26 March, 2009

Peserta Didik Dalam Pandangan Ibnu Khaldun

KAJIAN PESERTA DIDIK DALAM ALAM
PEMIKIRAN IBN KHALDUN

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu:
Drs. Suwadi, M.Ag.

Disusun Oleh:

Khunafaunnisa
Umi Tahana
Nur Faizah
Ahmad Ridlowi


PENDAHULUAN

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwasanya pendidikan merupakan suatu hal yang urgen dalam setiap lini kehidupan. Sebagai wahana untuk membentuk manusia ideal, maka pendidikan tidak akan pernah terlepas dari kehidupan kita sehari-hari.
Di lain pihak pendidikan merupakan faktor penentu kemajuan suatu negara. Maju tidaknya suatu negara tergantung dari kualitas pendidikan di dalamnya. Sudah jelas kiranya bahwasanya pendidikan memang memiliki peranan penting dalam kehidupan umat manusia.
Anak didik sebagai salah satu komponen pendidikan dalam hal ini memerlukan perhatian yang cukup serius, terlebih selain sebagai objek juga berkeduduna sebagai subjek dalam pendidikan. Dengan kedudukan yang demikian maka keterlibatan anak didik menjadi salah satu faktor penting dalam terlaksananya proses pendidikan.
Sebagai seseorang yang terkenal dengan pakar sosiolog, Ibn Khaldun mencoba mendefinisikan anak didik sesuai tingkat pemahamannya. Dengan latar belakang sosiolog dan juga sejarawan, sedikit banyaknya memberikan pengaruh dalam usahanya memberikan pandangan terhadap anak didik. Seperti apa pandangannya? Kami akan mencoba mendiskusikannya.

