19 December, 2009

DAULAH ABASIYAH (1) di Baghdad

DAULAH ABASIYAH (1) di Baghdad

Ini dinasti berusia paling panjang dalam sejarah Islam. Muhammad al-Saffah atau Abu Abbas berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayah pada 750 Masehi. Ia memanfaatkan ketidakpuasan orang-orang Islam non-Arab, kalangan Syiah serta keluarganya sendiri, Keluarga Hasyim. Ia membangun kekuasaan itu bersama Abu Muslim dari Khurasan. Maka yang dilakukannya adalah mengurangi pengaruh Arab di pemerintahan.

Hanya empat tahun Abu Abbas memerintah. Ia meninggal. Khalifah berikutnya adalah Abu Ja’far (754-775). Dialah khalifah pertama menggunakan gelar. Untuk dirinya sendiri, ia menggunakan gelar Al-Mansyur. Pemerintahannya banyak mengakomodasi kepentingan masyarakat Persia. Ibukota negara bahkan dipindahkan ke tepi Sungai Tigris -dekat Ctesiphon, ibukota Kekaisaran Persia dulu.

Disebutkan, Al-Mansyur melakukan survei mendalam untuk penentuan lokasi ibukota. Dia mengirim staf untuk tinggal di sana guna membuat laporan keadaan wilayah itu di berbagai musim. Ia disebut mendatangkan sekitar 100.000 pekerja dari berbagai daerah -Kufah, Basrah, Mosul maupun Syria- untuk menjadi arsitek, tukang bangunan, juru pahat, pelukis untuk membangun tempat yang dulu dipakai sebagai peristirahatan Kaisar Kisra Anusyirwan. Sekitar tahun 762 Masehi, lahirlah kota Baghdad sebagai salah satu kota termegah di dunia saat itu.

Al-Mansyur dianggap sebagai tonggak pembangun kejayaan Abbasiyah. Namun itu dilakukannya dengan tangan besi pula. Abdullah dan Shalih bin Ali, dua orang pamannya yang menolak berbaiat untuknya, dibunuh Abu Muslim atas suruhannya. Abu Muslim sendiri kemudian ia bunuh. Untuk militer, ia kembali melakukan ekspansi untuk menguasai kembali wilayah-wilayah Bani Umayah dulu. Ia mengenalkan konsep ‘wazir’ yang sekarang diistilahkan sebagai perdana menteri. Jawatan pos diberi tugas intelejen -termasuk mengawasi para gubernur.

Di sisi lain, Baghdad dibangunnya sebagai pusat peradaban. Ilmu dan kesenian dikembangkan. Di Kufah, di masa Al-Mansyur, imam Abu Hanifah (700-767) diberinya tempat yang baik. Abu Hanifah berkesempatan untuk merumuskan hukum-hukum Islam, yang kemudian dikenal sebagai mazhab Hanafi. Sebuah mazhab yang sangat dipengaruhi kecenderungan kalangan intelektual muslim di Kufah: kuat dalam rasionalitas.

Kemakmuran masyarakat terwujud pada masa khalifah Al-Mahdi (775-785). Program irigasi berhasil meningkatkan produksi pertanian berlipat kali. Jalur perdagangan dari Asia Tengah dan Timur hingga Eropa melalui wilayah kekhalifahan Abbasiyah berjalan pesat. Pertambangan emas, perak, besi dan tembaga, berjalan dengan baik. Basrah di Teluk Persia tumbuh menjadi satu pelabuhan terpenting di dunia.

Bersamaan dengan itu, ilmu pengetahuan tumbuh subur. Di Madinah, Imam Malik (713-795) juga menyusun fikih atau hukum Islam. Ia tak seperti Hanafi. Ia banyak menggunakan hadis secara langsung serta tradisi masyarakat Madinah. Puncak peradaban Islam terjadi pada masa Harun Al-Rasyid (786-809). Bukan hanya kemakmurn masyarakat yang dicapai, namun juga pendidikan, kebudayaan, sastra dan lain-lain.

Harun Al-Rasyid membangun rumah-rumah sakit, sekolah kedokteran, serta farmasi. Saat itu, diperkirakan terdapat 800 orang dokter. Ia juga membangun pemandian-pemandian umum. Istrinya membangun saluran air dari Taif untuk memenuhi kebutuhan air di Mekah yang tak cukup dipenuhi oleh sumur zamzam.

