19 December, 2009

PENDIDIKAN DAN MORALITAS

PENDIDIKAN DAN MORALITAS

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Sosiologi Pendidikan.

Dosen Pengampu: Drs. Sabarudin, M.Si.

Disusun Oleh:
Nama : Edi Susanto
NIM : 06410076
Smt/Jur : V / PAI 2
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKRTA
2008

PENDIDIKAN DAN MORALITAS

A. Pengertian pendidikan.

Kita tahu bahwa ada banyak definisi pendidikan. Ini jelas menunjukkan bahwa pendidikan dipandang sebagai hal yang sangat penting, sehingga banyak pihak yang merasa perlu untuk memberikan definisi -- pengertian atau memaknainya. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu : ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan - Red), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.
2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
3
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
4
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah "subyek" dari -- pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk "ada" sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Pengertian Moral
Ada beberapa istilah yang sering digunakan secara bergantian untuk menunjukkan maksud yang sama, istilah moral, akhlak, karakter, etika, budi pekerti dan susila. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, “moral” diartikan sebagai keadaan baik dan buruk yang diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti dan susila. Moral juga berarti kondisi mental yang terungkap dalam bentuk perbuatan. Selain itu moral berarti sebagai ajaran Kesusilaan.[26] Kata morla sendiri berasal dari bahasa Latin “mores” yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat dan kebiasaan.[27]
Dengan demikian pengertian moral dapat dipahami dengan mengklasifikasikannya sebagai berikut :
  1. Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan tuntutan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan meningalkan perbuatan jelekyang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
  2. Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai perbuatan seseorang apakah termasuk baik atau sebaliknya buruk.
  3. Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul dalam bentuk perbuatan, seperti berani, jujur, sabar, gairah dan sebagainya.
Dalam terminology Islam, pengertian moral dapat disamakan dengan pengertian “akhlak” dan dalam bahasa Indonesia moral dan akhlak maksudnya sama dengan budi pekerti atau kesusilaan.[28]
Kata akhlak berasal dari kata khalaqa (bahasa Arab) yang berarti perangai, tabi’at dan adat istiadat. Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu perangai (watak/tabi’at) yang menetap dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.[29]
Pengertian akhlak seperti ini hamper sama dengan yang dikatakan oleh Ibn Maskawih. Akhlak menurutnya adalah suatu keadaan jiwa yang menyebabkan timbulnya perbuatan tanpa melalui pertimbangan dan dipikirkan secara mendalam.[30] Apabila dari perangai tersebut timbul perbuatan baik, maka perbuatan demikian disebut akhlak baik. Demikian sebaliknya, jika perbuatan yang ditimbulkannya perbuatan buruk, maka disebut akhlak jelek.
Pendapat lain yang menguatkan persamaan arti moral dan akhlak adalah pendapat Muslim Nurdin yang mengatakan bahwa akhlak adalah seperangkat nilai yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau suatu sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia.[31]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar antara akhlak dan moral. Keduanya bisa dikatakan sama, kendatipun tidak dipungkiri ada sebagian pemikir yang tidak sependapat dengan mempersamakan kedua istilah tersebut.
Perubahan Moralitas dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Setiap manusia dalam hidupnya pasti mengalami perubahan atau perkembangan, baik perubahan yang bersifat nyata atau yang menyangkut perubahan fisik, maupun perubahan yang bersifat abstrak atau perubahan yang berhubungan dengan aspek psikologis. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari dalam manusia (internal) atau yang berasal dari luar (eksternal). Faktor-faktor itulah yang akan menentukan apakah proses perubahan manusia mengarah pada hal-hal yang bersifat positif atau sebaliknya mengarah pada perubahan yang bersifat negative.
