Si JUJUK
Pagi yang cerah. Udara segar masih bisa kurasakan masuk kedalam paru-paru, memberi kesejukan disetiap sudut ruangnya. Tetesan embun pagi terlihat masih menghiasi pucuk dedaunan. Daun-daun itu memancarkan cahaya berkilauan bak berlian karena sesekali tertimpa sinar mentari yang terbit dari balik bukit. Matahari bersinar malu-malu. Awan putih yang berarak sesekali menutupi sinarnya yang keemasan. Burung-burung telah lama beranjak dari sarangnya. Mereka berlomba-lomba berpetualang mencari makan demi kelangsungan hidupnya.
Pukul setengah tujuh tepat aku sudah sampai di depan pintu gerbang. Sekolah masih lengang. Hanya satu-dua anak terlihat lalu lalang. Pintu gerbang belum sempurna terbuka. Terlihat olehku seorang satpam mulai mengerjakan rutinitas hariannya. Ia mengenakan seragam dan sepatu kebesarannya yang sudah lusuh termakan waktu. Diseruputnya kopi hangat yang sudah disiapkan di luar pos jaganya. Kini ia sudah siap menjalankan tugasnya.
Aku melangkahkan kakiku masuk pintu gerbang. Ketika baru beberapa jengkal aku melangkah, dari arah belakang seseorang berteriak memanggilku. Aku kenal suara itu. Dan aku tetap meneruskan langkahku. Aku tidak memperdulikan teriakannya. Aku hanya tersenyum simpul ketika ia terus-menerus memanggilku.
“Kenapa tidak mau menungguku?” ujarnya setelah berada di sampingku. Nafasnya memburu karena berlari mengejarku.
“Kenapa harus menunggumu?”
“Kok malah balik bertanya. Aku kan yang tanya duluan, jawab dulu dong pertanyaanku.”
“Karena biasanya kamu cuma memanggil aku saja, tidak lebih dari itu.”
“Eh… apa iya?”
“Huuu… dasar nenek pikun.”
“He he he… Jangan marah gitu dong. Senyum, smile guys. Nah gitu dong kan cakep.”
Hrggh. Gemes aku dibuatnya. Aku jitak kepalanya. Dia mengaduh kesakitan. Dia mencoba membalasnya, namun aku berhasil mengelak. Aku merasa senang tatkala meliha marahnya menghiasi wajahnya yang bulat. Mukanya yang merah padam terlihat seperti daging panggang yang siap dimakan. Ingin tertawa rasanya tapi kutahan karena aku tidak ingin ia benar-benar marah. Ehm…
“Eh, kadang aku merasa heran deh dengan kamu,” aku mencoba bersikap serius. “Heran kenapa?”
“Ya heran aja. Kayaknya kamu tidak mempunyai perasaan sedih. Setiap hari kulihat wajahmu selalu ceria. Paling banter marah, itu pun tidak sungguh-sungguh. Kalau boleh tahu apa rahasianya?” tanyaku dengan nada serius.
“Enggak ada rahasia-rahasiaan. Emang aku dokumen penting pakai rahasia-rahasiaan segala. Memangnya tadi aku marahnya ke kamu bercanda ya?”
“Lho serius ya. Sory banget ya, pasti sakit ya jitakanku,” aku merasa bersalah karena telah menjitak seorang gadis.
“Jangan menangis begitu dong ntar wajahmu tambah jelek tuh. Lagian kata siapa aku tidak punya perasaan sedih. Memangnya aku malaikat?”
“Tapi aku jarang sekali melihat kamu bersedih, malah hampir tidak pernah, kamu selalu selalu senang, ceria seolah tidak memiliki beban apa-apa. Apa sih rahasianya?” aku mengulang lagi pertanyaanku.
“Sebenarnya aku tidak lebih bahagia dari kamu.”
“Eh… maksudnya?” tanyaku tidak mengerti.
Ia tidak segera menjawab. Ekspresi wajahnya berubah. Ada pias kesedihan terpancar pada bola matanya. Seelumnya aku belum pernah melihat pandangan mata seperti itu. Pandangan kehampaan seolah tidak memiliki tujuan apa-apa dalam hidupnya.
“Eh, aku dipanggil temanku tuh. Udah dulu ya,” lanjutnya kemudian. Ia bergegas pergi meninggalkanku. Beberapa menit kemudian lonceng berbunyi, menggema di setiap sudut sekolah seolah-olah menggiring para siswa agar segera masuk ke kelas.
Aku mencarinya di dalam kelas. Aku ingin menanyakan maksud perkataannya tadi. Tapi aku belum menemukan sosok gadis itu. Apa dia tidak mendengar bel masuk? Beberapa menit kemudian aku melihatnya masuk kelas. Dengan santai tanpa rasa bersalah sedikitpun ia melenggang menuju tempat duduknya. sang guru hanya geleng kepala melihat tingkah siswi yang satu ini. Jujuk namanya. Sebenarnya nama aslinya Siti Juwariyah, tapi teman-teman lebih suka memanggilnya Jujuk. Entah kenapa? Tapi yang pasti yang bersangkutan tidak keberatan dipanggil seperti itu. Sekilas dia adalah gadis biasa seperti teman lainnya. Tidak ada kelainan pada tubuhnya. Namun jauh dari itu sebenarnya dia orang sangat unik dan istimewa. Tingkah lakunya sangat berbeda dengan siswi lainnya. Anak perempuan biasanya pemalu. Lain halnya dengan Jujuk, ia orang yang penuh ekspresif, tidak pemalu dan suka berkata apa adanya.
Orang-orang yang belum mengenalnya mungkin akan menganggapnya sebagai orang yang memiliki kelainan jiwa. Itu karena tingkah lakunya yang berbeda dengan teman-teman lainnya. Padahal sebenarnya tidak. Ia sama dengan siswi lainnya. Meskipun terkadang ucapannya sering asal. Tapi itu masih dalam batas kewajaran. Ia masih tahu apa yang diucapkannya. Ia pun masih bisa berpikir dan mengerjakan soal seperti yang lainnya. Bahkan nilainya selalu berada di atas nilai rata-rata kelas.
Jujuk teman sekelasku. Saat pertama mengenalnya, tidak ada yang menyangka dia akan menjadi seperti sekarang ini. Dulu aku menganggapnya sama dengan siswi lainnya, suka berdandan, pemalu, manja, dan lain-lain. ternyata aku salah. Dia tipe anak penuh semangat, penuh percaya diri, dan pemberani. Tidak pernah aku mendengarnya mengeluh. Tidak pernah aku melihatnya minder atau merasa rendah diri. Tidak pernah pula aku mendengarnya menjerit ketakutan.
Jujuk pandai sekali bergaul sehingga teman-teman banyak yang menyukainya. Satu hal yang membuatku tidak bisa menjadi seperti dia adalah sikapnya yang popos dan berterus terang. Jika ia tidak suka pada sesuatu maka tetap dikatakannya tidak. Ia jujur pada diri sendiri. Sepertinya ia tidak mempunyai rasa malu atau sungkan sedikitpun. Sifat polosnya membuat tingkah lakunya terlihat seperti anak-anak sehingga tak satu orang pun berani menyakitinya. Teman-teman sangat menyukainya.
Gurunya juga menyukainya. Tidak jarang ia terlihat sedang bercanda dengan guru. Jika ada teman yang belum tahu mungkin akan menganggap Jujuk adalah anak kepala sekolah, sehingga ia berani berbuat seperti itu. Namun salah, Jujuk bukanlah anak kepala sekolah. Juga bukan anak seorang guru yang mengajar di sekolah itu. Jujuk adalah anak petani biasa. Aku sendiri pernah datang kerumahnya.
Bagi kami, teman sekelasnya, Jujuk adalah teman yang selalu membawa keceriaan. Tingkahnya selalu membuat kami tertawa, kelas pun selalu ramai karenanya. Kami kelas IPA. Biasanya selalu bersikap paling serius dari pada kelas lain. Entah itu diluar kelas ataupun di dalam kelas. Dari dulu, kelas IPA terkenal dengan anaknya yang paling pendiam dan paling tenang saat belajar di kelas. Namun untuk tahun ini sepertinya paradigma itu harus bergeser, karena tidak berlaku bagi kelas kami. Jujuk lah yang menjadi pionernya. Ada-ada saja ulahnya yang selalu membuat kami tertawa. Bahkan guru yang sedang mengajarpun ikut terbawa alur suasana ceria. Maka kalau ditanya siapa yang menjadi badut kelas, serentak teman-teman menunjuk kearah Jujuk. Namun teman-teman menyukainya. Sang guru pun salut pada rasa percaya diri yang dimilikinya. Karena sifatnya itulah terkadang guru merasa tidak tega memarahinya.
“Nggak apa-apa, biar pikiran jadi fresh. Biar kalian tidak stress terus, saya maklum kok. Anak IPA biasanya rawan stress,” tukas guru matematika pada kami.