Masa keemasan” ini dilanjutkan oleh Al-Ma’mun (813-833). Dia mendirikan banyak sekolah. Berbagai buku Yunani diterjemahkannya ke bahasa Arab. Ia mendirikan pula “Bait Al-Hikmah” -perpustakan sekaligus perguruan tinggi. Di masanya, Imam Syafi’i (767-820) serta Imam Ahmad bin Hanbal (780-855) juga menulis kitab fikih yang kemudian menjadi mazhab sendiri. Mazhab dengan pendekatan yang berada di antara mazhab Hanafi dan Maliki. Pemikir Islam yang mengedepankan rasionalitas, yang dikenal dengan sebutan Mu’tazilah, yakni Abu Huzail (752-849) dan Al-Nazam (801-835) juga melempar gagasannya pada periode ini.

Hingga khalifah Al-Mutawakkil (847-861), Daulat Abbasiyah masih menampakkan kebesarannya. Namun, dalam politik, Al-Mutawakkil mulai membuat sejumlah perubahan. Ia lebih berorientasi pada orang-orang Turki dibanding Persia. Paham keagamaan negara pun ia ubah. Khalifah Al-Ma’mun menggunakan paham rasional mu’tazilah untuk negara. Al-Mutawakil mencabut paham itu, dan menggunakan aliran ’salaf’ dari mazhab Hambali.

Tak banyak terkisahkan pada sejarah Daulat Abbasiyah akhir Abad 9 dan awal Abad 10. Terutama sejak Khalifah Al-Mutawakkil meninggal pada 861 Masehi. Riwayat hanya menyebut bahwa pemerintahan Baghdad terus dikuasai oleh para panglima militer berdarah Turki. Para panglima itu yang mengangkat khalifah dari keturunan khalifah-khalifah terdahulu. Namun mereka hanya dijadikan simbol.
Badri Yatim dalam “Sejarah Peradaban Islam” mencatat adanya 12 khalifah saat Daulat Abbasiyah dikuasai para panglima militer Turki. Hanya empat khalifah yang diganti karena meninggal secara wajar. Delapan lainnya diturunkan secara paksa oleh militer, bahkan juga dibunuh. Keadaan ini menjadikan wibawa Dinasti Abbasiyah semakin merosot. Satu per satu wilayah melepaskan diri dari kendali pusat.

Simbol-simbol peradaban, seperti ilmu pengetahuan, kesenian dan sastra, tidak lagi berkembang. Satu-satunya paham keagamaan yang tumbuh pada masa ini adalah pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari (873-935), yang kerap disebut aliran tradisional dalam teologi. Al-Asy’ari sempat belajar paham mu’tazilah yang banyak dipengaruhi oleh logika Yunani. Ia lalu mengkritisi paham tersebut dengan mengambil pendekatan tekstual dan tradisi. Sejarah pemikiran Islam kemudian banyak diwarnai tarik-menarik kedua pendekatan tersebut, sampai sekarang.

Wibawa kekhalifahan Abbasiyah bangkit kembali setelah kekuasaan di tangan keluarga Buwaih. Khalifah, lagi-lagi hanya menjadi simbol sebagaimana Kaisar Jepang di era Tokugawa. Ketika wazir (perdana menteri) dan militer bertikai, khalifah menyerahkan kekuasaan pada tiga kakak beradik Ali, Hasan dan Ahmad -anak Abu Syuja’ Buwaih, nelayan miskin dari Dailam. Ahmad memegang kendali di Baghdad, Ali menguasai wilayah Persia Selatan yang berpusat di Syiraz. Hasan berkuasa di Persia Utara, termasuk kota Ray dan Isfahan.

Di awal masa Bani Buwaih (945-1055), kemakmuran kembali berkembang di wilayah kekhalifahan Abbasiyah. Pembangunan gedung pun semarak. Industri karpet berkembang pesat. Intelektual bermunculan. Antara lain Ibnu Sina (980-1037), penulis Qanun fi Al-Thibb yang menjadi rujukan ilmu kedokteran Barat sampai Abad 19. Juga Al Farabi yang wafat pada 950 Masehi dan Al-Maskawaih (wafat 1030 Masehi). Namun dalam keagamaan, terjadi kerancuan paham. Kekhalifahan menganut paham Sunni, sedangkan Bani Buwaih berpaham Syi’ah.

Lagi-lagi pertikaian keluarga, membuat kekuatan Bani Buwaih merosot. Kekhalifahan Abbasiyah kehilangan pamor lagi. Di Mesir, berdiri Kesultanan Fathimiyah. Di Afghanistan, keluarga Ghaznawiyah memerdekakan diri. Kemudian muncul dinasti Seljuk yang berawal dari kabilah-kabilah kecil di Turkistan yang berhasil dipersatukan oleh Seljuk anak Tuqaq. Pemimpin Seljuk kemudian Thugrul Beq, berhasil merebut beberapa wilayah kekhalifahan Abbasiyah. Tak seperti Bani Buwaih, mereka menganut paham Sunni.

Atas undangan Khalifah Qaim, Thugrul Bek memasuki Baghdad. Para keturunannya kemudian menyetir kekuasaan di Baghdad. Banyak keluarga Seljuk lainnya membangun kekuasaan kecil-kecil di luar Baghdad. Sejarah mencatat masa terpenting kekuasaan Seljuk terjadi pada kepemimpinan Alp Arselan (1063-1072). Khalifah masa itu adalah Sultan Maliksyah, dengan Nizham Al-Mulk sebagai Perdana Menteri.

Nizham membangun Universitas Nizhamiyah pada 1065 di Baghdad. Inilah yang disebut model pertama universitas yang kini dikenal dunia. Di berbagai kota di Irak dan Khurasan didirikan cabang universitas ini. Nizham juga membangun Madrasah Hanafiah. Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Banyak intelektual lahir pada masa ini. Diantaranya Zamakhzyari di bidang tafsir dan teologi, Qusyairi di bidang tafsir, Imam Al-Ghazali sebagai tokoh tasawuf, juga sastrawan Fariduddin Attar dan Omar Kayam.

Di militer, 15.000 pasukan Alp Arselan mengalahkan pasukan gabungan Romawi, Perancis dan Armenia. Sepeninggal Arselan, pasukan itu malah merebut kota Yerusalem dari Dinasti Fathimiyah pada 471 Hijrah, atau 1078 Masehi. Inilah peristiwa yang menyulut terjadinya Perang Salib.

Waktu berlalu. Kekhalifahan melemah. Hampir setiap propinsi melepaskan diri. Pada 1199, kekuasaan Keluarga Seljuk di Baghdad berakhir. Para khalifah keturunan Abbas masih melanjutkan kepemimpinan negara. Namun hanya terbatas di sekitar Baghdad. Pada 1258, tiba-tiba sekitar 200 ribu pasukan Mongol muncul di bibir kota Baghdad di bawah komando Hulagu Khan. Khalifah Al-Mu’tashim menyerah.

Ia menyangka Hulagu Khan hendak menikahkan anak perempuannya dengan Abu Bakar, putra khalifah. Maka khalifah dan seluruh pembesar istana datang ke kemah Hulagu membawa berbagai hadiah. Di tempat itulah, Hulagu memenggal leher khalifah dan seluruh pengikutnya satu per satu. Kota Baghdad dihancurkan. Seluruh kegemilangan yang dibangun oleh Al-Mansyur, dan kemudian juga oleh Harun Al-Rasyid itu luluh lantak. Baghdad kembali rata dengan tanah.

DAULAH UMAYYAH (1) di Damaskus

Ini adalah periode pemerintahan Islam di bawah kekuasaan Keluarga Umayah. Para ahli sejarah menunjuk kekuasaan ini berawal pada tahun 40 Hijriah atau 661 Masehi. Pendiri dinasti ini adalah Muawiyah anak Abu Sofyan. Abu Sofyan adalah pemimpin Mekah yang menentang Rasul. Ia masuk Islam setelah kota Mekah ditaklukkan oleh pasukan Islam dari Madinah.

Muawiyah semula adalah Gubernur Syria berkedudukan di Damaskus. Ia memberontak pada Khalifah Ali bin Abu Thalib, sampai Ali wafat dibunuh orang Khawarij. Pengikut Ali kemudian mengangkat Hasan -anak Ali-sebagai khalifah baru. Namun Hasan, yang tak ingin konflik, lalu mengikat perjanjian damai dengan Muawiyah. Jadilah Muawiyah penguasa tunggal masyarakat muslim waktu itu.

Muawiyah memindah ibukota negara dari Madinah ke Damaskus. Ia juga mengganti sistem pemerintahan. Hingga masa Ali, pemimpin negara berlaku sebagai seorang biasa. Tinggal di rumah sederhana, menjadi imam masjid, dan memenuhi kebutuhan sendiri secara biasa. Muawiyah meniru sistem kerajaan untuk dirinya. Ia hidup bagai raja -dalam benteng, bergelimang kemewahan, bepengawalan lengkap dengan kekuasaan mutlak. Untuk jabatannya, ia menyebut diri sebagai “khalifatullah” (”wakil” Allah di bumi) -istilah yang banyak dipakai para sultan kemudian.

