26 July, 2009

Indahnya Berbagi

INDAHNYA BERBAGI

Usai kuliah, Deni bergegas pulang. Bukannya ia sibuk atau ada janji tapi memang begitulah kebiasaannya. Di kampus ia bukan seorang aktifis yang sibuk sana sini berkoar-koar menyampaikan aspirasinya sebagai wujud dari sikap kritis dan peduli terhadap nasib bangsanya. Ia juga bukan seorang pekerja paruh waktu yang bekerja sendiri mencari uang demi sesuap nasi. Ia seorang mahasiswa yang benar-benar mahasiswa.

Kegiatan ekstra yang ia ikuti hanya UKM Orkestra, sebuah organisasi yang bergelut di bidang musik. Itu pun dianggapnya hanya sebagai formalitas supaya pantas menyandang gelar mahasiswa. Di sana ia hanya titip nama. Ia tidak ingin orang lain menganggap dirinya sebagai mahasiswa tanpa kegiatan ekstra. Oleh karena itu tujuan ia masuk UKM kurang tertata, seolah tidak ada niat didalam hatinya. Dampaknya dapat tercermin dalam sikapnya. Jarang ia terlihat berkumpul bersama anggotanya. Bukannya sibuk atau ada janji dengan orang lain tapi memang begitulah dia, tidak pernah serius menjalani suatu kegiatan. Apalagi organisasi yang baginya belum jelas juntrungannya.

Dia masih ingat ketika kali pertama masuk UKM tersebut. “UKM Orkestra berbeda dengan UKM lainnya. Di sini komitmen teman-teman sangat dituntut kesadarannya. Jika satu orang saja tidak ikut latihan, maka akibatnya akan berdampak pada yang lainnya. Apa yang kalian lakukan sangat mempengaruhi yang lain karena kita itu nantinya adalah sebuah tim. Dan tim itulah yang membuat UKM ini menjadi satu kesatuan utuh. Ibarat kata sebuah tubuh, jika satu bagian anggota tubuh merasa sakit maka semuanya akan merasakan sakitnya,” begitulah penjelasan panitia saat mewawancarai Deni. Tanpa merasa keberatan Deni menyanggupinya. Tapi tidak tahu apakah kesanggupannya itu memang benar-benar sanggup atau karena ketidak tahuannya beban yang terkandung di dalam sebuah komitmen.

Sering berjalannya waktu terjawablah kalau kesanggupan yang ia lontarkan itu semu. Sampai sekarang kata-katanya itu masih bagaikan angin lalu, memberikan kenyamanan sesaat kemudian hilang tanpa bekas. Apa yang diucapkan tdak terealisasi dalam sikap dan perbuatan. Awalnya ia rajin mengikuti latihan, lama kelamaan wajahnya mulai jarang kelihatan. Hingga akhirnya ia sama sekali seperti lenyap ditelan bumi.

Dan hari ini ketika hendak pulang Deni bertemu dengan Mas Afan koordinator UKM Orkestra. Ia sama sekali tidak menyangka jika akan bertemu dengan seniornya. Sebenarnya ia tidak ingin lagi bertemu dengan Mas Afan. Ia merasa malu karena lama tidak ikut latihan seperti dulu. Tapi karena Mas Afan sudah terlanjur melihatnya lebih dulu, mau tidak mau ia harus menyapanya. Ia tidak enak jika harus menghindar berbalik arah dan pura-pura tidak melihatnya.

“Eh Den apa kabar? Kamu kok jarang kelihatan sekarang, tidak ikut latihan? Sibuk ya?” sapa Mas Afan ramah. Mungkin hanya Mas Afan yang masih mau menyapanya seperti itu. Sesama anggota lain tidak mungkin seperti itu apalagi karakter Deni yang pendiam.

Deni bingung harus mengatakan apa. Dia kikuk dengan sapaan ramah dari Mas Afan. Sepertinya ia merasa masih diperhatikan. Dia tidak memiliki alasan yang bagus untuk diutarakan. Selama ini memang tidak ada kegiatan lain yang menghalanginya untuk ikut latihan.

“Mmmm… saya lupa jadwalnya Mas,” Deni terpaksa berbohong. Sebenarnya dia tahu kapan jadwal latihannya. Namun dia tidak tahu lagi harus berkata apa. Pikirannya buntu. Hanya itu kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya.

“Lho kok bisa lupa, sudah dikasih jadwalnya kan?”

“Jadwalnya hilang Mas...” Deni ragu mengatakannya. Pertanyaan Mas Afan memaksanya harus berbohong untuk kedua kalinya. Sebenarnya Jadwal itu masih ada dan tersimpan di dalam tas diantara tumpukan bukunya. Sesaat Mas Afan memandangi tasnya. Deni menjadi panik, dia khawatir jika Mas Afan akan menggeledah tasnya. Jika itu dilakukan maka kebohongannya akan terbongkar. Ia berusaha menenangkan diri. Tidak mungkin Mas afan akan menggeledah tasnya. Kekhawatiran yang terlalu berlebihan, pikirnya. Dia berusaha tenang.

