JANGAN PUTUS ASA
Ujian semester sudah usai. Itu artinya segala beban dan ketakutan telah sirna. Tidak ada lagi yang susah-susah pergi keperpustakaan dan mengantri hanya sekedar untuk mendapatkan buku pinjaman. Tidak ada lagi orang yang pusing gara-gara belum mendapatkan bahan untuk ujian. Perpustakaan kembali sepi, tak ada lagi pengunjung yang membludak. Hanya beberapa orang saja yang terlihat lalu lalang karena begitu rajin dan semangatnya mencari ilmu. Warnet pun kembali sepi dari muka mahasiswa. Yang terlihat hanya orang dewasa yang memiliki kepentingan dengan dunia maya. Walaupun ada mahasiswa yang terlihat mangkal di warnet, itu pun bukan untuk mencari bahan ujian. Kebanyakan mereka malah senang menghambur-hamburkan uang mereka di warnet hanya untuk chatting dengan orang yang tak dikenalnya atau mencari situs-situs porno yang dianggapnya bisa dgunakan untuk refreshing.
Selesainya ujian semester bagiku bukan berarti selesai sudah segala beban dan persoalan. Justru selesainya ujian adalah kunci yang membuka masalah dan kesulitan lain yang lebih berat. Liburan bukanlah sarana melepas lelah dan menghilangkan segala masalah seperti layaknya teman-teman lang lain. Liburan bagiku adalah masa kritis, masa penantian dimana kecemasan selalu menghantui pikiran bawah sadarku. Aku kadang iri dengan teman-teman yang bisa menghabiskan liburan mereka dengan bersukaria. Liburan benar-benar dijadikan sebagai hari untuk berlibur menjernihkan kembali otak dan tenaga yang telah mereka habiskan untuk berperang mati-matian menjawab soal.
Liburan bagiku hanya sekedar nama saja. Kenyataannya aku sama sekali tidak bisa menikmatinya. Hari libur adalah kesempatanku untuk bekerja kerasa mencari uang untuk membiayai sekolahku. Keluargaku tergolong tidak mampu. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja kurang apalagi harus membiayai sekolah, bisa-bisa tidak makan selama satu minggu. Sebenarnya ayah melarangku untuk tidak usah sekolah. Ia menginginkanku membantu pekerjaannya di ladang. Namun dengan berat hati aku menolaknya. Aku ingin sekolah. Aku ingin belajar. Aku ingin menjadi orang besar seperti yang sering terlihat di TV. Pakaiannya bagus-bagus, punya mobil dan rumahnya sangat besar. Aku ingin seperti itu. Aku lantas membujuk dan merayu ayahku agar mengijinkanku bersekolah. Dan akhirnya ayah mengijinkannya namun dengan satu syarat bahwa aku harus membayar uang sekolah sendiri. Ia tidak sanggup jika harus menyekolahkanku. Spontan saja wajahku sumringah. Aku langsung menyanggupi syarat yang dikatakan ayah. Soal mencari biaya urusan nanti yang penting aku bisa masuk sekolah dan kemungkinan meraih cita-cita masih terbuka lebar.
Hingga kini aku masih bisa bisa masuk sekolah. Dan seperti janjiku pada ayah, aku harus membiayai uang sekolah sendiri. Awalnya memang terasa berat, namun lama kelamaan terbiasa juga. Mencari uang sendiri ternyata lebih menyenangkan dari pada terima nyadong dari orang tua. Bisa mendapatkan uang sendiri membuatku merasa punya harga diri. Meskipun aku dari keluarga miskin, aku tidak merasa rendah diri dengan teman-teman yang orang tuanya memiliki harta berlimpah ruah. Itu karena aku merasa lebih hebat dari mereka.
Kehidupan yang keras telah menempa jiwaku menjadi anak yang tahu tentang makna hidup. Bumi ini selalu berputar. Aku menganggap hidup ini sepert roda pedati, kadang kita berada di atas kadang juga berada di bawah. Kehidupanku sekarang ini ibarat kata aku sedang berada di bawah, sedangkan mereka yang kaya sedang berada di atas. Aku percaya suatu hari nanti aku akan berada di atas menggantikan mereka dan menurutku hal itu tinggal menunggu waktu. Mengenai kapan terjadinya aku sama sekali tidak tahu. Yang jelas aku harus berusaha dan terus berusaha. Aku pernah mendengarkan seorang ustad yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang mengubahnya. Artinya kehidupan suatu kaum tergantung dari usahanya sendiri dan Allah lah yang menentukan. Namun demikian Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha yang telah dilakukan umat-Nya. Segala usaha pasti akan diperhitungkan.
Hari ini hari pertamaku bekerja. Aku bekerja pada sebuah toko bangunan. Pemiliknya adalah orang Cina. Sebenarnya ia sudah memiliki beberapa orang pekerja. Namun karena salah seorang pekerjnya sedang pulang kampung, maka terpaksa harus dicarikan orang lain untuk menggantikannya sementara waktu. Dan kebetulan aku datang tepat pada waktunya sehingga akupun bisa bekerja di sini. Aku sungguh sangat beruntung karena masih bisa menemukan pekerjaan di zaman serba sulit seperti sekarang ini. Ibarat kata seperti menemukan jarum di tumpukan jerami. Suatu rezeki yang tidak disangka-sangka.
Sudah satu bulan aku bekerja di toko bangunan itu. Namu gaji yang aku dapatkan belumlah cukup untuk membayar biaya semester. Aku bingung harus mencari kekurangannya di mana lagi sementara waktu pembayaran sudah semakin dekat. Kalau dulu orang tua masih bsa membantu membayarkannya, sekarang aku harus benar-benar mengusahakannya sendiri. orang tua sudah angkat tangan. Mereka hanya bisa mendoakanku semoga bisa segera mendapatkan uang itu.
Siang malam aku berpikir keras bagaimana caranya bisa mendapatkan kekurangan uang tersebut. Segala usaha sepertinya sudah aku lakoni. Ikhtiar telah aku lakukan. Doa-doa tidak pernah lupa aku panjatkan. Sampai pecah bibir ini, sampai kering tenggorokan ini, sampai habis sudah air mata ini untuk bermunajat siang malam kepada-Mu. Memohon belas kasihan-Mu terhadap hamba yang lemah nan tak berdaya.
Sempat terpikir olehku untuk mencuri. Kala itu pikiranku sudah buntu. Aku merasa sudah tidak ada jalan lain selain itu. Suatu malam, aku menyatroni sebuah rumah mewah di ujung jalan kampungku. Aku memilih rumah itu karena aku menganggap rumah itu cocok dilihat dari berbagai pertimbangan. Rumah itu milik orang kaya yang kikir. Aku pikir, mencuri di rumah orang kikir itu tidak ada salahnya. Orang kikir itu patut diberi pelajaran agar ia sadar bahwa uang yang dimilikinya itu bukanlah seluruhnya miliknya. Tetapi di dalam hartanya itu terdapat hak bagi kaum miskin. Dan aku sebagai orang miskin berhak mengambil apa yang menjadi hakku.
Malam itu suasana begitu sepi. Ini adalah untuk pertama kalinya aku menjalankan aksiku sebagai seorang pencuri. Karena belum pernah mencuri, aku tidak tahu apa yang harus kukerjakan. Lalu aku mencoba masuk lewat pintu depan. Beruntung bagiku karena ternyata pintunya tidak terkunci. Aku langsung menuju kelantai atas dan mendatangi sebuah kamar yang berada dekat dengan tangga. Perlahan-lahan aku mendekati pintu kamar itu. Saaat itu jam dinding menunjukkan pukul 02.00. aaku hendak membuka pintu itu. Namun hal itu segera kuurungkan karena dari dalam kamar sayup-sayup kudengar isakan tangis seseorang yang memohon ampun kepada Allah. Aku sempat mendengar beberapa doanya:
“Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan dalam urusan kami, dan tetapkanlah pendirian kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum zalim, dan selamatkanlah kami dengan rahmat Engkau dar tipu daya orang-orang kafir. Sesungguhnya kami hanya mencoba menjalankan perintah-Mu, memberi sedekah kepada orang lain dengan tangan kanan tanpa tangan kiri mengetahuinya. Ya Tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami ondong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi Karunia.”
Seketika itu juga hatiku bergetar. Air mataku mengalir. Berulang kali aku mengucap istighfar dalam hati. Aku menangis karena dosa-dosaku. Aku menyadari bahwa apa yang telah aku lakukan ini tidak benar. aku telah putus asa dalam mencari rezki dari Allah. malam itu aku membatalkan aksiku. Tidak seharusnya sebagai seorang mukmin berputus asa dari rahmat Allah. Apapun yang terjadi Allah pasti sudah merencanakan sesuatu bagi umat-Nya.
Waktu pembayaran tinggal satu hari lagi. Aku mengoptimalkan usahaku, mencari uang pinjaman kesana kemari barang kali saja ada teman yang mau membantu meminjamkan uangnya padaku. Namun semuanya sia-sia, mereka tidak ada yang bisa meminjami uangnya. Aku hanya bisa pasrah. Segala daya upaya kelah kulakukan. Aku telah menjalankan tugasku, namun segala keputusan ada di tangan-Nya. Manusia hanyalah bisa berusaha.
Aku pergi kesuatu tempat yang sepi, yang bisa menenangkan pikiranku yang seedang kalut. Kubaca mushaf kecil yang selalu ku bawa kemana-mana. Itulah yang biasa aku lakukan juka pikiranku sedang kalut, menbaca Al Qur`an untuk mengingatnya. Karena sesungguhnya hanya dengan mengingat-Nya hati ini menjadi tenang. Indahnya hamparan pegunungan, semilirnya angin sepoi-sepoi, dan lantunan ayat-ayat yang kuucapkan membuat hatiku kembali tentram. Terlupakanlah semua permasalahanku, terlupakanlah beban-beban berat yang menindihku. Semuanya telah aku serahkan sepenuhnya kepada Allah. Aku sudah tidak sanggup lagi memikulnya. Hanya Allah yang mampu menyelesaikan permasalahanku, karena Dia lah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Hari menjelang sore. Langit sudah berhiaskan mega. Aku berjalan menyusuri jalan-jalan pertokoan. Aku kaget ketika mendengar seseorang berteriak maling. Seorang laki-laki berpakaian preman sambil membawa tas berlari kearahku. Jauh di belakangnya, para pemuda mengejarnya. Mereka berteriak maling-maling seraya menunjuk preman tersebut. Ketika preman itu berada di dekatku, dengan sigap aku menendang kakinya, sehingga ia jatuh tersungkur. Para pemuda menangkap preman itu dan mengeroyoknya beramai ramai. Mereka memukul, menendang, dan bahkan ada yang meludahinya. Aku segera menghentikan tindakan anarkis mereka. Aku tidak tega melihat preman itu babak belur dihajar masa. Beruntung badanku besar sehinggan mereka mau menuruti perintahku dan menghentikan tindakan mereka.
Beberapa saat kemudian, wanita pemilik tas itu datang dan mengucapkan terima kasih kepadaku karena telah berhasil menangkap pencurinya.
“Ah… tidak apa-apa kok Bu. Kebetulan saja premannya lewat menuju kearah saya sehingga dengan mudah saya bisa menangkapnya.” Kataku merendah. “Coba diperiksa dulu Bu tasnya barangkali saja ada yang kurang.” Lajutku.
Sesaat Ibu itu memeriksa tasnya.
“Tidak ada yang hilang Mas, semuanya masih utuh”
“Alhamdulillah” tukasku.
“Oh iya Mas, ini sedikit dari saya sebagai wujud terima kasih saya karena Mas telah menyelamatkan tas saya.” Kata Ibu itu seraya mengeluarkan dua lembar uang ratusan ribu. Melihat uang itu, aku kembali teringat permasalahan yang sedang menimpaku. Saat ini aku belum juga mendapatkan uang untuk membayar uang semester. Satu rupiah saja bagiku saat ini sungguh sangat berarti. Dan kini Ibu itu memberiku uang dua ratus ribu secara cuma-cuma. Snamun aku ragu untuk menerimanya. Uang yang diberikan Ibu itu aku kira tidak sepadan dengan apa yang telah aku lakukan, dan aku tidak berhak menerima pemberiannya. Lagipula aku mengerjakan ini karena ikhlas, semata-mata karena Allah dan hanya ingin mengharap ridho-Nya. Walaupun saat ini aku benar-benar sedang membutuhka unag, namun aku tidak mau kabaikan yang kulakukan ini menjadi riya, karena mengharapkan suatu imbalan. Cukuplah imbalan itu datangnya dari Allah.
“Maaf Bu saya tidak bisa menerima pemberian Ibu.” Kataku pada akhirnya.
“Kenapa? Apa perlu saya tambah?”
“Cukup Bu. Maaf, bukan begitu maksud saya. Saya ikhlas membantu Ibu. Dan saya tidak mengharapkan pemberian dari Ibu.”
“Tapi ini bukan imbalan. Ini hadiah sebagai wujud terima kasih saya pada anda.”
“Sekali lagi saya minta maaf Bu saya tidak bisa menerimanya. Permisi Assalamu`alaikum” aku pergi meninggalkan Ibu itu.
Hari ini adalah hari pembayaran uang semester. Aku masih belum juga mendapatkan uangnya. Aku akan berusaha meminta keringanan dari pihak universitas untuk memberiku tambahan waktu. Dan seandainya saja tidak diijinkan, aku pasrah dan siap menerima segala kosekuensinya. Aku sudah menyerahkan segala urusanku pada-Nya. Biarlah Dia yang menyelesaikan dengan cara-Nya sendiri. Pagi yang cerah tidak secerah hatiku. Burung-burung yang bernyanyi seakan-akan mengejekku karena kekalahanku. Tapi aku tidak peduli. Aku langkahkan kakiku dengan mantap. Harapan akan campur tangan-Nya dalam menyelesaikan masalahku masih sangat aku nantikan. Aku masih berharap Allah mau menolongku dengan pertolongan-Nya yang tak disangka-sangka.
Tibalah giliranku membayar uang semester. Aku mulai berbicara dengan petugas loket dengan baik-baik. Aku meminta pengertiannya agar mau memberikan toleransi waktu pembayaran. Namun petugas itu tidak mau mendengarkan keluhanku. Ia tetap menginginkanku untuk membayar lunas hari ini juga. Aku belum menyerah. Sekali lagi aku membujuk petugas itu agar bisa mengerti keadaanku. Aku memohon padanya dengan penuh iba. Aku tidak peduli lagi dengan orang-orang di belakangku yang sedang antri menunggu gilirannya. Diantara mereka ada yang iba melihatku dan ikut menyuruh petugas untuk memberikan toleransi waktu padaku. Sesaat petugas itu terdiam. Lalu dia meminta kartu mahasiswaku. Sebentar kemudian ia mengernyitkan dahi.
“Nama anda Sufyan Hidayat?” tanya petugas itu mencoba meyakinkan.
“I… Iya” jawabku gugup. “Memangnya kenapa Mbak” lanjutku.
“Di sini tertulis anda menerima beasiswa bebas biaya semester selama satu tahun. Apakah benar ini kartu mahasiswa anda?” tanya petugas itu kurang yakin bahwa aku adalah Sufyan Hidayat.
“Benar Mbak, nama saya memang Sufyan Hidayat. Benarkah saya mendapatkan beasiswa bebas semester selama satu tahun?” tanyaku kurang percaya.
“Justru saya merasa heran kenapa anda sendiri tidak tahu?”
“Saya sendiri juga heran kenapa saya bisa tidak tahu. Atau mungkin itu bukan untuk saya, hanya saja mungkin namanya yang sama persis dengan saya.”
“Tidak. Beasiswa ini memang ditujukan kepada anda. Nomor induk mahasiswa saja sama dengan punya anda. Beasiswa ini memang untuk anda.”
“Kalau begitu saya tidak perlu membayar uang semester kali ini dan semester depan?”
“Iya. Anda hanya harus menandatangani surat ini sebagai bukti bahwa anda telah menggunakan beasiswa anda.”
“Baiklah kalau begitu Mbak. Sebelah mana yang harus saya tandatangani?”
Petugas itu lalu mengarahkanku untuk tanda tangan beberapa kali. Aku mengucapkan terima kasih pada petugas itu dan kemudian keluar dari loket tersebut untuk memberi kesempatan bagi mereka yang mengantri di bel;akangku.
Aku masih penasaran dengan beasiswa itu. Seingatku aku tidak pernah mengajukan permohonan beasiswa kecuali saat diajak oleh temanku dan itupun aku batalkan karena terlalu banyak syarat yang harus dipenuhi. Apakah mungkin beasiswa itu? Apakah temanku yang mengirimkannya untukku? Segala puji bagi Allah yang telah menolong hamba-Nya dengan cara yang tak terduga-duga.
Selesai : Kamis, 10 Januari 2008
Waktu : 12.26 WIB
Sapen, Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment