26 July, 2009

Pak Ahmad

PAK AHMAD

Pagi hari yang sepi. Seperti biasa aku mengerjakan tugasku sehari-hari, menyapu halaman. Tugas itu sudah menjadi kewajiban yang harus aku kerjakan. Meskipun aku seorang lelaki tapi menyapu halaman sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil. Sebelum berangkat sekolah, aku harus memegang gagang sapu terlebih dulu sebelum memegang gagang bulpen. Halaman rumahku tidaklah begitu luas. Hanya saja karena pohon yang ditanam di halaman cukup banyak maka mau tidak mau halaman itu harus dibersihkan setiap hari. Satu hari saja tidak menyapu, halaman itu akan berubah menjadi seperti kebun karena dipenuhi oleh dedaunan kering yang berjatuhan.

Sampah dedaunan pagi ini terlihat cukup banyak.tidak seperti hari-hari biasanya. Hujan yang disertai badai semalam ternyata membuat daun-daun di pohon banyak yang berguguran.Tidak hanya daun kering, beberapa daun yang masih hijau pun juga jatuh. Sepertinya aku harus bekerja keras membersihkannya. Tanpa menunggu lagi kuayunkan sapu lidiku menghalau sampah dan mengumpulkannya kesuatu tempat lalu kemudian membuangnya ketempat sampah.

Suasana masih cukup sepi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat lalu lalang. Mungkin karena udara yang masih terlalu dingin sehingga membuat orang-orang pada malas untuk keluar rumah. Bagiku udara pagi sungguh sangat menyenangkan. Apalagi bila digunakan untuk bekerja. Badan yang kedinginan akan terasa hangat ketika kita mulai menggerakkan tubuh kita. Sama seperti olah raga, menyapu halaman juga pekerjaan menggerakkan anggota tubuh. Hanya saja bedanya kalau menyapu halaman bisa dua tiga pulau terlampaui. Selain membuat tubuh menjadi hangat, juga sekaligus membuat halaman menjadi bersih.

“bruum.. bruum..” terdengar suara mesin motor dinyalakan. Dari samping rumahku terlihat Pak Ahmad sedang mengeluarkan motornya. Motor itu masih baru dan belum lama ia membelinya. Memang motornya sudah setengah pakai, namun body dan suaranya masih terlihat baru dan bagus. Sebentar kemudian ia masuk ke dalam rumah dan tak beberapa lama ia sudah keluar dengan pakaian yang cukup rapi.

“Mau kemana Pak Ahmad, pagi-pagi kok sudah berpakaian rapi?’ tanyaku. Pertanyaanku tidak segera dijawabnya. Ia malah menatapku dengan wajah cengengesan.

“Mau kelapangan, latihan pake motor.” Jawabnya agak sedikit malu-malu. Aku tahu Pak Ahmad menag belum pandai memakai sepeda motor. Maklum saja, ia beli motor itu untuk pertama kali. Sebelumnya ia hanya bisa naik ojek jika ingin bepergian naik sepeda motor.

“Sendiri?” tanyaku lagi.

Kembali wajah lucunya yang diperlihatkan kepadaku.

“Iya, soalnya tidak ada yang ngajarin”

Sebenarnya aku ingin menawarkan diri utuk membantu mengajarinya. Tapi tidak bisa karena aku sendiri ada acara setelah itu.

“Kalau saja saya tidak ada janji dengan teman saya, saya mau lho membantu ngajari Bapak.” Aku kemukakan niat baikku.

“Tidak apa-apa. Bapak sudah cukup mahir kok pake motornya. He.. he.. he..”

Aku masih memperhatikan tingkahlaku Pak Ahmad dengan motor barunya itu. Sepertinyaia begitu sayang pada motornya itu. A mengambil sebuah kain putih di bawah jok untuk membersihkan motornya.

Ia melipat kain itu lagi setelah semuanya terlihat bersih. Lama ia memandangi motornya. Seulas senyum terbias di wajahnya. Sepertinya ia sangat senang dengan motor barunya. Aku jadi teringat ketika dulu ayahku membeli motor baru. Hampir setiap hari aku mengelapnya dan memandikannya. Waktu itu aku juga bertingkah laku sama seperti Pak Ahmad, senyum-senyum sendiri seperti orang yang kurang waras.

Kini Pak Ahamd sudah duduk di atas motornya. Dia sudah mau pergi. Tangan kanannya memainkan gas tangan sehingga motornya terdengar menderu-deru. Bruum…!! bruuum…!! Suara motor Pak Ahmad. Kakiknya menginjak kegigi satu. Perlahan-lahan motornya bergerak. Terus bergerak sampai ia pergi dan menghilang dari pendanganku.

“Hmm. Pak Ahmad.” Gumamku.

-oOo-

Seperti yang sudah aku rencanakan sebelumnya, hari ini aku akan pergi memancing bersama temanku. Pukul sembilan tepat dia datang ke rumah untuk menghampiriku. Aku yang sudah siap mengajaknya untuk langsung saja menuju tempat tujuan. Sudah lama rasanya aku tida pergi memancing. Ingin sekali rasanya segera mendapatkan ikan hasil pancingannya. Sesampainya di tempat tujuan, tanpa buang-buang waktu, aku melemparkan kail yang sudah di beri umpan cacing ke sebuah tempat yang dirasa banyak ikannya.

