19 December, 2009

PENDIDIKAN ISLAM DAN MORALITAS

PENDIDIKAN ISLAM DAN MORALITAS

A. Pengertian Pendidikan Islam

Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan ialah : “Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”[1].

Ki Hajar Dewantara menyatakan : “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”.[2]

Muhammad Natsir dalam tulisannya ideology Islam, menulis : “Yang dinamakan didikan, ialah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”.[3]

Ahmad D. Marimba mengajukan definisi pendidikan sebagai berikut : “Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[4]

Jamin Shaliba dari lembaga bahasa Arab Damaskus mengemukakan bahwa “pendidikan ialah pengembangan fungsi-fungsi psikis melalui laihan sehingga mencapai kesempurnaannya sedikit demi sedikit”.[5]

Di dalam Islam terdapat tiga istilah pendidikan yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Istilah tarbiyah berakar pada tiga kata. Pertama, kata, raba yarbu, yang berarti bertambah atau tumbuh. Kedua, kata, rabia yarba, yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata, raba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga dan memelihara Firman Alah yang mendukung istilah tarbiyah antara lain terdapat pada ayat di bawah ini :

“….dan ucapkanlah, wahai Tuhanku, kasihilah mreka keduanya sebagaimana ereka berdua telah mendidik aku waktu keccil” (QS al-Isra’ : 24)[6]

Abdul Fatah Jalal, ahli pendidikan dari Universitas al-Azhar, mengatakan

“bahwa yang dimaksud dengan tarbiyah pada ayat tersebut di atas, adalah, pendidikan yang berlangsung pada fase pertama pertumbuhan manusia, yaitu fase bayi dan kanak-kanak, masa anak sangat bergantung pada kasih sayang keluarga. Dengan demikian, pengertian yang digali dari kata tarbiyah terbatas pada pemeliharaan, pengasuhan dan pengasihan anak manusia pada masa kecil. Bimbingan dan tuntunan yang diberikan sesudah mada itu tidak lagi termasuk dalam pengertian pendidikan”.[7]

Istilah lain yang digunakan untuk menunjuk konsep pendidikan Islam ialah ta’lim. Jalal, salah seorang yang menawarkan istilah ini, mengemukakan konsep pendidikan yang terkandung di dalamnya sebagai berikut, ta’lim adalah proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan hati. Pengertian ini digali dari firman Allah SWT yang menyatakan sebagai berikut :

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur”. (Q.S. al-Nahl : 78)[8]

Pengembangan fungsi-fungsi tersebut merupakan tanggung jawab orang tua ketika anak masih kecil. Setelah dewasa, hendaknya orang belajar secara mandiri sampai ia tidak mampu lagi meneruskan belajarnya, baik karena meninggal dunia maupun usia tua renta. Proses ta’lim tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotori dan afeksi.

Istilah ta’dib untuk menandai konsep pendidikan dalam Islam ditawarkan oleh al-Attas. Istilah ini berasal dari kata adab dan pada pendapatnya, berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmani, intelektual, maupun rohani seseorang. Dengan demikian ini, kata adab mencakup pengertian ilmu dan amal.

Kata ta’dib dinyatakan sebagai cara Tuhan dalam mendidik Nabi SAW, sesuai dengan sabda beliau :

“Tuhanku telah mendidikku, maka baguslah adabku”[9]

Berdasarkan konsep adab tersebut di atas al-Attas mendefinisikan pendidikan sebagai berikut :

“Pengasuhan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan potensi”.[10]

Pengenalan berarti menemukan tempat yang tepat sehubungan dengan yang dikenali; dan pengakuan berarti tindakan yang bertalian dengan itu (amal), yang lahir sebagai akibat menemukan tempat yang tepat dari apa yang dikenali.

Dengan demikian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dalam konotasi tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang harus diketahui secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungan dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula seklaigus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam; formal; informal dan nonformal.

Secara lebih spesifik, M. Yusuf al-Qurdlowi memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai berikut :

“Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya, karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapimasyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”.[11]

Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk engisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.[12] Di sini pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT, kepada Muhammad SAW. Melalui proses di mana individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai kholifah di muka bumi, yang dalam kerangka lebih lanjut mewujudkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Endang Saefuddin Anshori memberikan pengertian pendidikan Islam adalah, proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan kemauan, intuisi dan lain sebagainya) dan raga objek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada kea rah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[13]

Dari pengertian-pengertian pendidikan Islam yang berbeda-beda tersebut di atas, dapatlah penulis menyimpulkan bahwa pendidikan Islam suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien, sesuai dengan kaidah-kaidah Islam dan untuk mencapai kehidupan ukhrowi yang bahagia.

B. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Dalam usaha terkandung cita-cita, kehendak, kesengajaan serta berkonsekwensi penyusunan daya upaya untuk mencapainya.

Tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam proses pendidikan. Hal ini disebabkan oleh fuingsi-fungsi yang dipikulnya.