Banyak yang diperbuat oleh Dinasti Umayah. Antara lain dengan membangun dinas pos -termasuk penyediaan kuda dan perlengkapannya. Mereka juga mengangkat Qadi atau hakim sebagai profesi. Khalifah Abdul Malik mencetak uang sendiri dengan menggunakan tulisan Arab sebagai pengganti uang Byzantium dan Persia. Administrasi pemerintahan dibenahi. Bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi pemerintahan.

Langkah ini dilanjutkan oleh anak Abdul Malik, Walid (705-715 Masehi). Ia membangun panti-panti asuhan untuk orang-orang cacat. Pekerja untuk rumah-rumah tersebut dibayarnya sebagai pegawai. Walid juga membangun infrastruktur berupa jalan-jalan raya yang menghubungkan antar wilayah. Selain itu ia juga membangun gedung-gedung pemerintah, masjid-masjid, bahkan juga pabrik. Di masanya, masyarakat mencapai puncak kemakmurannya.

Namun khalifah yang paling banyak dipuji adalah Umar bin Abdul Aziz (717-720). Ibunya adalah cucu Umar bin Khattab. Ia lebih menekankan pembangunan moral dan sosial dibanding fisik. Ia menolak jika dipilih menjadi khalifah semata karena dirinya anak khalifah. Ia bahkan merangkul musuh-musuh Dinasti Umayah, termasuk kelompok Syi’ah, untuk memilih khalifah yang baru. Sampai kemudian semua sepakat untuk memilihnya sebagai khalifah.

Umar memberikan kebebasan beribadah kepada masyarakat dari semua kelompok agama. Pajak yang membenani masyarakat pun ia peringan. Ia juga disukai orang-orang non-Arab atau ‘mawali’. Sebelum masa Umar bin Abdul Aziz, warga non-Arab dianggap sebagai “warga kelas dua”. Umar mensejajarkan bangsa apapun tanpa kecuali.

Dalam kehidupan sehari-hari, Umar bin Abdul Aziz mewarisi sikap kakek buyutnya, Umar bin Khattab. Bedanya : Umar bin Khattab dikenal sebagai seorang bertemperamen keras, sedangkan Umar bin Abdul Aziz adalah seorang yang lembut. Kesederhanaannya akan selalu dikisahkan sepanjang sejarah. Di antaranya adalah ketika ia -suatu malam- bekerja di ruangannya yang berpenerangan lampu. Lalu anaknya datang minta izin untuk bicara dengannya. Umar bertanya, pembicaraannya itu untuk keperluan negara atau keluarga. “Urusan keluarga,” kata anaknya. Umar lalu mematikan lampu itu. Lampu tersebut dinyalakan dengan minyak yang dibiayai negara.

Ia tak mau urusan keluarga menggunakan lampu dengan minyak negara. Sayang, Umar tidak lama memimpinn negara. Tiga tahun setelah diangkat, ia wafat. Setelah Umar, para khalifah lebih banyak hidup bergelimang kemewahan. Moralitas mereka jatuh. Kepercayaan rakyat merosot tajam. Khalifah Hisyam anak Abdul Malik berusaha mengatasi itu. Namun keadaan telanjur tak terkendali. Pada tahun 750 Masehi, setelah sekitar 90 tahun berkuasa, Daulat Umayah pun runtuh.

(2)

Kekuasaan yang dibangun Muawiyah bagi Daulat Umayah diawali dengan noda hitam. Pemberontakan Muawiyah terhadap Khalifah Ali yang melahirkan Perang Shiffin menyebabkan sekitar 80 ribu orang tewas. Badri Yatim, dalam buku ‘Sejarah Peradaban Islam’ menyebut: “Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak.” Praktek yang bertolak belakang dengan nilai Islam sebenarnya.

Muawiyah menunjuk anaknya, Yazid, sebagai penggantinya. Cara demikian tidak dikenal Islam dalam pemilihan pemimpin negara. Masyarakat berontak. Sebagian mengangkat Hussein anak Ali sebagai khalifah. Melalui penipuan, Yazid menghancurkan kubu Hussein. Hussein yang berencana memenuhi ajakan damai Muawiyah, ternyata dibunuh. Di padang Karbala, Hussein dipenggal. Kepalanya dibawa ke Damaskus.

Abdullah anak Zubair juga tak mengakui kekhalifahan Yazid. Abdullah berkedudukan di Mekah. Tentara kerajaan di masa Khalifah Abdul Malik kemudian menyerbu Mekah. Keluarga Zubair dihancurkan. Abdullah wafat dalam pertempuran pada 73 H atau 692 Masehi.

