PENDIDIKAN DAN MORALITAS
Globalisasi telah menimbulkan dampak yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, baik itu dampak positif maupun dampak negatif.
Dalam dunia pendidikan, tanpa kita sadari globalisasi telah menggeser / mengubah tujuan pendidikan di Indonesia. Pendidikan pada intinya bertujuan membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air (UU No. 12 Th. 1945 Pasal 3).
Namun pada kenyataannya, pendidikan di Indonesia saat ini hanya berorientasi pada aspek kecerdasan atau intelektual semata, sementara aspek etika dan moralitas cenderung terabaikan.
Oleh karena itu perlulah kiranya kita mengkaji kembali akan pentingnya moralitas dalam sumbangsihnya membentuk para intelektual-intelektual yang tidak hanya cerdas tapi juga bermoral. Sehingga harapannya ke depan tidak akan terdengar lagi tawuran antar pelajar, korupsi para pejabat, dan berbagai cap negatif lainnya yang di sematkan pada bangsa kita Indonesia ini.
A. Pengertian
Pengertian Pendidikan
Kita tahu bahwa ada banyak definisi pendidikan. Ini jelas menunjukkan bahwa pendidikan dipandang sebagai hal yang sangat penting, sehingga banyak pihak yang merasa perlu untuk memberikan definisi, pengertian atau memaknainya. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu : ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah, yaitu mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pengertian Moralitas
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia moral berarti ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak baik.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang bermoral. Maka, secara sederhana mungkin kita dapat menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan menusiawi.[1]
Namun demikian kita tidak bisa mendefinisikan / kesulitan untuk menjawab orang yang bermoral itu orang yang bagaimana? Moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula.
Dengan kata lain, moral hanya dapat diukur secara tepat apabila kedua seginya diperhatikan. Orang hanya dapat dinilai secara tepat apabil ahati maupun perbuatannya ditinjau bersama. Dan disitulah letak kesulitannya. Kita hanya dapat amenilai orang lain dari luar. Sementara itu hatinya hanya dapat kita nilai dengan menduga-duga saja.
Menurut Immanuel Kant (Magnis Suseno, 1992), moralitas adalah hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaanya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
Konsep Kant tersebut selanjutnya dikembangkan dan dikritisi oleh Hegel. Hegel mengemukakan bahwa, konsep moralitas yang dikemukakan oleh Kant adalah “abstrak” karena tidak memperhatikan bahwa manusia dengan otonominya, jadi suara hatinya selalu sudah bergerak dalam rungan yang ditentukan oleh struktur-struktur sosial yang mewadahi tuntutan-tuntutan moral juga. Dengan demikian bagi Hegel kebebasan manusia bukan sekedar sikap otonomi batin, melainkan merupakan hakekat seluruh kerangka sosial didalam manusia merealisasikan diri. Ini berarti bahwa kebebasan harus terungkap dalam tiga lembaga yang satu sama lain berhubungan secara dialektis, yaitu: (a) hukum, (b) moralitas individu, dan (c) tatanan sosial moral (“Sittlichkeit”).
Jadi perbedaan pandangan antara Kant dengan Hegel tentang moral sebenarnya hanya relatif, yaitu Hegel menganggap bahwa Kant berlebihan dan abstrak. Menurut Hegel apabila kehidupan masyarakat didasarkan pada tatanan normatif yang rasional dan menghormati kebebasan, tak perlulah subjek setiap kali mengeluarkan begitu banyak tenaga batin. Ia dapat mengandalkan tatanan normatif itu. Ia boleh “ikut-ikutan” dengan pandangan serta tatanan moral masyarakat. Akan tetapi hanya tidak berseberangan dengan suara hatinya. Apabila kesadaran moral subjek meragukan tatanan moral sosial itu, maka ia harus secara otonom mencari apa yang sebenarnya menjadi kewajibannya, ia tidak boleh mengikuti apa yang diharapkan oleh lingkungannya (Magnis Suseno, 1992).
Selaras dengan pendapat tersebut, Kattsoff (1996) menambahkan bahwa moral seseorang dapat dilihat dari pandangan subjektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi/hati nurani) dan kombinasi pandangan subjektivitas dengan pandangan objektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi dan orang lain/tatanan nilai masyarakat).
B. Jenis-Jenis Moral
Tarumingkeng (2001) merangkum beberapa jenis moral yang dipetik dari berbagai sumber di internet (Tinjauan Ensiklopedi Filsafat), antara lain: (1) moral realism (moral berdasarkan kondisi yang nyata/realitas); (2) moral luck (moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan), (3) moral relativitism (moral yang bersifat relatif), (4) moral rational (moral berdasarkan penggunaan akal sehat atau prosedur rasional), (5) moral scepticism (moral yang menunjukkan sikap ragu-ragu karena tidak memberikan penilaian berdasarkan pengetahun), dan (6) moral personhood (moral yang ditentukan berdasarkan kesadaran, perasaan dan tindakan pribadi atau merupakan bagian dari moral masyarakat. Moral masyarakat menyangkut semua yang memerlukan pertimbangan moral dalam hal-hak dan kewajiban).
Ukuran Moral
Sekurang-kurangnya da dua ukuran mengenai moral yang berbeda, yakni ukuran yang ada dalam hati kita (subjektif) dan ukuran yang dipakai orang lain waktu mereka menilai kita.[2]
Namun demikian, moralitas bukanlah patokan mutlak yang dipergunakan untuk mengukur anak, tetapi merupakan seperangkat aturan dan norma relativistis dari budaya anak.[3]
C. Moralitas Kaum Terpelajar
Kenakalan Remaja
Bila dicermati lebih jauh, akhir-akhir ini tawuran massal antar pelajar semakin marak, terutama di kota-kota besar. Berbagai surat kabar, baik itu di televisi maupun media cetak sering memberitakannya. Hal ini menjadi hal biasa dan sudah tidak menjadi problem baru, melainkan suatu dinamika interaksi global yang harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Pertanyaannya sekarang, siapakah yang bertanggungjawab dalam hal ini? Lantas kemana dan bagaimana pendidikan yang telah mereka pelajari selama di dalam kelas?
Secara tidak langsung (tujuan pendidikan secara sosial), pendidikan memiliki tujuan membentuk sebuah masyarakat yang demokratis dan sebuah pemerintahan dunia yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral humanisme ilmiah, sehingga mengacu pada kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan gagasan-gagasan manusia yang tumbuh dalam peradaban manusia. Tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat individual adalah mengembangkan kepribadian yang didalamnya membantu pertumbuhan intelektual dan moral.
Pertumbuhan intelektual tertuju untuk mencapai kematangan berpikir yang mencerminkan kebajikan-kebajikan utama dalam kemampuan ilmiah yang mempunyai ciri: (a) berpikir jernih, (b) penyimpulan yang mantap dan tepat, (c) mempunyai kesesuaian faktual dan reabilitas, (d) objektivitas, (e) rasionalitas dalam bertingkah laku, (f) rasionalitas moral, yaitu: setia pada prinsip keadilan, kesamaan dan bebas dari paksaan dan kekerasan. Perkembangan moral bertujuan agar individu memiliki: sikap ilmiah, sikap humanis, sikap sosial berdasarkan rasa cinta kepada sesama manusia.
Berbeda dengan tujuan pendidikan di atas, pendidikan nasional di Indonesia saat ini telah terjebak pada orientasi mengedepankan aspek kecerdasan atau intelektual semata, sementara aspek etika dan moralitas cenderung terabaikan. Akibatnya, pembangunan pendidikan nasional yang sudah berjalan selama ini, gagal melahirkan manusia Indonesia yang bertanggung jawab, jujur, dan berintegritas tinggi. Tidak heran bila kini Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat korupsi dan kriminalitas yang tinggi, perusak lingkungan, serta sejumlah cap negatif lainnya.
Tawuran antar pelajar juga merupakan salah satu wujud dari gagalnya pembangunan pendidikan nasional yang telah berjalan selama ini. Pendidikan yang telah mereka dapatkan di dalam kelas tidak mampu mengerem sikap anarkis mereka. Dan pendidikan yang mereka peroleh memang belum mampu menyentuh pada aspek psikis mereka, sehingga mereka hanya cerdas secara intelektual namun tidak cerdas dalam hati nurani.
Globalisasi telah menimbulkan dampak yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, baik itu dampak positif maupun dampak negatif.
Dalam dunia pendidikan, tanpa kita sadari globalisasi telah menggeser / mengubah tujuan pendidikan di Indonesia. Pendidikan pada intinya bertujuan membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air (UU No. 12 Th. 1945 Pasal 3).
Namun pada kenyataannya, pendidikan di Indonesia saat ini hanya berorientasi pada aspek kecerdasan atau intelektual semata, sementara aspek etika dan moralitas cenderung terabaikan.