Pertama, tujuan pendidikan mengarahkan perbuatan mendidik. Fungsi ini menunjukkan pentingnya perumusan dan pembatasan tujuan pendidikan secara jelas. Tanpa tujuan yang jelas, proses pendidikan akan berjalan tidak efektif dan tidak efisien, bahkan tidak menentu dan salah dalam menggunakan metode, sehingga tidak mencapai manfaat. Tujuanlah yang menentukan metode apa yang seharusnya digunakan untuk mencapainya.

Kedua, tujuan pendidikan mengakhiri usaha pendidikan. Apabila tujuannya telah tercapai, maka berakhir pula usaha tersebut. Usaha yang terhenti sebelum tujuan tercapai, sesungguhnya belum dapat disebut berakhir, tetapi hanya mengalami kegagalan yang antara lain disebabkan oleh tidak jelasnya rumusan tujuan pendidikan.

Ketiga, tujuan pendidikan di satu sisi membatasi lingkup suatu usaha pendidikan, tetapi di sini lain mempengaruhi dinamikanya. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan usaha berproses yang di dalamnya usaha-usaha pokok dan usaha-usaha parsial saling terkait.

Keempat, tujuan pendidikan memberikan semangat dan dorongan untuk melaksanakan pendidikan. Hal ini juga berlaku pada setiap perbuatan.[14]

Ahmad D. Marimba, menyebutkan empat fungsi tujuan pendidikan. Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha. Suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah mempunyai arti apa-apa. Selain itu, usaha mengalami permulaan dan mengalami pula akhirnya. Ada usaha yang terhenti karena kegagalan sebelum mencapai tujuan, tetapi tujuani itu belum dapat disebut berakhir. Pada umumnya, suatu usaha baru berakhir kalau tujuan akhir telah dicapai. Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha, tanpa adanya antisipasi (pandangan ke depan) kepada tujuan, penyelewengan akan banyak terjadi dan kegiatan yang dilakukan tidak akan berjalan secara efisien. Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan lain, yaitu tujuan-tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan pertama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dari satu segi tujuan itu membatasi ruang gerak usaha itu. Keempat, fungsi dari tujuan pendidikan ialah memberi nilai (sifat) pada usaha itu. Ada usaha-usaha yang tujuannya lebih luhur, lebih mulia, lebih luas dari usaha-usaha lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rumusan setiap tujuan selalu disertai dengan nilai-nilai yang hendak diusahakan perwujudannya.[15] Nilai-nilai itu tentu saja bermacam-macam, sesuai dengan pandangan yang meruimuskannya.

Jika yang merumuskan tujuan tersebut orang muslim yang taat dan luas wawasan keislamannya, tentu saja ia akan memasukkan nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran Islam yang dianutnya. Dengan demikian, suatu rumusan tujuan pendidikan harus memiliki muatan subjektifitas dari yang merumuskannya, walaupun subjektifitas ini tidak selamanya berkonotasi negative.

Dalam hubungan fungsi ke empat dari tujuan pendidikan tersebut diatas, Hasan Langgulung menulis tentang tujuan pendidikan Islam. Menurutnya tujuan-tujuan pendidikan agama harus mampu mengkomodasikan tiga fungsi dari agama, yaitu fungsi spiritual yang berkaitan dengan aqidah dan iman, fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk nilai-nilai akhlak yang mengangkat derajat manusia ke derajat yang lebih sempurna, dan fungsi sosial yang berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia lain atau masyarakat, di mana masing-masing menyadari hak-hak dan tanggungjawabnya untuk menyusun masyarakat yang harmonis dan seimbang.[16] Uraian ini pada intinya menegaskan bahwa suatu rumusan pendidikan Islam, tidaklah bebas dibuat kesehendak yang menyusunnya, melainkan berpijak pada nilai-nilai yang digali dari ajaran Islam itu sendiri. Dengan cara demikianlah, maka tujuan tersebut dapat memberi nilai terhadap kegaitan pendidikan.

Mohammad Al-Taumy Al-Syaibani, mengatakan bahwa hubungan antara tujuan dan nilai-nilai amat berkaitan erat, karena tujuan pendidikan merupakan masalah nilai itu sendiri. Pendidikan mengandung pilihan bagi arah kemana perkembangan murid-murid akan diarahkan. Dan pengarahan ini sudah tentu berkaitan erat dengan nilai-nilai. Pilihan terhadap suatu tujuan mengandung unsur mengutamakan terhadap beberapa nilai atas yang lainnya. Nilai-nilai yang dipilih sebagai pengaruh dalam merumuskan tujuan pendidikan tersebut pada akhirnya akan menentukan corak masyarakat yang akan dibina melalui pendidikan itu.[17]

Dari uraian singkat tentang fungsi tujuan pendidikan tersebut di atas, penulis akan memaparkan rumuisan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan.

Ahmad Tafsir, mencoba menjelaskan tujuan pendidikan Islam dengan merujuk kepada berbagai pendapat para pakar pendidikan Islam. Dari berbagai pendapat tersebut, ia membagi tujuan pendidikan Islam kepada yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Menurutnya untuk merumuskan tujuan pendidikan Islam secara umum harus diketahui lebih dahulu cirri manusia sempurna menurut Islam, yaitu dengan mengetahui lebih dahulu hakikat manusia menurut Islam.[18]

Konsepsi manusia yang sempurna menurut Islam, sangat membantu dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam. Menurut konsep Islam, manusia adalah makhluk yang memiliki unsur jasmani dan rohani, fisik dan jiwa yang memungkinkan ia dapat diberikan pendidikan. Selanjutnya manusia ditugaskan untuk menjadi khalifah di muka bumi sebagai pengamalan ibadah kepada Tuhan, dalam arti yangs seluas-luasnya. Konsekwensi ini pada akhirnya akan membantu merumuskan tujuan pendidikan, karena tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah gambaran ideal dari manusia yang ingin melalui pendidikan.

Menurut Ahmad D. Marimba, Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian utama.[19] Dalam definisi ini terlihat jelas bahwa secara umum yang dituju oleh kegiatan pendidikan adalah terbentuknya kepribadian utama. Definisi ini tampak sejalan dengan prinsip di atas yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah gambaran manusia yang kekal

Hasan Langgulung, berbicara tentang tujuan pendidikan tidak dapat tidak mengajak kita berbicara tentang tujuan hidup. Sebab pendidikan bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia. Tujuan ini menurutnya tercermin dalam surat al-An’am ayat 162 yang berbunyi

“Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-An-‘am : 162)[20]

Menurut Mohammad Athiyah. Pendidikan moral adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan moral dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan yang sebenarnya dari pendidikan Islam.[21]Pada definisi ini nampak bahwa gambaran manusia yang idela yang harus dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah manusia yang bermoral. Hal ini nampak sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu untuk menyempurnakan moral yang mulia.

“Sesungguhnya saya diutus hanya untuk menyempurnakan moral yang mulia”.[22]

Ali Ashraf mengatakan bahwa pendidikan seharusnya bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelek, nasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspek spiritual, intelektual, imaginative, fiscal, ilmiah, linguistic, baik secara individual maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.[23]

Sejalan dengan upaya pembinaan seluruh potensi manusia sebagaimana disebutkan di atas, menarik sekali pendapat yang dikemukakan Muhammad Quthub. Menurutnya,

Islam melakukan pendidikan dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik segi jasmani maupun segi rohani, baik kehidupan secara mental, dan segala kegiatannya di muka bumi ini. Islam memandang anusia secara totalitas, mendekatnya atas dasar apa yang terdapat dalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya, tidak sedikitpun yang diabaikan dan tidak memaksakan apa pun selain apa yang dijadikannya sesuai dengan fitrahnya.[24]

Pendapat ini memberikan petunjuk dengan jelas bahwa dalam rangka mencapai pendidikan, Islam mengupayakan pembinaan seluruh potensi manusia secara serasi dan seimbang.

Mohammad al-Toumy al-Syaibany, menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi :

  1. Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu, pelajaran (learning) dan dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu tersebut. Pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktifitas dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang diingini pada pribadi mereka, dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan akhirat.
  2. Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dan dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang diingini, dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diigninkan.
  3. Tujuan-tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai suatu aktifitas di antara aktifitas-aktifitas masyarakat.[25]

Proses pendidikan Islam berusaha mencapai ketiga tujuan itu, yaitu tujuan individual, tujuan sosial dan tujuan professional. Ketiga tujuan ini secara terpadu dan terarah diuisahakan agar tercapai dalam proses pendidikan Islam. Dengan tujuan ini pula, jelas ke mana pendidikan Islam diarahkan.

Dari pengertian-pengertian tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan tersebut di atas, dapatlah penulis mengambil kesimpulan sesuai dengan ruang lingkup pembahasan skripsi ini, bahwa pendidikan Islam berupaya menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tidak hanya pada aspek kognitif tetapi juga pada aspek afektif dan psiko-motorik. Transformasi nilai-nilai moral menjadi prioritas utama pendidikan selain transfer ilmu pengetahuan. Sehingga terbentuk seorang siswa yang intelek dan bermoral tinggi.

C. Pengertian Moral

Ada beberapa istilah yang sering digunakan secara bergantian untuk menunjukkan maksud yang sama, istilah moral, akhlak, karakter, etika, budi pekerti dan susila. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, “moral” diartikan sebagai keadaan baik dan buruk yang diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti dan susila. Moral juga berarti kondisi mental yang terungkap dalam bentuk perbuatan. Selain itu moral berarti sebagai ajaran Kesusilaan.[26] Kata morla sendiri berasal dari bahasa Latin “mores” yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat dan kebiasaan.[27]

Dengan demikian pengertian moral dapat dipahami dengan mengklasifikasikannya sebagai berikut :

  1. Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan tuntutan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan meningalkan perbuatan jelekyang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
  2. Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai perbuatan seseorang apakah termasuk baik atau sebaliknya buruk.
  3. Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul dalam bentuk perbuatan, seperti berani, jujur, sabar, gairah dan sebagainya.

