A.
Pengertian Problem Ilmiah
Kata Problem
Ilmiah terdiri dari dua kata, yaitu Problem dan Ilmiah. Dalam kamus ilmiah
populer, kata “problem” diartikan sebagai permasalahan, kesulitan, dan perkara.
Sedangkan kata “ilmiah” diartikan sebagai pengetahuan dengan keilmuan dan
sains.
Maka problem
ilmiah adalah sesuatu yang menyebabkan tidak tercapainya suatu tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya yang melibatkan akal pikiran manusia mengenai objek
fisik-empiris yang dapat diteliti dan diobservasi, dieksperimen dengan metode
tertentu untuk kemudian dicarikan solusinya sehingga menjadi sebuah ilmu baru
yang bermanfaat bagi manusia.
B.
Syarat-Syarat Problem Ilmiah
Secara garis
besar sebuah problem bisa dikatakan ilmiah manakala memiliki dua syarat. Pertama,
problem tersebut bisa dikomunikasikan melalui proses pemikiran dengan berpegang
pada kaidah-kaidah logika, agar kemudia problem tersebut bisa diketahui lebih
jelas, bisa dipahami dan diramalkan guna memperoleh solusi yang tepat. Kedua,
problem tersebut harus bisa dijangkau, dalam artian bisa diteliti dengan
menggunakan metode ilmiah yang telah ada, baik itu pengamatan, percobaan,
pengukuran, survei, dan lain-lain. Selanjutnya dianalisis menggunakan teori,
baik secara kuantitatif maupun kialitatif sehingga bisa disebut sebagai sebuah
ilmu baru yang bisa dipelajari dan digunakan.[1]
C.
Cara Mengidentifikasi Problem
Ilmiah
1.
Mempelajari Struktur Fundamental (Fundamental
Structure) Suatu Ilmu
Struktur Fundamental Suatu Ilmu adalah hakekat ilmu
itu sendiri. Melihat ilmu dari aspek ini merupakan sumbangan dari epistemologi in
the old fashion, yaitu menitikberatkan pada perspektif apa (objek formal)
yang digunakan suatu ilmu dalam memahami objek kajian. Dari sini kemudian dapat
dilihat bahwa suatu perspektif tertentu ternyata dipakai tidak hanya satu
disiplin ilmu yang memakai objek yang sama. Maka bisa dipahami pernyataan
Komarudin Hidayat, bahwa ilmu-ilmu yang pada awalnya merupakan anak cabang dari
filsafat, dewasa ini ilmu-ilmu yang sudah menjadi dewasa, bahkan beranak cucu
ini cenderung mengadakan “reuni”, dalam hal ini reunifikasi. Karena dengan
filsafat ilmu beberapa disiplin ilmu ternyata bisa “pulang kembali”
(dikelompokkan) pada pola pikir (epistemologi) yang sama.[2]
2.
Mempelajari Struktur Logika (Logical
Structure) Suatu Ilmu
Struktur logis suatu ilmu berhubungan dengan dunianya.
Ini artinya terikat dengan logika apa yang bermain di belakang suatu ilmu
tertentu dan karenanya bisa dilihat apa konsekuensi sosiologis yang
ditimbulkannya. Di sini filsafat ilmu memperoleh masukan dari sejarah ilmu dan
sosial ilmu. Sehingga wajar jika masing-masing ilmu memiliki logikanya
sendiri-sendiri. Sebagai contoh Joseph Van Ess menulis artikel dengan judul “The
Logical Structure of Islam Theology”, ini artinya ilmu yang lain juga
memiliki struktur logikanya masing-masing.
3. Sesuai dengan sifat heuristik dari
filsafat, filsafat ilmu berusaha mencari terobosan baru agar suatu ilmu tetap
dapat survive, marketable, aktual, berguna, dan sebagainya.
Munculnya istilah Sifting Paradigm dalam ilmu fisika-alam
oleh Thomas S. Kuhn dalam ilmu-ilmu keIslaman oleh Amin Abdullah adalah salah
satu contoh dari kerja heuristik filsafat ilmu ini. Sudah tentu terobosan yang
dimaksud tidah harus lahiriahnya paradigma baru, meski untuk saat ini telah
memperoleh perhatian cukup dikalangan filsuf umum, tetapi juga menyangkut
hal-hal lain yang relatif sempit misalnya konsep, teori, metode, pendekatan,
dan lain-lain. Oleh karena itu harus diberi catatan bahwa filsafat ilmu
tidaklah berhubungan dengan kerja teknis kegiatan ilmiah, karena hal itu
menjadi wilayah metodologi.[3]
4.
Melakukan Kritik Analisis
Kritik adalah sifat dasar filsafat. Maka filsafat ilmu
tidak henti-hentinya melakukan kritik terhadap setiap ilmu dan perkembangannya,
terutama diarahkan pada adanya keselarasan pada tiga aspek, yaitu epistemologi,
metafisika, dan aksiologis.[4]
D.
Karakteristik Problem Ilmiah
Dari beberapa literatur, dengan berbagai tokoh dan
disiplin ilmu, problem ilmiah sedikitnya memiliki empat karakteristik, yaitu:
1. Dapat diteliti, artinya setiap
problem ilmiah harus bisa ditangkap kejelasannya melalui tindakan koleksi data
dan kemudian dianalisis dengan teori tertentu.
2. Mempunyai kontribusi yang
signifikan, artinya sebuah problem bisa dikatakan ilmiah manakala bermanfaat
bagi peneliti yang bersangkutan atau masyarakat pada umumnya, baik itu secara
teoritis yang berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan, maupun manfat praktis
yang langsung dirasakan masyarakat.
3. Didukung data empiris, artinya
problem tersebut dapat diukur secara kuantitatif maupun empiris atau didasarkan
atas fakta yang dapat dirasakan oleh orang yang terlibat serta mempunyai
peranan penting guna memberikan hubungan erat antara fakta dan konstruk suatu
problem ilmiah tersebut.
4.
Sesuai dengan kemampuan dan
keinginan, artinya tanpa keinginan dan kemampuan, problem ilmiah akan semakin
melebar menjadi problem-problem lain yang lebih kompleks.
[1]
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Arsy Mizan, 2005)
[2]
Muslim Muhammad, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan
kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2004) hal. 29
[3]
Harun Nasution, Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) hal. 3
[4]
Ibid., hal. 30
No comments:
Post a Comment