Mas Afan lalu mengernyitkan dahi. Ia sendiri merasa tidak percaya dengan jawaban Deni. Dari nada suaranya ia bisa merasakan ada keraguan pada ucapan Deni. Tapi ia tidak mau segera mengambil keseimpualan mengenai spekulasinya itu. Ia tidak boleh berburuk sangka pada anggotanya karena itu bisa saja menjadi awal perpecahan dalam anggotanya.

“Oh begitu… ya sudah tidak masalah. Nanti saya kasih jadwal lagi.” kata Mas Afan pada akhirnya. Ia berusaha mempercayai perkataan Deni, lagipula tidak ada alasan untuk tidak percaya. Deni agak sedikit lega. “Ya sudah begini saja, nanti sore ada latihan. Kalau tidak ada kesibukan lain tolong datang ya dan mengenai jadwalnya mungkin nanti aku kasih waktu di tempat latihan, kebetulan kali ini aku tidak membawa jadwalnya. Nanti bisa berangkat kan?”

“Ya, nanti akan saya usahakan, kebetulan nanti saya tidak ada kegiatan lain,” kali ini Deni tidak mau berbohong lagi. Ia hanya menginginkan percakapannya dengan Mas Afan cepat selesai. Ia tidak ingin lagi mendapatkan pertanyaan yang bisa menyebabkan kebohongannya terbongkar.

“Ya sudah, sampai ketemu nanti ya, saya tunggu lho!”

“Ya!”

Deni bergegas pulang. Ia tidak tahu apakah nanti akan berangkat atau tidak. Dalam hatinya ia ingin berangkat. Tapi ada sesuatu yang menghalanginya dan sesuatu itu ada dalam dirinya sendiri. Sebenarnya Deni merasa malu jika bertemu dengan mereka sesama anggota, dia tidak pernah berangkat. Selain itu apakah teman-temannya masih menerimanya sebagai bagian dari anggotanya. Memang Mas Afan selaku koordinator masih menganggap Deni sebagai anggotanya. Tapi yang menjadi masalah adalah teman-teman yang jumlahnya mendominasi. Setinggi apapun kedudukan yang disandang seseorang, akan kalah dengan jumlah yang lebih banyak.

Sementara itu sudah lama Deni tidak ikut latihan bersama mereka. Ia pasti sudah banyak ketinggalan materi latihan. Sampai di rumah ia masih belum bisa menentukan keputusan, ia ragu. Dalam hatinya bergejolak antara rasa malu pada teman-teman dengan keinginannya untuk memperbaiki kesalahan dimasa lalu. Sebenarnya niat untuk ikut latihan masih ada. Namun terkadang niat itu terhalang-halangi oleh pikiran negatif yang selalu membayanginya. Tapi ia kembali teringat janjinya pada Mas Afan tadi bahwa dia akan datang. Ia tidak ingin Mas Afan terus menunggu kedatangannya, sementara ia tidak tahu nomor ponselnya Mas Afan seandainya tidak bisa datang. Atas pertimbangan tersebut akhirnya Deni memutuskan untuk berangkat.

“Eh Deni mari masuk, teman-teman sudah pada nunggu,” kata Mas Afan begitu melihat Deni berada di depan pintu masuk.

“Eh Den apa kabar, lama sekali tidak kelihatan,” kata Zein yang juga merupakan anggota Orkestra. Zein adalah teman Deni yang paling akrab.

“Baik… eh latihannya sudah sampai mana?“

“Sudah… ikuti saja nanti kamu juga pasti langsung bisa. Tidak sulit kok. Nih kamu pegang ini,” kata Zein seraya menyerahkan salah satu jenis alat musik.

“Oke teman-teman kita mulai saja latihannya. Oya Deni sudah dapat alat musik belum?” Mas Afan memberi komando.

“Sudah Mas”

“Bagus, nanti kamu nadanya mengikuti Zein ya”

“Ya akan saya usahakan.”

Mulailah latihan pertama Deni setelah sekian lama tidak ikut berproses dalam latihan. Lagu pertama bisa dia ikuti dengan baik. Kebetulan ia masih ingat ketika pertama kali latihan. Tapi untuk lagu berikutnya ia tidak bisa mengikutinya dengan baik. Banyak kesalahan yang ia lakukan. Akibatnya lagu yang dimainkan menjadi lebih mirip dengan lagunya pengamen jalanan yang dimainkan dengan nada sumbang dan koor. Walaupun demikian latihan tersebut terus berjalan sampai lagunya habis. Usai latihan Deni meminta maaf pada teman-teman. Ia merasa tidak enak hati pada mereka. Gara-gara ulahnya latihan mereka jadi kacau. Beruntung karena teman-teman tidak ada yang memarahinya. Mungkin ada satu dua orang tapi kemarahannya tidak dimunculkan kepermukaan, hanya disimpan dalam hati. Hanya memelototinya sengit atau desahan napas panjang sebagai wujud kekesalan.