Dalam terminology Islam, pengertian moral dapat disamakan dengan pengertian “akhlak” dan dalam bahasa Indonesia moral dan akhlak maksudnya sama dengan budi pekerti atau kesusilaan.[28]

Kata akhlak berasal dari kata khalaqa (bahasa Arab) yang berarti perangai, tabi’at dan adat istiadat. Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu perangai (watak/tabi’at) yang menetap dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.[29]

Pengertian akhlak seperti ini hamper sama dengan yang dikatakan oleh Ibn Maskawih. Akhlak menurutnya adalah suatu keadaan jiwa yang menyebabkan timbulnya perbuatan tanpa melalui pertimbangan dan dipikirkan secara mendalam.[30] Apabila dari perangai tersebut timbul perbuatan baik, maka perbuatan demikian disebut akhlak baik. Demikian sebaliknya, jika perbuatan yang ditimbulkannya perbuatan buruk, maka disebut akhlak jelek.

Pendapat lain yang menguatkan persamaan arti moral dan akhlak adalah pendapat Muslim Nurdin yang mengatakan bahwa akhlak adalah seperangkat nilai yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau suatu sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia.[31]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar antara akhlak dan moral. Keduanya bisa dikatakan sama, kendatipun tidak dipungkiri ada sebagian pemikir yang tidak sependapat dengan mempersamakan kedua istilah tersebut.

D. Perubahan Moralitas dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

Setiap manusia dalam hidupnya pasti mengalami perubahan atau perkembangan, baik perubahan yang bersifat nyata atau yang menyangkut perubahan fisik, maupun perubahan yang bersifat abstrak atau perubahan yang berhubungan dengan aspek psikologis. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari dalam manusia (internal) atau yang berasal dari luar (eksternal). Faktor-faktor itulah yang akan menentukan apakah proses perubahan manusia mengarah pada hal-hal yang bersifat positif atau sebaliknya mengarah pada perubahan yang bersifat negative.

Kaitannya dengan pembentukan moral, maka membicarakan proses pembentukan moral, tidak lain membicarakan salah satu aspek dari aspek perubahan atau perkembangan manusia. Tentu dalam pembentukan moral ada faktor-faktor yang mempengaruhi seperti halnya perubahan manusia pada umumnya.

Menurut beberapa ahli pendidikan, perubahan manusia atau yang lebih spesifik mengenai pembentukan moral dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Namun, mereka berbeda pendapat dalam hal faktor mana yang paling dominant mempengaruhi proses perubahan tersebut. Perbedaan tersebut diakibatkan karena berbedanya sudut pandang atau pendekatan yang digunakan oleh masing-masing tokoh.

Dalam beberapa literature pendidikan terdapat aliran-aliran yang biasa digunakan oleh beberapa ahli pendidikan sebagai suatu pendekatan dalam menilai faktor-faktor yang mempengaruhi proses perubahan atau perkembangan manusia. Aliran-aliran tersebut adalah :

  1. Aliran Nativisme

Nativisme adalah suatu doktrin filosofis yang berpengaruh besar dalam pemikiran psikologis. Tokoh utamanya Arthur Schopenhaur (1788-1860) seorang filosuf berkebangsaan Jerman.[32] Aliran ini berpandangan bahwa yang mempengaruhi perkembangan manusia adalah faktor keturunan dan pembawaan atau sifat-sifat yang dibawanya sejak lahir. Pendidikan dan pengalaman hidup lainnya tidak dapat mengubah sifat-sifat keturunan/pembawaaan manusia.

Usaha-usaha mendidik dalam pandangan aliran ini merupakan usaha yang sia-sia. Karena pandangan pesimis ini, maka aliran ini dalam dunia pendidikan disebut “Pesimesme pedagogis.”[33]

Secara singkat keturunan diartikan semua sifat-sifat atau cirri-ciri yang melekat pada seorang anak yang merupakan regenerasi dari orang tuanya.[34] Sedangkan pembawaan adalah seluruh kemungkinan atau potensi-potensi yang terdapat pada seseorang yang selama perkembangannya bisa direalisasikan atau pengertian ini bisa disamakan dengan bakat (anleg).[35]

Perbedaan pengertian antara keturunan dan pembawaan sebenarnya bukan masalah substansial, karena banyak pemikir cenderung tidak membedakan arti keduanya.

Omar Muihammad Al-Toumi Al-Syaibani menyebutkan keturunan/pembawaan sebagai cirri dan sifat-sifat yang diwarisi dari orang tuanya. Sifat-sifat tersebut dibagi tiga macam.