Dari arah belakan Jujuk menimpali “Iya kami juga tiddak mau mati karena stress memikirkan mata pelajaran mati-matian bapak,” pernyataannya itu diiringi tawa seisi kelas.
-oOo-
Pagi yang cerah seperti kemarin. Udara segar masih bisa kurasakan masuk kedalam paru-paru, memberi kesejukan disetiap sudut ruangnya. Matahari mulai terbit dari balik bukit. Ia bersinar malu-malu. Awan putih yang berarak sesekali menutupinya.
Seperti biasa pukul setengah tujuh aku sudah sampai di depan pintu gerbang. Sekolah masih lengang. Hanya satu-dua anak terlihat lalu lalang. Hanya saja kali ini tidak ada yang memanggilku. Kemana dia? Aku mencarinya, tapi tidak ada. Mungkin belum datang. Lonceng tua kembali memerintahkan seluruh siswanya masuk. Di dalam kelas aku masih belum juga melihatnya. Bisa dipastikan dia tidak masuk kelas kali ini. Kelas menjadi tenang. Suasana hening seperti kuburan, semua orang bagaikan mayat. Hanya terdengar goresan kapur beradu dengan papan tulis dan sedikit suara yang keluar dari sang mulut guru. Hari itu pelajaran di kelas dilalui tanpa sedikitpun ekspresi. Semua orang seperti kehilangan keceriaannya.
Keesokan harinya pagi yang cerah seperti biasa. Udara segar masih bisa kurasakan masuk kedalam paru-paru, memberi kesejukan disetiap sudut ruangnya. Matahari mulai terbit dari balik bukit. Ia bersinar malu-malu. Awan putih yang berarak sesekali menutupinya.
Seperti biasa pukul setengah tujuh aku sudah sampai di depan pintu gerbang. Sekolah masih lengang. Hanya satu-dua anak terlihat lalu lalang. Hari ini dia tidak masuk lagi. Kelas kembali sunyi seperti kuburan. Tidak ada kicauan burung pagi itu. Matahari pun enggan bersinar. Ia bersembunyi dibalik awan mendung yang menggantung di langit. Sepertinya ia ikut kehilangan keceriaannya.
Sudah lima hari dia tidak kelihatan batang hidungnya. Kami sangat merindukannya. Rindu dengan keceriaannya, rindu dengan celotehannya, rindu dengan…. Akh… mengapa kami merasa begitu kehilangan dia. Keesokan harinya kami mendapat laporan bahwa Jujuk di rawat dirumah sakit. Kami selaku perwakilan kelas pergi menjenguknya.
Di rumah sakit, kami menanyakan ruangan tempat Jujuk dirawat. Seorang perawat lalu mengantarkan kami menuju ruangan ICU. Di ruangan serba putih itu kami menemukan jasad Jujuk tergolek lemah tak berdaya. Mukanya yang bulat terlihat seperti rembulan pucat pasi, putih tapi tidak bersinar. Tubuhnya dibantu selang yang terhubung dengan mesin disebelahnya. Ia tertidur. Menurut dokter ia terkena kanker otak. Kami terkejut mendengarnya. Dan yang lebih mengagetkan lagi ternyata penyakit itu sudah lama dideritanya. Kami semua mencemaskannya. Namun dokter menghibur kami dengan mengatakan bahwa kemungkinan masih bisa disembuhkan tetap ada. Dia menyuruh kami untuk selalu mendoakan kesembuhannya.
Satu jam sudak kami berada di samping Jujuk. Namun ia tidak mengetahui kehadiran kami, ia masih terlelap dengan mimpi-mimpinya. Kami tidak tahu kapan ia akan bangun dari mimpi-mimpinya. Sebelum pergi, kami mendoakannya agar ia segera sembuh dan dapat bercanda lagi seperti yang biasa ia lakukan sebelum sakit merenggut keceriaannya. Kami berdoa demi kesembuhannya. Namun aku merasa keceriaannya semakin menjauh. Aku merasa tawanya semakin hari terdengar semakin lirih bahkan menghilang seperti ditelan waktu. Dan setelah itu kami tidak pernah lagi melihatnya di dalam kelas. Tidak pernah lagi kami melihat keceriaannya. Tidak pernah lagi kami mendengar derai tawa renyahnya.
-oOo-
Selesai:
Selasa 07.09 WIB
Sapen, Yogyakarta
No comments:
Post a Comment