“Tidak apa-apa, kesalahan sedikit itu kan wajar. Namanya saja baru latihan,” kata sang Mas Afan berusaha mengurangi rasa bersalahnya. “Oke kita teruskan kelagu berikutnya,” lanjut Mas Afan. Kali ini Deni tidak membunyikan alat musiknya. Ia hanya memperhatikan dan mempelajari teknik-tekniknya. Hingga akhirnya latihan itu selesai.

“Oke latihan kali ini cukup sekian. Besok kita lanjutkan kembali. Terima kasih atas kedatangannya. Jangan lupa besok datang tepat waktu ya.”

Semuanya bubar, termasuk Deni yang keluar belakangan.

“Oya Den terima kasih sudah datang. Besok datang lagi ya,”

Deni hanya mengangguk perlahan. Dia tidak begitu memperhatikan perkataan Mas Afan ketika pamit pergi duluan. Pikirannya masih tertuju pada proses latihan tadi. Kesalahan-kesalahan yang kerap ia lakukan membuatnya merasa tidak enak dengan teman-teman yang lain. Ia ingin menebus kesalahan tersebut, tapi ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Deni pulang dengan berbagai pertanyaan berkecamuk. Ia berpikir keras bagaimana mencari jalan keluarnya. Tuhan andaikata aku diberi kesempatan mengubahnya, tentu aku akan melakukannya.

Latihan berikutnya Deni kembali tidak hadir.

“Zein, kemana Deni? Kok tidak ikut latihan,” tanya Mas Afan.

“Saya kurang tahu Mas, dia tidak pamit pada saya jika hari ini tidak mau berangkat, mungkin dia ada acara lain.”

“Kamu tahu kosnya dimana?”

“Ya saya tahu Mas, kalau Mas mau kesana nanti saya antarkan.”

Usai latihan Mas Afan mengunjungi kost Deni. Deni terkejut bukan main malihat Mas Afan berada di depan pintu menyapanya.

“Apa kabar Den? Kok tadi tidak berangkat, sibuk ya?”

“Tidak kok,” jawab Deni tidak bisa berbohong. Ia benar-benar merasa malu. Sama sekali tidak menyangka kalau Mas Afan akan datang ke kostnya.

“Mas Afan habis dari mana?” Deni mencoba berbasa-basi dengan melontarkan beberapa pertanyaan. Tapi pertanyaan itu malah membuatnya semakin kikuk dan terlihat bodoh.

“Oh, tadi habis latihan lalu karena kamu tadi tidak berangkat, aku menyempatkan diri mampir ketempatmu. Aku pikir kamu sakit atau apa,”

“Saya tidak sakit kok, saya baik-baik saja.”

“Oh syukur kalau begitu,”

“Dari mana Mas Afan tahu kost saya?”

“Tadi aku tanya sama Zein, katanya dia tahu kostmu. Jadi aku suruh dia menunjukkan tempatnya. Tapitadi dia sudah pamit dulu katanya ada keperluan. Eh ngomong-ngomong bagaimana ini kok tidak berangkat. Berangkatlah! Biar ramai, lebih banyak yang hadir kan lebih bagus. Jangan malu-malu.”

“Sebenarnya saya merasa tidak enak pada teman-teman. Saya sering membuat kesalahan. Saya takut hanya akan menjadi pengganggu saja,”

“Lupakan peraaan itu, buang jauh-jauh. Kesalahan itu wajar, seriap orang pasti pernah melakukannya. Jika kamu benar-benar serius latihan, kamu pun akan bisa seperti mereka. Kuncinya hanya satu, terus dan terus berusaha. Bakat bukanlah yang terpenting. Keberhasilan seseorang tidak ditentukan bakat, bakat hanya andil satu persen dalam keberhasilan dan sembilan puluh sembilan persen lainnya adalah usaha dan kerja keras,” kata-kata Mas Afan membuat Deni tersentil. Dalam hati Deni membenarkan perkataan Mas Afan. Hanya sedikit orang sukses yang dimulai dari bakat sementara banyak sekali orang sukses yang diraihnya melalui kerja keras. Deni seolah-olah telah mendapatkan angin segar. Dia menjadi termotivasi dan berikrar dalam hati untuk berubah.