Oleh karena itu perlulah kiranya kita mengkaji kembali akan pentingnya moralitas dalam sumbangsihnya membentuk para intelektual-intelektual yang tidak hanya cerdas tapi juga bermoral. Sehingga harapannya ke depan tidak akan terdengar lagi tawuran antar pelajar, korupsi para pejabat, dan berbagai cap negatif lainnya yang di sematkan pada bangsa kita Indonesia ini.
A. Pengertian
Pengertian Pendidikan
Kita tahu bahwa ada banyak definisi pendidikan. Ini jelas menunjukkan bahwa pendidikan dipandang sebagai hal yang sangat penting, sehingga banyak pihak yang merasa perlu untuk memberikan definisi, pengertian atau memaknainya. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu : ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah, yaitu mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pengertian Moralitas
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia moral berarti ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak baik.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang bermoral. Maka, secara sederhana mungkin kita dapat menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan menusiawi.[1]
Namun demikian kita tidak bisa mendefinisikan / kesulitan untuk menjawab orang yang bermoral itu orang yang bagaimana? Moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula.
Dengan kata lain, moral hanya dapat diukur secara tepat apabila kedua seginya diperhatikan. Orang hanya dapat dinilai secara tepat apabil ahati maupun perbuatannya ditinjau bersama. Dan disitulah letak kesulitannya. Kita hanya dapat amenilai orang lain dari luar. Sementara itu hatinya hanya dapat kita nilai dengan menduga-duga saja.
Menurut Immanuel Kant (Magnis Suseno, 1992), moralitas adalah hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaanya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
Konsep Kant tersebut selanjutnya dikembangkan dan dikritisi oleh Hegel. Hegel mengemukakan bahwa, konsep moralitas yang dikemukakan oleh Kant adalah “abstrak” karena tidak memperhatikan bahwa manusia dengan otonominya, jadi suara hatinya selalu sudah bergerak dalam rungan yang ditentukan oleh struktur-struktur sosial yang mewadahi tuntutan-tuntutan moral juga. Dengan demikian bagi Hegel kebebasan manusia bukan sekedar sikap otonomi batin, melainkan merupakan hakekat seluruh kerangka sosial didalam manusia merealisasikan diri. Ini berarti bahwa kebebasan harus terungkap dalam tiga lembaga yang satu sama lain berhubungan secara dialektis, yaitu: (a) hukum, (b) moralitas individu, dan (c) tatanan sosial moral (“Sittlichkeit”).
Jadi perbedaan pandangan antara Kant dengan Hegel tentang moral sebenarnya hanya relatif, yaitu Hegel menganggap bahwa Kant berlebihan dan abstrak. Menurut Hegel apabila kehidupan masyarakat didasarkan pada tatanan normatif yang rasional dan menghormati kebebasan, tak perlulah subjek setiap kali mengeluarkan begitu banyak tenaga batin. Ia dapat mengandalkan tatanan normatif itu. Ia boleh “ikut-ikutan” dengan pandangan serta tatanan moral masyarakat. Akan tetapi hanya tidak berseberangan dengan suara hatinya. Apabila kesadaran moral subjek meragukan tatanan moral sosial itu, maka ia harus secara otonom mencari apa yang sebenarnya menjadi kewajibannya, ia tidak boleh mengikuti apa yang diharapkan oleh lingkungannya (Magnis Suseno, 1992).
Selaras dengan pendapat tersebut, Kattsoff (1996) menambahkan bahwa moral seseorang dapat dilihat dari pandangan subjektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi/hati nurani) dan kombinasi pandangan subjektivitas dengan pandangan objektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi dan orang lain/tatanan nilai masyarakat).
B. Jenis-Jenis Moral
Tarumingkeng (2001) merangkum beberapa jenis moral yang dipetik dari berbagai sumber di internet (Tinjauan Ensiklopedi Filsafat), antara lain: (1) moral realism (moral berdasarkan kondisi yang nyata/realitas); (2) moral luck (moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan), (3) moral relativitism (moral yang bersifat relatif), (4) moral rational (moral berdasarkan penggunaan akal sehat atau prosedur rasional), (5) moral scepticism (moral yang menunjukkan sikap ragu-ragu karena tidak memberikan penilaian berdasarkan pengetahun), dan (6) moral personhood (moral yang ditentukan berdasarkan kesadaran, perasaan dan tindakan pribadi atau merupakan bagian dari moral masyarakat. Moral masyarakat menyangkut semua yang memerlukan pertimbangan moral dalam hal-hak dan kewajiban).