Kaitannya dengan pembentukan moral, maka membicarakan proses pembentukan moral, tidak lain membicarakan salah satu aspek dari aspek perubahan atau perkembangan manusia. Tentu dalam pembentukan moral ada faktor-faktor yang mempengaruhi seperti halnya perubahan manusia pada umumnya.
Menurut beberapa ahli pendidikan, perubahan manusia atau yang lebih spesifik mengenai pembentukan moral dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Namun, mereka berbeda pendapat dalam hal faktor mana yang paling dominant mempengaruhi proses perubahan tersebut. Perbedaan tersebut diakibatkan karena berbedanya sudut pandang atau pendekatan yang digunakan oleh masing-masing tokoh.
Dalam beberapa literature pendidikan terdapat aliran-aliran yang biasa digunakan oleh beberapa ahli pendidikan sebagai suatu pendekatan dalam menilai faktor-faktor yang mempengaruhi proses perubahan atau perkembangan manusia. Aliran-aliran tersebut adalah :
1. Aliran Nativisme
Nativisme adalah suatu doktrin filosofis yang berpengaruh besar dalam pemikiran psikologis. Tokoh utamanya Arthur Schopenhaur (1788-1860) seorang filosuf berkebangsaan Jerman.[32] Aliran ini berpandangan bahwa yang mempengaruhi perkembangan manusia adalah faktor keturunan dan pembawaan atau sifat-sifat yang dibawanya sejak lahir. Pendidikan dan pengalaman hidup lainnya tidak dapat mengubah sifat-sifat keturunan/pembawaaan manusia.
Usaha-usaha mendidik dalam pandangan aliran ini merupakan usaha yang sia-sia. Karena pandangan pesimis ini, maka aliran ini dalam dunia pendidikan disebut “Pesimesme pedagogis.”[33]
Secara singkat keturunan diartikan semua sifat-sifat atau cirri-ciri yang melekat pada seorang anak yang merupakan regenerasi dari orang tuanya.[34] Sedangkan pembawaan adalah seluruh kemungkinan atau potensi-potensi yang terdapat pada seseorang yang selama perkembangannya bisa direalisasikan atau pengertian ini bisa disamakan dengan bakat (anleg).[35]
Perbedaan pengertian antara keturunan dan pembawaan sebenarnya bukan masalah substansial, karena banyak pemikir cenderung tidak membedakan arti keduanya.
Omar Muihammad Al-Toumi Al-Syaibani menyebutkan keturunan/pembawaan sebagai cirri dan sifat-sifat yang diwarisi dari orang tuanya. Sifat-sifat tersebut dibagi tiga macam.
1. Sifat-sifat tubuh (Jasmani), seperti warna kulit, warna mata, ukuran tubuh, bentuk kepala, wajah, rambat dan lain-lain.
2. Sifat-sifat akal, seperti cerdas, pandai, bebal, bodoh dan lain-lain.
3. Sifat-sifat akhlak atau moral, seperti prilaku baik, prilaku jahat, pemberani, pemarah, pemaaf, penyabar, penolong, beriman dan bertaqwa, dan lain-lain.
Pengaruh faktor keturunan terhadap pembentukan manusia sampai saat menjadi polemic. Ada yang setuju ada yang tidak setuju dan ada pula yang netral. Mereka mengakui tentang pengaruh faktor keturunan terhadap aspek jasmani (tubuh/badan) manusia dan akalnya. Tetapi mereka tidak menerima faktor keturunan dapat mempengaruhi sifat akhlak (moral) dan kebiasaan sosial.[36]
Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa keturunan banyak mempengaruhi pertumbuhan manusia dalam aspek jasmani dan kualitas akal. Namun, terhadap akhlak dan prilaku sosial manusia, kemungkinannyaa sangat kecil.
Tidak adanya ruang bagi pendidikan untuk mempengaruhi perubahan manusia karena aliran ini berkeyakinan bahwa satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi hanya faktor pembawaan atau faktor keturunan.
Hampir sama dengan aliran nativsime adalah aliran naturalisme. Nature artinya alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Aliran ini berpendapat bahwa pada dasarnya semua anak (manusia) adalah baik. Meskipun aliran ini percaya dengan kebaikan awal manusia, aliran ini tidak menafikan peranan dan pengaruh lingkungan atau pendidikan. Pendidikkan yang baik akan mengantarkan terciptanya manusia yang baik. Sebaliknya pendidikan dan lingkungan yang jelek akan berakibat manusia menadi jelek juga.
J. Rooseau sebagai tokoh aliran ini mengatakan, “semua anak adalah baik pada dilahirkan, tetapi menjadi rusak di tangan manusia”. Oleh karena itu dia mengajukan pendapat agar pendidikan anak menggunakan sistem “pendidikan alam”. Artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang menurut alamnya. Manusia dan masyarakat jangan terlalu ikut mencampurinya.[37]
Dalam konteks pembentukan moral siswa, maka menurut aliran nativisme, moral seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri sesuai dengan sifat-sifat pembawaan yang ada sejak manusia lahir, dan pendidikan tidak mempunyai peran dalam membentuk moral siswa.
2. Aliran Emperisme
Aliran emperisme berlawanan dengan aliran nativisme. Kalau dalam nativisme pembawaan atau keturunan menjadi faktor penentu yang mempengaruhi perkembangan manusia, maka dalam emperisme yang mempengaruhi perkembangan manusia adalah lingkungan dan pengalaman pendidikannya.
Tokoh utama aliran ini adalah Jhon Locke (1632-1704) dengan gagasan awalnya mendirikan “The school of british empiricism” (aliran emperisme Inggris). Sekalilpun aliran ini bermarkas di Inggris tetapi pengaruhnya sampai ke Amerika Serikat sehingga melahirkan aliran “environmental psychology” (Psikologi lingkungan, 1988).[38]
Lingkungan menurut Zakiyah Daradjat dalam arti yang luas mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam. Dengan kata lain lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Ia adalah seluruh yang ada, baik manusia atau benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, kejadian-kejadian atau hal-hal yang mempunyai hubungan dengan manusia. Sejauh manakah manusia berinteraksi dengan lingkungan, sejauh itulah terbuka peluang masuknya pengaruh pendidikan kepadanya.[39]
Sartain (Seorang ahli psikologi Amerika) menyebutkan bahwa yang dimaksud lingkungan adalah semua kondisi dalam dunia ini yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku, pertumbuhan dan perkembangan manusia. Kemudian dia membagi lingkungan menjadi tiga bagian; lingkungan alam/luar (external environment), lingkungan dalam (internal environment) dan lingkungan sosial (social environment).[40]
1. Lingkungan luar adalah segala sesuatu yang ada dalam dunia ini dan bukan manusia seperti, tumbuh-tumbuhan, hewan, iklim, air dan sebagainya.
2. Lingkungan dalam adalah segala sesuatu yang ada dalam diri manusia dan mempengaruhi pertumbuhan fisiknya.
3. Lingkungan sosial adalah semua orang atau orang lain yang mempengaruhi manusia baik secara langsung atau tidak langsung.
Dari ketiga pembagian lingkungan di atas, maka lingkungan sosiallah yang mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan moral seseorang.
Aliran ini juga mendapat dukungan dari kaum behavioris, salah satu tokoh tulen behavioris Waston berkata : “Berilah saya sejumlah anak yang baik keadaan badannya dan situasi yang saya butuhkan, dan dari setiap orang anak, entah yang mana dapat saya jadikan dokter, seorang pedagang, seorang ahli hokum, atau jika memang dikehendaki, menjadi seorang pengemis atau seorang pencuri”.[41]
Secara eksplisit aliran emperisme menekankan betapa peran lingkungan dan pengalaman pendidikan sangat besar dalam mengubah atau mengembangkan manusia dan setiap anak bisa dibentuk sesuai dengan kepentingan dan arahan lingkungan. Pendapat kaum emperis yang optimis ini, di dalam dunia pendidikan dikenal dengan “optimisme pedagogis”.
Doktrin mendasar yang masyhur dalam aliran emperisme adalah teori “tabula rasa”, sebuah istilah latin yang berarti batu tulis kosong atau lembaran kosong (blank slate/blank tablet). Doktrin tabula rasa menekankan arti penting pengalaman, lingkungan dan pendidikan. Dalam arti perkembangan manusia tergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada pengaruhnya.[42]
Dalam hal ini, para penganut emperisme menganggap setiap anak lahir seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong, tak punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak menjadi apa anak kelak tergantung pada pengalaman/lingkungan yang mendidiknya.
Nabi Muhammad SAW : bersabda :
“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci, ibu dan bapaknya yang akan menentukan apakah anak tersebut akan menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi” (HR. Bukhari).[43]
Sukar untuk tidak menyakini bahwa lingkungan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap proses pembentukan manusia. Lingkungan akan menentukan prilaku dan moral manusia. Seorang anak yang tinggal dalam kondisi sosial masyarakat yang tidak teratur, kemampuan ekonomi di bawah rata-rata, lingkungan alam yang kumuh tanpa fasilitas-fasilitas umum yang memadai seperti sarana ibadah, sarana olah raga dan lain-lain, kondisi seperti itu akan menyuburkan pertumbuhan anak-anak nakal dan kurang bermoral. Untuk anak yang hidup dalam lingkungan ini, maka tidak cukup alasan untuk tidak menjadi brutal, apalagi jika orang tuanya kurang peduli dengan perkembangan anaknya.