“Sebenarnya begini Den,” lanjutnya. “Tadi kami mendapatkan undangan pentas di sebuah tempat dan kami sudah menyanggupinya. Undangan itu masih dua minggu lagi. Siapa saja yang berangkat sudah ditetapkan. Hanya saja masalahnya satu orang yang telah kami tunjuk tidak bisa ikut pentas,”

“Kalau boleh tahu siapa namanya?”

“Dia Zein. Pada hari itu tidak bisa ikut pentas karena ada suatu hal yang sangat penting yang tidak bisa ia tinggalkan. Aku sudah berusaha mencari penggantinya namun tidak ada yang bersedia. Satu-satunya harapan hanya tinggal kamu. Aku harap kamu mau menggantikan Zein.”

“Tapi saya kan Mas tahu sendiri bahwa saya belum bisa lagunya.”

“Oleh karena itu dalam sisa waktu dua minggu ini aku ingin kamu ikut latihan secara intens. Aku yakin kamu pasti bisa memperbaiki kesalahanmu. Hanya saja aku minta kesediaan dari kamu. Aku harap kamu mau menerima tawaranku.”

Deni terdiam. Dia berpikir mungkin inilah kesempatan baginya untuk memperbaiki kesalahannya selama ini. Ia ingin bermanfaat bagi organisasinya. Tapi apa kata teman-teman nanti, mau latihan jika hanya akan kan pentas. Kebimbangan mulai muncul dalam hatinya. Ah, biar saja yang penting kan niatku ingin membantu. Akhirnya ia bersedia menerima tawaran Mas Afan.

“Baiklah saya akan berusaha. Saya akan bersungguh-sungguh pada latihan nanti. Mudah-mudahan saya tidak ada halangan yang begitu mendesak.”

“Nah begitu dong. Terima kasih banget kamu telah membantuku. Kalau begitu aku pamit dulu. Jangan lupa besok datang latihan ya.”

“Ya, saya akan usahakan.”

Begitulah, dua minggu menjelang pentas Deni giat latihan. Segala waktunya kini ia curahkan untuk latihan itu. Ia benar-benar bekerja keras. Tidak jarang jika ia sering pulang sampai larut malam. Keinginannya untuk berubah tidak menyurutkan semangatnya untuk terus berlatih. Sementara itu Zein tetap datang untuk ikut latihan bersama meskipun nantinya ia tidak ikut pentas. Ia banyak membantu Deni dalam proses latihan. Deni merasa sangat tertolong oleh kedatangan Zein. Dan Zein dengan senang hati mau memberikan arahan pada Deni.

Seperti yang Mas Afan ucapkan, Deni tetap berusaha dan terus berusaha. Hingga menjelang batas waktu tiba, ia benar-benar telah siap. Pentas pun berjalan dengan sukses. Usai pentas Deni mengucapkan banyak terima kasih pada teman-teman khususnya Mas Afan karena telah memberinya kesempatan untuk berubah. Mulai hari ini dia berjanji akan selalu rajin mengikuti latihan.

-oOo­-

Hari sudah sore. Mentari mulai pulang keperaduannya. Mega merah sedikit demi sedikit menghiasi langit di ufuk barat. Kala itu Zein baru saja sampai di kampung halamannya. Ia disambut bahagia sekaligus heran oleh penghuni rumah. Ada semacam pikiran yang mengganjal dibenak kedua orang tuanya.

“Ada apa Zein, tumben belum waktunya pulang kok sudah pulang?” tanya Ayahnya mewakili seluruh keluarga. Zein mencium tangan Bapak dan Ibunya. Sudah enjadi kebiasaan baginya ketika baru pulang atau mau pergi.

“Tidak ada apa-apa kok Pak?” tukas Zein datar.

“Apa uangnya sudah habis?” kali ini Ibunya yang bertanya.

“Masih cukup. Zein pulang bukan untuk minta uang kok.”

“Terus untuk apa? Ada apa sebenarnya?” naluri keibuannya masih penasaran dan khawatir telah terjadi apa-apa yang melibatkan anaknya.

“Tidak ada apa-apa, benar!!” Zein mencoba meyakinkan orang tuanya. “Zein hanya kangen sama Ibu dan Bapak. Selain itu Zein juga ingin memberi kesempatan kepada orang lain...”

“Maksudmu?” tanya kedua orang tuanya koor.

Zein tidak menjawabnya. Dia hanya tersenyum penuh arti.

“Sudahlah Pak, Bu. Zein capek, Zein ingin istirahat. Zein kangen ingin merasakan tidur di rumah. Disini hawanya sejuk, suasananya tenang, tidak ada suara bising kendaraan.” Sebentar kemudian ia terlelap. Ia membiarkan orang tuanya mengerutkan dahi penuh keheranan.

Selesai

27 Februari 2008

Pukul : 09.26 WIB

Sapen, Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment