04 November, 2014

Problem Ilmiah


A.    Pengertian Problem Ilmiah
Kata Problem Ilmiah terdiri dari dua kata, yaitu Problem dan Ilmiah. Dalam kamus ilmiah populer, kata “problem” diartikan sebagai permasalahan, kesulitan, dan perkara. Sedangkan kata “ilmiah” diartikan sebagai pengetahuan dengan keilmuan dan sains.
Maka problem ilmiah adalah sesuatu yang menyebabkan tidak tercapainya suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya yang melibatkan akal pikiran manusia mengenai objek fisik-empiris yang dapat diteliti dan diobservasi, dieksperimen dengan metode tertentu untuk kemudian dicarikan solusinya sehingga menjadi sebuah ilmu baru yang bermanfaat bagi manusia.

B.     Syarat-Syarat Problem Ilmiah
Secara garis besar sebuah problem bisa dikatakan ilmiah manakala memiliki dua syarat. Pertama, problem tersebut bisa dikomunikasikan melalui proses pemikiran dengan berpegang pada kaidah-kaidah logika, agar kemudia problem tersebut bisa diketahui lebih jelas, bisa dipahami dan diramalkan guna memperoleh solusi yang tepat. Kedua, problem tersebut harus bisa dijangkau, dalam artian bisa diteliti dengan menggunakan metode ilmiah yang telah ada, baik itu pengamatan, percobaan, pengukuran, survei, dan lain-lain. Selanjutnya dianalisis menggunakan teori, baik secara kuantitatif maupun kialitatif sehingga bisa disebut sebagai sebuah ilmu baru yang bisa dipelajari dan digunakan.[1]

C.     Cara Mengidentifikasi Problem Ilmiah
1.      Mempelajari Struktur Fundamental (Fundamental Structure) Suatu Ilmu
Struktur Fundamental Suatu Ilmu adalah hakekat ilmu itu sendiri. Melihat ilmu dari aspek ini merupakan sumbangan dari epistemologi in the old fashion, yaitu menitikberatkan pada perspektif apa (objek formal) yang digunakan suatu ilmu dalam memahami objek kajian. Dari sini kemudian dapat dilihat bahwa suatu perspektif tertentu ternyata dipakai tidak hanya satu disiplin ilmu yang memakai objek yang sama. Maka bisa dipahami pernyataan Komarudin Hidayat, bahwa ilmu-ilmu yang pada awalnya merupakan anak cabang dari filsafat, dewasa ini ilmu-ilmu yang sudah menjadi dewasa, bahkan beranak cucu ini cenderung mengadakan “reuni”, dalam hal ini reunifikasi. Karena dengan filsafat ilmu beberapa disiplin ilmu ternyata bisa “pulang kembali” (dikelompokkan) pada pola pikir (epistemologi) yang sama.[2]

2.      Mempelajari Struktur Logika (Logical Structure) Suatu Ilmu
Struktur logis suatu ilmu berhubungan dengan dunianya. Ini artinya terikat dengan logika apa yang bermain di belakang suatu ilmu tertentu dan karenanya bisa dilihat apa konsekuensi sosiologis yang ditimbulkannya. Di sini filsafat ilmu memperoleh masukan dari sejarah ilmu dan sosial ilmu. Sehingga wajar jika masing-masing ilmu memiliki logikanya sendiri-sendiri. Sebagai contoh Joseph Van Ess menulis artikel dengan judul “The Logical Structure of Islam Theology”, ini artinya ilmu yang lain juga memiliki struktur logikanya masing-masing.

3.    Sesuai dengan sifat heuristik dari filsafat, filsafat ilmu berusaha mencari terobosan baru agar suatu ilmu tetap dapat survive, marketable, aktual, berguna, dan sebagainya.
Munculnya istilah Sifting Paradigm dalam ilmu fisika-alam oleh Thomas S. Kuhn dalam ilmu-ilmu keIslaman oleh Amin Abdullah adalah salah satu contoh dari kerja heuristik filsafat ilmu ini. Sudah tentu terobosan yang dimaksud tidah harus lahiriahnya paradigma baru, meski untuk saat ini telah memperoleh perhatian cukup dikalangan filsuf umum, tetapi juga menyangkut hal-hal lain yang relatif sempit misalnya konsep, teori, metode, pendekatan, dan lain-lain. Oleh karena itu harus diberi catatan bahwa filsafat ilmu tidaklah berhubungan dengan kerja teknis kegiatan ilmiah, karena hal itu menjadi wilayah metodologi.[3]

4.      Melakukan Kritik Analisis
Kritik adalah sifat dasar filsafat. Maka filsafat ilmu tidak henti-hentinya melakukan kritik terhadap setiap ilmu dan perkembangannya, terutama diarahkan pada adanya keselarasan pada tiga aspek, yaitu epistemologi, metafisika, dan aksiologis.[4]

D.    Karakteristik Problem Ilmiah
Dari beberapa literatur, dengan berbagai tokoh dan disiplin ilmu, problem ilmiah sedikitnya memiliki empat karakteristik, yaitu:
1.  Dapat diteliti, artinya setiap problem ilmiah harus bisa ditangkap kejelasannya melalui tindakan koleksi data dan kemudian dianalisis dengan teori tertentu.
2.  Mempunyai kontribusi yang signifikan, artinya sebuah problem bisa dikatakan ilmiah manakala bermanfaat bagi peneliti yang bersangkutan atau masyarakat pada umumnya, baik itu secara teoritis yang berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan, maupun manfat praktis yang langsung dirasakan masyarakat.
3.     Didukung data empiris, artinya problem tersebut dapat diukur secara kuantitatif maupun empiris atau didasarkan atas fakta yang dapat dirasakan oleh orang yang terlibat serta mempunyai peranan penting guna memberikan hubungan erat antara fakta dan konstruk suatu problem ilmiah tersebut.
4.      Sesuai dengan kemampuan dan keinginan, artinya tanpa keinginan dan kemampuan, problem ilmiah akan semakin melebar menjadi problem-problem lain yang lebih kompleks.





[1] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arsy Mizan, 2005)
[2] Muslim Muhammad, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2004) hal. 29
[3] Harun Nasution, Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) hal. 3
[4] Ibid., hal. 30

No comments:

Post a Comment