1. Sifat-sifat tubuh (Jasmani), seperti warna kulit, warna mata, ukuran tubuh, bentuk kepala, wajah, rambat dan lain-lain.

2. Sifat-sifat akal, seperti cerdas, pandai, bebal, bodoh dan lain-lain.

3. Sifat-sifat akhlak atau moral, seperti prilaku baik, prilaku jahat, pemberani, pemarah, pemaaf, penyabar, penolong, beriman dan bertaqwa, dan lain-lain.

Pengaruh faktor keturunan terhadap pembentukan manusia sampai saat menjadi polemic. Ada yang setuju ada yang tidak setuju dan ada pula yang netral. Mereka mengakui tentang pengaruh faktor keturunan terhadap aspek jasmani (tubuh/badan) manusia dan akalnya. Tetapi mereka tidak menerima faktor keturunan dapat mempengaruhi sifat akhlak (moral) dan kebiasaan sosial.[36]

Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa keturunan banyak mempengaruhi pertumbuhan manusia dalam aspek jasmani dan kualitas akal. Namun, terhadap akhlak dan prilaku sosial manusia, kemungkinannyaa sangat kecil.

Tidak adanya ruang bagi pendidikan untuk mempengaruhi perubahan manusia karena aliran ini berkeyakinan bahwa satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi hanya faktor pembawaan atau faktor keturunan.

Hampir sama dengan aliran nativsime adalah aliran naturalisme. Nature artinya alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Aliran ini berpendapat bahwa pada dasarnya semua anak (manusia) adalah baik. Meskipun aliran ini percaya dengan kebaikan awal manusia, aliran ini tidak menafikan peranan dan pengaruh lingkungan atau pendidikan. Pendidikkan yang baik akan mengantarkan terciptanya manusia yang baik. Sebaliknya pendidikan dan lingkungan yang jelek akan berakibat manusia menadi jelek juga.

J. Rooseau sebagai tokoh aliran ini mengatakan, “semua anak adalah baik pada dilahirkan, tetapi menjadi rusak di tangan manusia”. Oleh karena itu dia mengajukan pendapat agar pendidikan anak menggunakan sistem “pendidikan alam”. Artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang menurut alamnya. Manusia dan masyarakat jangan terlalu ikut mencampurinya.[37]

Dalam konteks pembentukan moral siswa, maka menurut aliran nativisme, moral seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri sesuai dengan sifat-sifat pembawaan yang ada sejak manusia lahir, dan pendidikan tidak mempunyai peran dalam membentuk moral siswa.

  1. Aliran Emperisme

Aliran emperisme berlawanan dengan aliran nativisme. Kalau dalam nativisme pembawaan atau keturunan menjadi faktor penentu yang mempengaruhi perkembangan manusia, maka dalam emperisme yang mempengaruhi perkembangan manusia adalah lingkungan dan pengalaman pendidikannya.

Tokoh utama aliran ini adalah Jhon Locke (1632-1704) dengan gagasan awalnya mendirikan “The school of british empiricism” (aliran emperisme Inggris). Sekalilpun aliran ini bermarkas di Inggris tetapi pengaruhnya sampai ke Amerika Serikat sehingga melahirkan aliran “environmental psychology” (Psikologi lingkungan, 1988).[38]

Lingkungan menurut Zakiyah Daradjat dalam arti yang luas mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam. Dengan kata lain lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Ia adalah seluruh yang ada, baik manusia atau benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, kejadian-kejadian atau hal-hal yang mempunyai hubungan dengan manusia. Sejauh manakah manusia berinteraksi dengan lingkungan, sejauh itulah terbuka peluang masuknya pengaruh pendidikan kepadanya.[39]

Sartain (Seorang ahli psikologi Amerika) menyebutkan bahwa yang dimaksud lingkungan adalah semua kondisi dalam dunia ini yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku, pertumbuhan dan perkembangan manusia. Kemudian dia membagi lingkungan menjadi tiga bagian; lingkungan alam/luar (external environment), lingkungan dalam (internal environment) dan lingkungan sosial (social environment).[40]

1. Lingkungan luar adalah segala sesuatu yang ada dalam dunia ini dan bukan manusia seperti, tumbuh-tumbuhan, hewan, iklim, air dan sebagainya.

2. Lingkungan dalam adalah segala sesuatu yang ada dalam diri manusia dan mempengaruhi pertumbuhan fisiknya.

3. Lingkungan sosial adalah semua orang atau orang lain yang mempengaruhi manusia baik secara langsung atau tidak langsung.

Dari ketiga pembagian lingkungan di atas, maka lingkungan sosiallah yang mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan moral seseorang.