Kata orang memancing adalah melatih kesabaran. Dan itu memang benar-benar aku rasakan. Cukup lama aku menunggu umpanku di makan ikan. Bahkan hapir putus asa. Namun tidak beberapa lama kemudian, pancingku bergerak-gerak. Sepertinya umpannya sudah di makan ikan. Aku menunggunya sebentar. Setelah benar-benar yakin umpannya sudah di makan, aku langsung menariknya dengan hentakan yang cukup keras.

“Hore, aku berhasil.” Teriakku kegirangan. Temanku tidak mau kalah. Tidak beberapa lama kemudian dia juga mendapatkan ikan, bahkan lebih besar dariku. Hari ini kami mendapatkan ikan cukup banyak. Hasil tangkapan kami hampir sama banyaknya.

Menjelang sore kami untuk pulang. Hasil tangkapan kami cukup banyak. Kami pun puas dengan tngkapan kami. Mentari seja mengiringi kepergian kami dari sungai itu. Wajah dan tubuh kami penuh peluh dan keringat. Capek dan lelah pun menggerogoti tubuh kecil kami. Walaupun begitu kami merasa senang karena pengorbanan kami terbalas dengan membawa hasil tangkapan yang cukup banyak. Sesampainya dirumah nanti aku akan meminta tolong ibu untuk memasak ikannya. Pasti akan terasa enk karena ikan yang didapat adalah ikan hasil tangkapan sendiri yang peroleh dengan perjuangan dan kerja keras. Tentunya aku akan sangat menikmatinya sebagai penebus dari kerja keras kami. Seperti kata orang, makan akan terasa lebih lezat jika kita sudah bekerja lebih dulu. Meskipun hanya makan dengan nasi dan ikan asin. Tapi makna dari perjuangan dan kerja keras itu akan menjadi bumbu istimewa yang lezat dan tiada duanya.

Aku juga akan memberikan sebagian ikan tangkapanku kepada Pak Ahmad tetanggaku. Aku pikir ikannya cukup untuk dibagi dua. Lagi pula aku khawatir ikannya tidak akan habis jika dimakan sendiri dengan keluarga dan malah menjadi basi. Itu sama saja dengan menyia-nyiakan makanan alias memubadzirkan makanan. Kata ustadku, orang yang memubadzirkan makanan adalah sahabat syetan. Dan aku tidak mau menjadi sahabat syetan. Takut, wajahnya serem.

Kami berpisah dipertigaan dan aku pun melenggang menuju rumah sendirian. Berat juga ikannya. Sesekali aku menggilir tanganku secara bergantian supaya tetap bertahan sampai rumah. Sesampainya di rumah, aku melihat rumah Pak Ahmad ramai di kunjungi orang. Dari dalam rumah terdengar suara jerit tangis. Di halaman rumahnya terdapat sebuah ambulan dengan lampu atasnya masih menyala. Ada apa ya? Pikirku. Aku kaget ketika mengetahui bahwa Pak Ahmad sudah meninggal dunia. Seakan tidak percaya, aku datang langsung ke rumahnya. Suasana hiruk pikuk. Orang-orang berseliweran keluar masuk rumah Pak Ahmad. Aku memaksa masuk kedalam, mengambil celah diantara kerumunan orang. Di ruangan tengah aku melihat Pak Ahmad sedang berbaring di atas meja. Kain putih menyelimutinya sampai batas leher. Aku mencoba mendekatinya, walau sedikit ada rasa takut. Kuperhatikan wajahnya yang tak tertutup kain itu. Pipi sebelah kanannya memar. Di ujung bibirnya keluar darah yang sudah kering. Aku masih tidak percaya dengan apa yang telah aku lihat. Pak Ahmad yang tadi pagi masih sehat dan masih bisa tertawa kini telah berbaring diam tak berdaya. Ternyata kecelakaan telah mengantarkannya pada ajal. Sehingga kematian pun tidak bisa terelakkan.

Sore itu juga jenazah Pak Ahmad dimakamkan. Seluruh keluarga serta sanak saudara mengantarkan kepergiannya. Kepergian yang tidak akan pernah akan kembali. Kepergian untuk selama-lamanya. Tak seorangpun menyangka bahwa Pak Ahmad akan pergi secepat itu. Usianya masih muda, sekitar kepala tiga. Lebih muda dari ayanhku sendiri. Selamat tinggal Pak Ahmad. Semoga arwahmu tenang di sisi-Nya.

Mati itu rahasia Allah, tidak ada satu pun yang tahu kecuali Allah.

Perbanyaklah amal sebagai bekal di kehidupan yang kekal.

(@-Rhie)

Selesai : 5 januari 2008

Pukul : 19.09 WIB

Sapen, Sleman

Yogyakarta

No comments:

Post a Comment