Ukuran Moral
Sekurang-kurangnya da dua ukuran mengenai moral yang berbeda, yakni ukuran yang ada dalam hati kita (subjektif) dan ukuran yang dipakai orang lain waktu mereka menilai kita.[2]
Namun demikian, moralitas bukanlah patokan mutlak yang dipergunakan untuk mengukur anak, tetapi merupakan seperangkat aturan dan norma relativistis dari budaya anak.[3]
C. Moralitas Kaum Terpelajar
Kenakalan Remaja
Bila dicermati lebih jauh, akhir-akhir ini tawuran massal antar pelajar semakin marak, terutama di kota-kota besar. Berbagai surat kabar, baik itu di televisi maupun media cetak sering memberitakannya. Hal ini menjadi hal biasa dan sudah tidak menjadi problem baru, melainkan suatu dinamika interaksi global yang harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Pertanyaannya sekarang, siapakah yang bertanggungjawab dalam hal ini? Lantas kemana dan bagaimana pendidikan yang telah mereka pelajari selama di dalam kelas?
Secara tidak langsung (tujuan pendidikan secara sosial), pendidikan memiliki tujuan membentuk sebuah masyarakat yang demokratis dan sebuah pemerintahan dunia yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral humanisme ilmiah, sehingga mengacu pada kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan gagasan-gagasan manusia yang tumbuh dalam peradaban manusia. Tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat individual adalah mengembangkan kepribadian yang didalamnya membantu pertumbuhan intelektual dan moral.
Pertumbuhan intelektual tertuju untuk mencapai kematangan berpikir yang mencerminkan kebajikan-kebajikan utama dalam kemampuan ilmiah yang mempunyai ciri: (a) berpikir jernih, (b) penyimpulan yang mantap dan tepat, (c) mempunyai kesesuaian faktual dan reabilitas, (d) objektivitas, (e) rasionalitas dalam bertingkah laku, (f) rasionalitas moral, yaitu: setia pada prinsip keadilan, kesamaan dan bebas dari paksaan dan kekerasan. Perkembangan moral bertujuan agar individu memiliki: sikap ilmiah, sikap humanis, sikap sosial berdasarkan rasa cinta kepada sesama manusia.
Berbeda dengan tujuan pendidikan di atas, pendidikan nasional di Indonesia saat ini telah terjebak pada orientasi mengedepankan aspek kecerdasan atau intelektual semata, sementara aspek etika dan moralitas cenderung terabaikan. Akibatnya, pembangunan pendidikan nasional yang sudah berjalan selama ini, gagal melahirkan manusia Indonesia yang bertanggung jawab, jujur, dan berintegritas tinggi. Tidak heran bila kini Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat korupsi dan kriminalitas yang tinggi, perusak lingkungan, serta sejumlah cap negatif lainnya.
Tawuran antar pelajar juga merupakan salah satu wujud dari gagalnya pembangunan pendidikan nasional yang telah berjalan selama ini. Pendidikan yang telah mereka dapatkan di dalam kelas tidak mampu mengerem sikap anarkis mereka. Dan pendidikan yang mereka peroleh memang belum mampu menyentuh pada aspek psikis mereka, sehingga mereka hanya cerdas secara intelektual namun tidak cerdas dalam hati nurani.
Upaya Penanggulangan Kenakalan Remaja
Memang sulit menemukan cara yang terbaik dalam menanggulangi kenakalan remaja, akan tetapi masyarakat, perseorangan bahkan pemerintah sekalipun dapat melakukan langkah-langkah yang paling memadai dalam melakukan prevensi.
Menurut Drs. Bimo Walgito upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengadakan penyensoran film-film yang lebih menitikberatkan pada segi pendidikan, mengadakan ceramah melalui radio, televisi ataupun melalui media lain mengenai soal-soal pendidikan pada umumnya.[4]
Upaya lain juga bisa dilakukan dengan cara sosialisasi dan berbagai pendekatan-pendekatan lainnya yang bertujuan untuk mengalihkan perhatian dan perilaku mereka yang menjurus pada kenakalan remaja.
D. Pendidikan Moral Dalam Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang di tempati anak sebelum memasuki lingkungan sekolah dan masyarakat. Dalam keluarga, seorang anak belajar banyak hal mengenai nilai-nilai hidup, termasuk juga moral.
Menurut Durkheim, walaupun pendidikan dalam lingkungan keluarga merupakan suatu persiapan pertama yang baik sekali bagi kehidupan moral anak, namun kegunaannya cukup terbatas terutama dalam hal semangat disiplin. Hal yang esensial bagi semangat disiplin yakni rasa hormat terhadap peraturan, nyaris tak dapat berkembang dalam lingkungan keluarga. Keluarga merupakan kelompok orang yang sangat kecil. Hubungan mereka tidak dikendalikan oleh aturan umum apapun yang bersifat impersonal dan tak dapat diubah.[5]
Oleh karena itu pendidikan anak lalu dilanjutkan pada lingkungan sekolah dan masyarakat yang lebih luas cakupannya. Namun demikian perlu pula digaris bawahi bahwa dalam mendidik anak, sekolah melanjutkan pendidikan anak-anak yang telah dilakukan orang tua di rumah. Berhasil baik atau tidaknya pendidikan di sekolah bergantung pada dan dipengaruhi oleh pendidikan di dalam keluarga. Pendidikan keluarga adalah fundamen dari pendidikan anak selanjutnya. Hasil-hasil pendidikan yang diperoleh anak dalam keluarga menentukan pendidikan anak itu selanjutnya, baik di sekolah maupun dalam masyarakat.
E. Perkembangan Moralitas
Ketika individu mulai menyadari bahwa ia merupakan bagian dari lingkungan sosial dimana ia berada, bersamaan itu pula individu mulai menyadari bahwa dalam lingkungan sosialnya terdapat aturan-aturan, norma-norma / nilai-nilai sebagai dasar atau patokan dalam berperilaku. Keputusan untuk melakukan sesuatu berdasarkan pertimbangan norma yang berlaku dan nilai yang dianutnya itu disebut moralitas. Dalam hal ini, Kohlberg (Lawrence Kohlberg, 1995) mengemukakan tahapan perkembangan moralitas individu, yaitu sebagai berikut :
Tingkat Prakonvensional
Tahap 1 : orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang tak dipersoalkan terhadap kekuasaan yang lebih tinggi.
Tahap 2 : perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain.
Tingkat Konvensional
Tahap 3 : orientasi “anak manis”. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau yang membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka.
Tahap 4 : orientasi terhadap otoritas, peraturan yang pasti dari pemeliharaan tata aturan sosial.perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri.
Tingkat pasca konvensional
Tahap 5: suatu orientasi kontak sosial, umumnya bernada dasar legalitas dan utilitarian. Perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat.
Tahap 6: orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemahaman logis, menyeluruh, universalitas dan konsistensi. Bersifat abstrak dan etis.
Kohlberg berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah merangsang proses perkembangan moral menuju tahap 5 dan 6, merupakan tujuan untuk memberikan kepada individu, kemampuan untuk mengadakan pertimbangan dan percakapan moral, bukannya memaksakan suatu moralitas khusus atasnya.[6]
Kesimpulan
· Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
· Moral berarti ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak baik.
· Pendidikan tanpa moralitas hanya akan melahirkan intelektual-intelektual yang tidak memiliki hati nurani.
· Tingkat perkembangan moralitas seseorang berlangsung secara bertahap linear dengan pertambahan usianya.
Daftar Pustaka
Hadiwardoyo, Purwo. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta : Kanisius. 1990
Kohlberg, Lawrence. Tahap-tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta: Kanisius. 1995
Nasution, S. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 1999
Sudarsono. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta. 20004
Suseno, F. M. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius. 1992
Tarumingkeng, R. C. Kumpulan Bahan/Materi Kuliah Pengantar Falsafah Sains (dalam bentuk CD). Bogor: IPB 2001
[1] Purwo Hasdiwardoyo, Moral dan Masalahnya. (Yogyakarta: Kanisius, 1990) halaman 13
[2] Purwo Hasdiwardoyo, Moral dan Masalahnya. (Yogyakarta: Kanisius, 1990) halaman 14
[3] Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral. (Yogyakarta: Kanisius, 1995) halaman 65
[4] Sudarsono, Kenakalan Remaja. (Jakarta: Rineka Cipta, 2004) halaman 133
[5] Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral. (Yogyakarta: Kanisius, 1995) halaman 120
[6] Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral. (Yogyakarta: Kanisius, 1995) halaman halaman 160
No comments:
Post a Comment