Aliran ini juga mendapat dukungan dari kaum behavioris, salah satu tokoh tulen behavioris Waston berkata : “Berilah saya sejumlah anak yang baik keadaan badannya dan situasi yang saya butuhkan, dan dari setiap orang anak, entah yang mana dapat saya jadikan dokter, seorang pedagang, seorang ahli hokum, atau jika memang dikehendaki, menjadi seorang pengemis atau seorang pencuri”.[41]

Secara eksplisit aliran emperisme menekankan betapa peran lingkungan dan pengalaman pendidikan sangat besar dalam mengubah atau mengembangkan manusia dan setiap anak bisa dibentuk sesuai dengan kepentingan dan arahan lingkungan. Pendapat kaum emperis yang optimis ini, di dalam dunia pendidikan dikenal dengan “optimisme pedagogis”.

Doktrin mendasar yang masyhur dalam aliran emperisme adalah teori “tabula rasa”, sebuah istilah latin yang berarti batu tulis kosong atau lembaran kosong (blank slate/blank tablet). Doktrin tabula rasa menekankan arti penting pengalaman, lingkungan dan pendidikan. Dalam arti perkembangan manusia tergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada pengaruhnya.[42]

Dalam hal ini, para penganut emperisme menganggap setiap anak lahir seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong, tak punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak menjadi apa anak kelak tergantung pada pengalaman/lingkungan yang mendidiknya.

Nabi Muhammad SAW : bersabda :

“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci, ibu dan bapaknya yang akan menentukan apakah anak tersebut akan menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi” (HR. Bukhari).[43]

Sukar untuk tidak menyakini bahwa lingkungan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap proses pembentukan manusia. Lingkungan akan menentukan prilaku dan moral manusia. Seorang anak yang tinggal dalam kondisi sosial masyarakat yang tidak teratur, kemampuan ekonomi di bawah rata-rata, lingkungan alam yang kumuh tanpa fasilitas-fasilitas umum yang memadai seperti sarana ibadah, sarana olah raga dan lain-lain, kondisi seperti itu akan menyuburkan pertumbuhan anak-anak nakal dan kurang bermoral. Untuk anak yang hidup dalam lingkungan ini, maka tidak cukup alasan untuk tidak menjadi brutal, apalagi jika orang tuanya kurang peduli dengan perkembangan anaknya.

Bagi aliran ini, pembentukan moral dan prilaku manusia akan sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Lingkungan yang baik (bermoral) tempat di mana anak-anak melakukan interaksi akan terpengaruh pada terciptana anak-anak yang berprilaku dan bermoral baik. Demikian pula lingkungan yang tidak baik akan menciptakan anak-anak yang bermoral tidak baik.

  1. Aliran Konvergensi

Munculnya aliran konvergensi merupakan respon terhadap pertentangan antara dua aliran ekstrim nativisme dan emperisme. Konvergensi berusaha untuk mengkompromikan arti penting aspek keturunan pada satu sisi dan aspek lingkungan di sisi yang lain sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia. Tokoh aliran ini, Louis William Sterm, seorang psikolog Jerman (1871-1938).

Dalam menetapkan faktor yang mempengaruhi manusia, aliran ini tidak hanya berpegang pada lingkungan, pengalaman/pendidikan saja, tetapi juga mempercayai faktor keturunan. Konvergensi memposisikan pembawaan dan lingkungan dalam posisi yang sama-sama penting. Pembawaan tidak mempunyai arti apa-apa terhadap perkembangan manusia jika tidak didukung oleh kondisi lingkungan yang memadai. Demikian pula lingkungan dan pengalaman tanpa adanya bakat pembawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia sesuai dengan harapan. Bagi aliran konvengensi, keturunan dan lingkungan sama-sama mempunyai peran dan andil dalam perkembangan manusia.

Tentang pengaruh keturunan dan lingkungan terhadap perkembangan manusia, Omar al-Toumy al-Syabany menegaskan :

Kita menyakini bahwa manusia (insane) dengan seluruh perwatakannya (karakter) dan pertumbuhannya adalah pencapaian dan faktor; yaitu warisan dan lingkungan. Dan faktor ini mempengaruhi manusia dan berinteraksi dengannya sejak hari pertama ia menjdi embrio hingga hayat. Oleh karena kuat dan bercampur aduknya peranan kedua faktor ini, maka sukar sekali untuk menunjukkan perkembangan tubuh atau tingkah laku (moralitas) secara pasti kepada salah satu dari dua faktor.[44]

Keterkaitan peran antara keturunan dan lingkungan dapat diumpamakan dengan menyemai benih tanaman yang bagus, jika ingin menghasilkan tanaman yang bagus, maka harus disemai di lahan yang subur. Seandainya benih tersebut disemai di tanah yang tidak cocok atau tandus, maka hasilnya tidak akan sesuai harapan. Demikian pula sebaliknya sesubur apapun tanahnya, jika benih yang ditanam tidak bagus maka hasilnya pun tentu kurang bagus.

Dalam hal ini yang berbeda mungkin tingkat dominasi tingkat pengaruh keturunan dan lingkungan terhadap pertumbuhan manusia. Pengaruh kedua faktor ini juga berbeda melihat umur dan fase pertumbuhan yang dilalui. Faktor keturunan umumnya lebih kuat pengaruhnya pada tingkat bayi. Faktor keturunan berkembang sebelum terjadinya interaksi sosial serta adanya pengalaman-pengalaman baru. Sebaliknya faktor lingkungan lebih besar pengaruhnya apabila manusia meningkat dewasa. Karena waktu itu ruang gerak untuk melakukan interaksi dengan lingkungan sosial dan pengalaman-pengalaman hidup semakin luas terbuka.

Dengan adanya berbagai pandangan tentang perubahan moralitas, penulis cenderung sepakat dengan pandangan yang terakhir (aliran konvergensi), karena dalam keyakinan penulis antara faktor pembawaan dan faktor lingkungan (pendidikan) sama-sama mempunyai peran dalam membentuk moralitas seseorang.

Al-Ghazali mengatakan, dalam diri manusia memang ada potensi-potensi yang mengarahkan manusia untuk berbuat jahat, seperti sifat syahwah (ambisi) dan ghadlob (emosi). Tetapi potensi jahat itu bisa diredam dengan cara melakukan perlawanan terhadapnya (mujahadah) dan melalui proses latihan yang diterima secara terus menerus (riyadlah).[45]

Secara alami manusia dalam dirinya mempunyai potensi karakter yang berkecenderungan baik dan buruk, tetapi dengan pendidikan atau melalui nasehat-nasehat yang mulia cepat atau lambat karakter tersebut pasti mengalami perubahan. Manusia yang secara alami buruk bisa berubah menjadi baik melalui pendidikan atau pergaulan dengan orang-orang yang baik dan shaleh. Ibnu maskawih kemudian mengutip perkataan Aristoteles dalam Book on ethie dan book on categories, bahwa orang yang buruk akan menjadi baik melalui pendidikan.[46]

E. Tingkat Akseptabilitas Perubahan Moralitas

Disadari bahwa karakter (akhlak/moral) manusia bersifat fleksibel atau luwes serta bisa diubah atau dibentuk. Moralitas manusia suatu saat bisa baik tetapi pada saat yang lain sebaliknya menjadi jahat. Perubahan ini tergantung bagaimana proses interaksi antara potensi dan sifat alami yang dimiliki manusia dengan kndisi lingkungannya sosial budaya, pendidikan dan alam.

Tingkat akseptabilitas atau penerimaan manusia terhadap proses peruahan moral juga berbeda. Hal ini karena kondisi moralitas masing-masing pada saat akan diubah atau dibentuk juga berbeda. Manusia dengan tingkat kerusakan moralnya yang sudah parah atau sudah menginternal, akan berbeda tingkat kesulitannya dalam mengubahnya bila dibandingkan dengan kondisi moralitas yang tidak terlalu rusak.

Di samping itu faktor pembawaan (tabi’at) yang diwarisi sejak manusia lahir juga menentukan tingkat penerimaan dalam perubahan moral. Perbedaan penerimaan perubahan ini dapat kita saksikan khususnya pada anak-anak. Anak-anak biasanya tidak menutup-nutupi dengan sengaja dan sadar karakter yang dimilikinya. Kita dapat menyaksikan bagaimana tingkat penerimaan mereka terhadap perbaikan karakter, Ada sebagian anak yang dengan mudah menerima proses perubahan atau perbaikan tetapi sering kita saksikan pula banyak anak yang enggan menerima perbaikan karakter itu. Sikap mereka ada yang keras dan ada yang malu-malu”[47]

Terhadap perbedaan tingkat penerimaan perbaikan moral/akhlak, al-Ghazali membagi manusia dalam bebeapa kelompok kriteria :

