bentuk a priori ini dinamakan Kant dengan
istilah “kategori”.
Menurut Kant ada 12 kategori, tetapi yang disebutkan di sini hanya dua
kategori saja yang terpenting, yaitu substansi dan kausalitas. Jika kita
umpamakan menbentuk putusan bahwa A menyebabkan B, maka kita harus memikirkan
hubungan antara data A dan B berdasarkan kategori kausalitas (sebab akibat).
Maksud Kant kiranya dapat diterangkan sedikit dengan perumpamaan berikut, jika
seorang memakai kacamata yang kacanya berwarna merah, maka ia melihat segala
benda berwarna merah, meskipun sebenarnya benda itu aslinya tidak berwarna
merah. Keadaan tersebut disebabkan karena jalan melalui mana pengalaman
dilakukan (jalan pengenalan yang ditempuh), memuat suatu faktor (kacamata
berwarna merah) yang karena faktor itu ia hanya bisa melihat hal-hal yang
berwarna merah. Nah, demikian halnya dengan akal budi kita. Akal budi mempunyai
struktur sedemikian rupa, sehingga terpaksa mesti memikirkan data-data inderawi
sebagai substansi atau menurut ikatan sebab akibat atau menurut kategori
lainnya. Dengan demikian Kant sudah menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan alam itu
pasti.
Pada rasio, tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari
keputusan-keputusan, dan menggabungkan putusan-putusan itu. Kant memperlihatkan
bahwa rasio membentuk argumentasi-argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide
yaitu jiwa, dunia dan Tuhan. Ide menurut Kant adalah suatu cita-cita yang
menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala-gejala psikis (jiwa), dalam
bidang kejadian-kejadian jasmani (dunia) dan dalam bidang segala-galanya yang
ada (Tuhan). Ketiga ide tersebut mengatur argumentasi kita tentang pengalaman,
tetapi ide itu sendiri tidak termasuk dalam pengalaman kita. Karena kategori
akal budi hanya berlaku untuk pengalaman, maka kategori itu tidak dapat
diterapkan pada ide-ide. Tetapi justru itulah yang diusahakan oleh metafisika.
Misalnya, metafisika membuktikan bahwa Tuhan adalah penyebab pertama alam
semesta. Tetapi dengan itu metafisika melewati batas-batas yang ditentukan
untuk pengenalan manusia. Adanya Tuhan tidak dapat dibuktikan, sekalipun metafisika
senantiasa berusaha demikian.
2.
Kritik atas rasio praktis (kritik der praktischen vermunft, 1788)
Rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan;
atau dengan kata lain, rasio yang memberi perintah kepada kehendak kita.
Misalnya, bila kita meminjam barang kepunyaan orang lain, maka kita harus
mengembalikan kepada pemiliknya.
Ada tiga postulat yang disebutkan Kant dalam rasio praktis ini yaitu:
1. Kebebasan
kehendak;
2. Immoralitas
jiwa, dan
3. Adanya Tuhan.
Ketiga postulat tersebut tidak memiliki pengetahuan teoritis. Menerima
ketiga postulat tersebut dinamakan Kant sebagai glaube alias
kepercayaan.
3.
Kritik atas daya pertimbangan (kritik der urteilskraft, 1790)
Kritik ketiga ini bagi Kant merupakan jembatan antara dua kritik sebelumnya,
yaitu teoritis dan praktis. Sudut pandang yang ketiga ini harus bebas
(sebagaimana penimbangan moral pada kritik kedua) sekaligus juga harus berdasar
pada inderawi (sebagaimana pada kritik pertama). Sudut pandangan ketiga
berkenaan dengan pengalaman yang tidak dapat kita tafsirkan secara langsung
dengan menggunakan pengetahuan ilmiah atau praktek moral, pengalaman yang
berkaitan dengan perasaan. Dalam kritik jenis ketiga ini, berkebalikan dengan
kritik pertama; jika pada kritik pertama (teoritis) pemikiran mengendalikan
imajinasi untuk menangkap kebenaran, maka pada kritik ketiga ini imajinasi
mengendalikan pemikiran untuk mengungkap keindahan.
Perlu dikemukakan bahwa objek keindahan Kant bukanlah benda-benda seni
buatan manusia, namun bagaimana manusia berhubungan dengan alam raya, jadi alam
inilah objek estetika.
Lebih jauh, Kant menyatakan ada empat perasaan kita ketika memandang
objek inderawi, yaitu menyenangkan, indah, agung, dan baik.[5]
Keindahan bagi Kant tidak didasarkan pada kepentingan diri pribadi.
Keindahan timbul karena ada misteri yang tersembunyi didalam objek
tertentu yang kita alami. Ia misteri, karena ia muncul tidak biasa; ia terasa
berkaitan dengan kehidupan kita, namun tak pernah dapat dimengerti
keterkaitannya. Ia misteri, karena itu kita ingin melestarikannya dan rindu
untuk dapat mengulanginya kembali.
Pertimbangan keindahan dari Kant tentu saja masih terasa subjektif,
namun paling tidak ia telah merumuskan apa saja yang membuat kita menyatakan
bahwa sesuatu indah. Kriteria kenikmatan, kebaikan, keindahan, dan keagungan,
membuat kita jadi mengerti apa saja yang didapat oleh perasaan ketika mengalami
sesuatu hal, sekaligus juga tapal batas bagi perasaan.
F.
Kesimpulan
Immanuel Kant erupakan tokoh besar dalam filsafat modern. Ia lahir di
Koningsberg, Jerman. Hidupnya dibagi dalam dua tahap yaitu tahap kritis dan
tahap praktis. Filsafatnya terkenal dengan kritisismenya. Ia berusaha
mensintesiskan secara kritis antara Empirisme Hume dengan Rasionalisme dari
Descartes. Tiga karyanya yang terkenal yaitu kritik atas rasio murni, kritik
atas rasio praktis, dan kritik atas daya pertimbangan.
[1] Burhanudin, Logika
Formal (Jakarta: Bina Aksara, 1988) hal. 127
[2] Harun Hadiwijono, Sari
Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980) hal. 64
[3] Jauhaya S. Praja, Aliran-aliran
Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003) hal. 114
[4]
Harun Hadiwijono, Sari
Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980)
[5]
Bambang Anees dan Radea Juli
A. Hambali, Filsafat untuk Umum (Jakarta: Kencana, 2003) hal. 370
No comments:
Post a Comment