Bagi aliran ini, pembentukan moral dan prilaku manusia akan sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Lingkungan yang baik (bermoral) tempat di mana anak-anak melakukan interaksi akan terpengaruh pada terciptana anak-anak yang berprilaku dan bermoral baik. Demikian pula lingkungan yang tidak baik akan menciptakan anak-anak yang bermoral tidak baik.
3. Aliran Konvergensi
Munculnya aliran konvergensi merupakan respon terhadap pertentangan antara dua aliran ekstrim nativisme dan emperisme. Konvergensi berusaha untuk mengkompromikan arti penting aspek keturunan pada satu sisi dan aspek lingkungan di sisi yang lain sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia. Tokoh aliran ini, Louis William Sterm, seorang psikolog Jerman (1871-1938).
Dalam menetapkan faktor yang mempengaruhi manusia, aliran ini tidak hanya berpegang pada lingkungan, pengalaman/pendidikan saja, tetapi juga mempercayai faktor keturunan. Konvergensi memposisikan pembawaan dan lingkungan dalam posisi yang sama-sama penting. Pembawaan tidak mempunyai arti apa-apa terhadap perkembangan manusia jika tidak didukung oleh kondisi lingkungan yang memadai. Demikian pula lingkungan dan pengalaman tanpa adanya bakat pembawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia sesuai dengan harapan. Bagi aliran konvengensi, keturunan dan lingkungan sama-sama mempunyai peran dan andil dalam perkembangan manusia.
Tentang pengaruh keturunan dan lingkungan terhadap perkembangan manusia, Omar al-Toumy al-Syabany menegaskan :
Kita menyakini bahwa manusia (insane) dengan seluruh perwatakannya (karakter) dan pertumbuhannya adalah pencapaian dan faktor; yaitu warisan dan lingkungan. Dan faktor ini mempengaruhi manusia dan berinteraksi dengannya sejak hari pertama ia menjdi embrio hingga hayat. Oleh karena kuat dan bercampur aduknya peranan kedua faktor ini, maka sukar sekali untuk menunjukkan perkembangan tubuh atau tingkah laku (moralitas) secara pasti kepada salah satu dari dua faktor.[44]
Keterkaitan peran antara keturunan dan lingkungan dapat diumpamakan dengan menyemai benih tanaman yang bagus, jika ingin menghasilkan tanaman yang bagus, maka harus disemai di lahan yang subur. Seandainya benih tersebut disemai di tanah yang tidak cocok atau tandus, maka hasilnya tidak akan sesuai harapan. Demikian pula sebaliknya sesubur apapun tanahnya, jika benih yang ditanam tidak bagus maka hasilnya pun tentu kurang bagus.
Dalam hal ini yang berbeda mungkin tingkat dominasi tingkat pengaruh keturunan dan lingkungan terhadap pertumbuhan manusia. Pengaruh kedua faktor ini juga berbeda melihat umur dan fase pertumbuhan yang dilalui. Faktor keturunan umumnya lebih kuat pengaruhnya pada tingkat bayi. Faktor keturunan berkembang sebelum terjadinya interaksi sosial serta adanya pengalaman-pengalaman baru. Sebaliknya faktor lingkungan lebih besar pengaruhnya apabila manusia meningkat dewasa. Karena waktu itu ruang gerak untuk melakukan interaksi dengan lingkungan sosial dan pengalaman-pengalaman hidup semakin luas terbuka.
Dengan adanya berbagai pandangan tentang perubahan moralitas, penulis cenderung sepakat dengan pandangan yang terakhir (aliran konvergensi), karena dalam keyakinan penulis antara faktor pembawaan dan faktor lingkungan (pendidikan) sama-sama mempunyai peran dalam membentuk moralitas seseorang.
Al-Ghazali mengatakan, dalam diri manusia memang ada potensi-potensi yang mengarahkan manusia untuk berbuat jahat, seperti sifat syahwah (ambisi) dan ghadlob (emosi). Tetapi potensi jahat itu bisa diredam dengan cara melakukan perlawanan terhadapnya (mujahadah) dan melalui proses latihan yang diterima secara terus menerus (riyadlah).[45]
Secara alami manusia dalam dirinya mempunyai potensi karakter yang berkecenderungan baik dan buruk, tetapi dengan pendidikan atau melalui nasehat-nasehat yang mulia cepat atau lambat karakter tersebut pasti mengalami perubahan. Manusia yang secara alami buruk bisa berubah menjadi baik melalui pendidikan atau pergaulan dengan orang-orang yang baik dan shaleh. Ibnu maskawih kemudian mengutip perkataan Aristoteles dalam Book on ethie dan book on categories, bahwa orang yang buruk akan menjadi baik melalui pendidikan.[46]


            Anda mungkin juga ingin membaca :
  
           - Pengelolaan Kurikulum
           - Pendidikan dan Moralitas
           - Hukum Kontes Ratu Kecantikan

No comments:

Post a Comment