  1. Seorang yang sepenuhnya lugu atau polos yang tidak mampu membedakan antara yang hak dan yang bathil atau antara yang baik dan yang buruk, tetap dalam keadaan fitrah seperti ketika dilahirkan, dan dalam keadan kosong dari segala kepercayaan. Demikian pula ambisinya belum begitu kuat untuk mendorongnya mengikuti berbagai kesenangan hidup manusiwi. Orang seperti ini sangat cepat dalam proses perbaikan moralnya. Orang seperti ini hanya membutuhkan pembimbing untuk melakukan mujahadah. Orang seperti ini akan mengalami perbaikan moral dengan cepat.
  2. Orang secara pasti telah mengetahui sesuatu yang buruk tetapi ia belum terbiasa mengerjakan perbuatan baik bahkan ia cenderung mengikuti hawa nafsunya melakukan perbuatan-perbuatan buruk dari pada mengikuti pertimbangan akal sehat untuk melakukan perbuatan baik. Perbaikan moral/akhlak seperti ini tentu tingkat kesukarannya melebihi dari tipe orang sebelumnya. Sebab usaha yang harus dilakukan bersifat ganda, selain mencabut akar-akar kebiasaan buruknya, orang tersebut secara seius dan konsisten melakukan latihan-latihan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Jika hal ini dilakukan sungguh-sungguh, maka perbaikan moral akan terlaksana.
  3. Orang yang berkeyakinan bahwa perangai-perangai buruk merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dan perbuatan itu dianggap aik dan menguntungkan. Orang tersebut tumbuh dengan keyakinan seperti itu. Terhadap kriteria orang seperti ini, maka sungguh merupakan usaha yang sangat berat dan jarang sekali yang berhasil memperbaikinya. Karena terlalu banyak penyebab kesesatan jiwanya.
  4. Seseorang yang diliputi pikiran-pikiran buruk, seiring dengan pertumbuhan dirinya, dan terdidik dalam pengalaman (lingkungan) yang buruk. Sehingga ketinggian derajatnya diukur dengan seberapa banyak perbuatan-perbuatan jahat yang ia lakukan dan bahkan dengan banyaknya jiwa-jiwa manusia yang ia korbankan. Orang seperti ini berada dalam tingkatan orang yang paling sulit.untuk diobat. Usaha memperbaiki moralitas orang ini bisa dikatakan sebuah usaha yang sia-sia.[48]

Klasifikasi kriteria moralitas manusia yang disebutkan di atas, mungkin terjadi dalam realitas kehidupan siswa. Dan itu menjadi bahan pertimbangan bagi seluruh tenaga pendidik di Pondok Pesantren Global Darul Hidayah.


[1] Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), h. 42

[2] Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan : Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa, (Yogyakarta, 1967) h. 42

[3] M. Natsir, Capita Selecta, (Bandung : Gravenhage, 1954), h. 87

[4] A.D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Alma’arif, 1980), cet ke-4, h. 19

[5] Jamil Sahliba, Kamus Filsafat, (Dar al-Kitab al-Lubnani, 1978), Jilid I, h 260.

[6] Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 428

[7] Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung :Diponegoro, 1988), cet. Ke-1, h. 28-29

[8] Departemen Agama RI, Op.Cit h. 413

[9] Muclich Shabir, Op. cit, h. 89

[10] Ibid h. 62

[11] Yusuf al-Qurdlowi, Op.Cit, h. 39

[12] Hasan Langgulung, Bebeapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung : al-Ma’arif, 1980), h. 94

[13] Endang Saefuddin Anshori, POkok-pokok Pikiran Tentang Islam, (Jakarta : Usaha Interprises, 1976), cet ke-1 h. 85

[14] Drs. Hary Noer Aly, MA., Op.Cit, h. 52-54

[15] Ahmad D. Marimba, Op.Cit, h. 45-46.

[16] Hasan Langgulung, Op.Cit, h. 178

[17] Omar M. al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), cet Ke-1 h. 403

[18] Ahmad Tafsir, Op.Cit, h. 34

[19] Ahmad D. Mariba, Op.Cit h. 19

[20] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1968), Cet. Ke-1 h. 33

[21] M. Athiyah al-Abrasy, Op.Cit, h. 15

[22] Mushlih Shabir, Op.Cit h. 124

[23] Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993), Cet. Ke-3 h. 2

[24] M. Quthub, Sistem Pendidikan Islam, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1984), Cet, Ke-1 h. 27

[25] Omar M al-Toumy, al-Syabany, Op.Cit, h. 399

[26] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op. Cit, h. 192

[27] Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT : BPK Gunung Mulia, 1999) Cet : Ke-12, h. 38

[28] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit, h. 195

[29] Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia, (Bandung : Kharisma, 1994) Cet. Ke-1, h 31

[30] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung : Mizan, 1994) Cet Ke-2, h. 56

[31] Muslim Nurdin, et.al., Moral Islam dan Kognisi Islam, (Bandung : CV. Alabeta, 1993) Cet. Ke-1, h. 205

[32] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 1995) Cet ke-1, h. 42-43

[33] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 1988) Cet. Ke-11, h. 59

[34] Ibid, h. 64

[35] Ibid h. 66

[36] Omar M. al-Toumy al-Syabany, Op.Cit, h. 138-139

[37] Ibid, h. 138

[38] Ngalim Purwanto, Op.Cit, h. 59

[39] Muhibbin Syah, Op.Cit, h. 43

[40] Zakiyah Deraradjat, et al Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), Cet. Ke-2, h 63-64.

[41] Ngalim Purwanto, Op.Cit, h. 72-73

[42] Ibid h. 59

[43] Muslich Shabir, Op.Cit h. 261

[44] Muhibbin Syah, Op.Cit, h. 44

[45] Al-Syaibany, Op.Cit h. 136

[46] Al-Ghazali, OP.Cit, h. 41-42

[47] Ibn Miskawaih, Op.Cit, h. 57-58

[48] Al-Ghazali, Op.Cit, h. 41-43



[1] Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), h. 42

No comments:

Post a Comment