PEMBAHASAN

1. Biografi Ibnu Khaldun
a. Asal usul dan pendidikannya
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M disalah satu jalan utama di kota tua, yaitu jalan Tarbat al-Bay. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir.
Ibnu Khaldun berasal dari keluarga Andalusia yang berdomisili di Silvia. Nenek moyangnya berasal dari kabilah Bani Wail, tergolong kabilah Arab Yaman, yang diduga berhijrah ke Andalusia pada abad ketiga Hijriyah. Pada abad ketujuh Hijriyah keluarga Ibnu Khaldun dari Silvia pindah ke Tunis, Ibnu Khaldun dibesarkan di Tunis dan belajar ilmu-ilmu pengetahuan yang umum dipelajari pada zaman itu.[1]
Ayah Ibnu Khaldun sendiri bernama Abu Abdillah Muhammad. Beliau adalah orang yang tertarik dengan bidang ilmu dan pendidkan, sehingga ia dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu fiqih. Ayah Ibnu Khaldun meninggal pada tahun 749 H/1349 M, ketika Ibnu Khaldun berumur 18 (delapan belas tahun).
Pendidikan yang diperoleh Ibnu Khaldun diantaranya adalah pelajaran agama, bahasa, logika dan filsafat, dengan gurunya yang utama adalah ayahnya sendiri. Selain itu beliau juga menghafal al-Qur’an, mempelajari fisika dan matematika dari ulama-ulama besar pada masanya. Di antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah Muhammad bin Saad Burral al-Anshari, Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin Abdil Muhaimin al-Hadrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim al-Abilli. Dari merekalah Ibnu Khaldun mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1354 Ibnu Khaldun pindah ke Maroko. Di sana ada empat ilmu yang dipelajari secara mendalam, yaitu : Kelompok bahasa Arab yang terdiri dari: Nahwu, shorof, balaghoh, khitabah dan sastra. Kelompok ilmu syari’at terdiri dari: Fiqh (Maliki), tafsir, hadits, ushul fiqh dan ilmu al-Qur’an. Kelompok ilmu ‘aqliyah (ilmu-ilmu filsafat) terdiri dari: filsafat, mantiq, fisika, matematika, falak, musik, dan sejarah. Kelompok ilmu kenegaraan terdiri atas: ilmu administrasi, organisasi, ekonomi dan politik.
b. Perjalanan dan Pengalaman Hidup Ibnu Khaldun setelah Usia Dewasa
Sebenarnya Ibn Khaldun hidup saat imperium Islam bagian barat (termasuk Afrika Utara) di ambang kehancuran. Andalusia terpecah-belah menjadi kerajan-kerajaan kecil. Kaum Murabitun (Almoravid) dan Muwahhidun (Almohad) saling rebut wilayah dan pengaruh. Dan kehidupan politik saat itu merupakan isu sentral dalam menarik minat para kaum intelektual memasuki dunia politik, termasuk Ibnu Khaldun. Oleh karena itu, memasuki tahun ke-20 dari usianya, Ibnu Khaldun pun mulai tertarik dengan kehidupan politik.
Pada tahun 755 H./1354 M, Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris Sultan di Maroko, namun jabatan ini tidak lama di pangkunya, karena pada tahun 1357 Ibnu Khaldun terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan Amir bersama Amir Abu Abdullah Muhammad, sehingga ia ditangkap dan dipenjarakan. Pernah Ibnu Khaldun diangkat menjadi Mahkamah Agung pada masa Abu Salaim, namun itupun tidak berlangsung lama karena pada tahun 762 H./1361 M., timbul pemberontakan di kalangan keluarga istana, maka pada waktu itu Ibnu Khaldun meninggalkan jabatannya.
Merasa tidak cocok dengan dunia politik, Ibnu Khaldun kemudian kembali ke dalam dunia ilmu pengetahuan yang pernah digelutinya. Berbekal pengalaman liku-liku perjalanannya, ia kemudian menyusun sebuah karya besarnya yang kemudian dikenal dengan “Muqaddimah Ibnu Khaldun”. Selain itu ia juga menyusun sejarah besarnya “Al- `Ibar”. Terakhir ia menjadi hakim tinggi dan guru besar di Al Azhar, sebelu akhirnya meninggal pada hari Rabu tanggal 25 Ramadhan 808 H. bertepatan dengan tanggal 17 Maret 1406 M. dalam usianya yang ke-76, dan dimakamkan di pekuburan orang-orang sufi Babul Nashr di Kairo.
c. Kepribadian dan Corak Pemikiran Ibnu Khaldun
Sebagai seoang pemikir Ibnu Khaldun memiliki watak yang luar biasa yang kadang terasa kurang baik. Menurut Muhammad Abdullah Enan dalam diri Ibnu Khaldun terdapat sifat angkuh dan egoisme, penuh ambisi, tidak menentu dan kurang memiliki rasa terima kasih. Namun di samping sifat-sifatnya yang tersebut di atas dia juga mempunyai sifat pemberani, tabah dan kuat, teguh pendirian serta tahan uji. Disamping memiliki intelegensi yang tinggi, cerdas, berpandangan jauh dan pandai berpuisi.
Menurut beberapa ahli, Ibnu Khaldun dalam proses pemikirannya mengalami percampuran yang unik, yaitu antara dua tokoh yang saling bertolak belakang, Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd. Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd bertentangan dalam bidang filsafat. Ibnu Rusyd adalah pengikut Aristoteles yang setia, sedangkan Al-Ghozali adalah penentang filsafat Aristoteles yang gigih. Ibnu Khaldun adalah pengikut Al-Ghozali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles, dan pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi massa.

2. Pengertian Anak Didik
Anak didik merupakan salah satu komponen terpenting dalam pendidikan. Tanpa anak didik, proses kependidikan tidak akan terlaksana. Oleh karena itu pengertian tentang anak didik dirasa perlu diketahui dan dipahami secara mendalam oleh seluruh pihak. Sehingga dalam proses pendidikannya nanti tidak akan terjadi kemelencengan yang terlalu jauh dengan tujuan pendidikan yang direncanakan.
Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan.[2]
Paradigma di atas menjelaskan bahwasanya manusia / anak didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan.
Menurut Samsul Nizar (2002) beberapa hakikat peserta didik dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu :
1. Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunia sendiri.
2. Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi priodesasi perkembangan dan pertumbuhan.
3. Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
4. Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual.
5. Peserta didik terdiri dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani.
6. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.

3. Pandangan Ibnu Khaldun Terhadap Anak Didik
Kita sepakat bahwa untuk dapat membangun peradaban yang tinggi harus dimulai dengan memajukan pendidikan terlebih dahulu. Oleh karena itu maju tidaknya suatu negara ditentukan oleh tingkat kualitas pendidikan di dalamnya. Semakin bagus mutu / kualitas pendidikan suatu negara maka semakin maju peradaban yang dibangunnya.
Anak didik sebagai salah satu komponen pendidikan di dalamnya merupakan salah satu faktor terpenting dalam terlaksananya proses pendidikan. Selain sebagai objek manusia juga sebagai subjek dalam pendidikan, sehingga kedudukannya dalam proses kependidikan menempati posisi urgen sebagai syarat terjadinya proses pendidikan.
Berangkat dari urgensitas pendidikan dalam membangun sebuah peradaban, maka banyak para kaum intelektual yang mencoba mengkajinya lebih dalam sampai keakar permasalahannya.
Ibn Khaldun, seseorang yang terkenal sebagai sejarawan, sosiolog, dan juga antropolog, mencoba mengemukakan gagasan pemikirannya mengenai anak didik, yang dalam hal ini anak didik menduduki objek sekaligus subjek dalam pendidikan.
Menurut Husayn Ahmad Amin (1995), dengan latar belakang seorang sosiolog, maka dalam bebagai kajiannya Ibn Khaldun bersandar sepenuhnya kepada pengamatan terhadap fenomena sosial dalam berbagai bangsa yang di dalamnya dia hidup.
Begitu pula dalam pemikirannya mengenai anak didik, ia mengaitkannya dengan aspek sosial yaitu hubungan anak didik dengan lingkungan dan masyarakat disekitarnya.
Lebih lanjut diterangkan, Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof, baik itu filosof dari golongan muslim atau non-muslim. Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiolog dan antropolog.[3]
Menurutnya, keberadaan masyarakat sangat penting untuk kehidupan manusia, karena sesungguhnya manusia memiliki watak bermasyarakat.[4] Ini merupakan wujud implementasi dari kedudukan manusia sebagai makhluk sosial, yang secara harfiahnya selalu membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Salah satu contoh yaitu dengan adanya oganisasi kemasyarakatan.
Melalui organisasi kemasyarakatan tersebut manusia juga dapat belajar bagaimana seharusnya menjadi orang yang dapat diterima oleh lingkungannya. Dengan demikian maka secara tidak langsung manusia lambat laun akan menemukan watak serta kepribadiannya sendiri.
Manusia bukan merupakan produk nenek moyangnya, akan tetapi, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat. Karena itu, lingkungan sosial merupakan pemegang tanggungjawab dan sekaligus memberikan corak perilaku seorang manusia. Hal ini memberikan arti, bahwa pendidikan menempati posisi sentral dalam rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan.[5]
Pendidikan sebagai suatu upaya dalam membentuk manusia ideal, mencoba mengajarkan dan mengajak manusia untuk berpikir mengenai segala sesuatu yang ada di muka bumi, sehingga hasrat ingin tahunya dapat terpenuhi.
Ibn Khaldun memandang manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan berbagai makhluk lainnya. Manusia, kata Ibn Khaldun adalah makhluk berpikir. Oleh karena itu ia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan teknologi.[6] Dan hal itu sebagai bukti bahwa manusia memang memiliki tingkatan berpikir yang lebih tinggi dibanding dengan makhluk lainnya.
Disamping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, manusia juga memiliki sikap sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat yang antara satu dengan yang lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain yang telah lebih dahulu mengetahuinya. Mereka itulah yang kemudian disebut guru. Agar tercapai proses pencapaian ilmu yang demikian itu, maka perlu diselenggarakan kegiatan pendidikan.
Pada bagian lain, Ibn Khaldun berpendapat bahwa dalam proses belajar atau menuntut ilmu pengetahuan, manusia disamping harus sungguh-sungguh juga harus memiliki bakat. Menurutnya, dalam mencapai pengetahuan yang bermacam-macam itu seseorang tidak hanya membuuhkan ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya suatu keahlian dalam satu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.
Dalam Al Qur`an sendiri manusia terdiri dari materi (jasad) dan immateri (ruh, jiwa, akal, qalb). Jika dihubungkan dengan pendidikan, maka manusia yang diberi pendidikan itu adalah jiwa dan akalnya. Pendidikan pada manusia adalah suatu proses pengembangan potensi jiwa dan akal yang tumbuh secara wajar dan seimbang, dalam masyarakat yang berkebudayaan.

Daftar Pustaka

Amin, Husyain Ahmad. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1995

Madjidi, Busyairi, H. Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim. Yogyakarta: Al Amin Press. 1997

Nata, Abudin, H. Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997

Nizar, Syamsul, H. Filsafat Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis) Jakarta: Ciputat Pers. 2002


[1] H. Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim (Yogyakarta: Al Amin Press, 1997) Halaman 127
[2] H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis) (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) Halaman 47
[3] H. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Halaman 174
[4] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995) Halaman 242
[5] H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis) (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) Halaman 93
[6] H. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Halaman 174


      Anda mungkin juga ingin membaca :

No comments:

Post a Comment