Di masa Muawiyah, kekuasaan melebar ke Barat hingga Tunisia yang berada di seberang Italia. Di Timur, wilayah kekuasaan telah menjangkau seluruh tanah Afghanistan sekarang. Ekspedisi laut berulangkali menyerbu ke Byzantium, namum gagal menaklukkan Romawi. Wilayah itu kemudian diperluas oleh Khalifah Abdul Malik. Wilayah Asia Tengah seperti Bukhara, Khawarizm, Ferghana hingga Samarkand mereka kuasai, bahkan wilayah Sind dan Punyab di India dan Pakistan.

Terobosan paling monumental terjadi di Gibraltar, Spanyol, di masa Khalifah Walid. Seluruh wilayah Afrika Utara -termasuk Aljazair dan Maroko- mereka kuasai. Pada tahun 711 Masehi, Panglima Perang Thariq bin Ziyad memimpin pasukan menyeberang selat dari Maroko ke dataran Spanyol di Eropa. Ibukota Spanyol segera mereka kuasai. Demikian pula kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo. Seluruh Spanyol pun menjadi wilayah kekusaan Bani Umayah.

Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tentara Bani Umayah di bawah komando Panglima Abdul rahman bin Abdullah Al-Ghafiqi, bergerak dari Spanyol menuju Perancis. Setelah melalui pegunungan Piranee, mereka menguasai Bordeau, Poitiers dan hendak maju ke kota Tours. Di tempat ini terjadi pertempuran yang menewaskan Al-Ghafiqi. Tentara itu pun mundur kenmali ke Spanyol.

Dengan rentang wilayah kekuasaan yang sangat luas, di abad ke-8 Masehi tersebut, Bani Umayah merupakan kekuasaan yang paling besar di dunia. Kekuasaan besar lainnya adalah Dinasti Tang di wilayah Cina serta Romawi yang berpusat di Konstantinopel. Ke wilayah kekuasaan Bani Umayah itulah Islam kemudian menyebar dengan cepat.

Namun adalah sebuah kemustahilan untuk mempertahankan wilayah yang begitu luas terus-menerus. Apalagi masyarakat kemudian kehilangan rasa hormatnya pada kekhalifahan. Pemberontakan muncul di sana-sini. Yang terkuat adalah pemberontakan oleh Abdullah Asy-Syafah, atau Abu Abbas. Ia keturunan Abbas bin Abdul Muthalib -paman Rasulullah. Ia disokong oleh keluarga Hasyim -keluarga yang terus berseteru dengan Keluarga Umayah. Kalangan Syi’ah -para pendukung fanatik Ali- mendukung pula gerakan ini.

Abu Abbas kemudian bersekutu dengan tokoh kuat, Abu Muslim dari Khurasan. Pada tahun 750 Masehi, mereka berhasil menjatuhkan kekuasaan Bani Umayah. Khalifah terakhir, Marwan bin Muhammad, lari ke Mesir namun tertangkap dan dibunuh di sana. Berakhirlah kekuasaan Bani Umayah ini, meskipun keturunannya kemudian berhasil membangun Bani Umayah kedua di wilayah Spanyol.

KERAJAAN MUGHOL DI INDIA

Empayar Mughal, (Mughal Baadshah, atau sebutan lainnya Mogul) adalah sebuah kerajaan yang pada masa kemuncaknya memerintah Afghanistan, Balochistan, dan kebanyakan anak benua India antara 1526 dan 1857. Kerajaan ini didirikan oleh pemimpin Mongol, Barbur, pada 1526, ketika dia mengalahkan Ibrahim Lodi, Sultan Delhi terakhir pada Pertempuran Pertama Panipat. Perkataan mughal adalah versi Indo-Aryan dari Mongol. Agama rakyat Mughal adalah Islam.

Kerajaan ini sebahagian besar ditakluk oleh Sher Shah ketika masa Humayun, namun di bawah Akbar, kerajaan ini berkembang pesat, dan terus berkembang sampai akhir pemerintahan Aurangzeb. Jahangir, anak Akbar, memerintah kerajaan ini antara 1605-1627. Pada Oktober 1627, Shah Jahan, anak dari Jahangir mewarisi takhta dan kerajaan yang luas dan kaya di India. Pada abad tersebut, empayar ini mungkin merupakan kerajaan terbesar di dunia. Maharaja Mughal Shah Jahan, memerintahkan pembinaan Taj Mahal antara 1630-1653 di Agra, India.

Setelah kematian Aurangzeb pada 1707, kerajaan Mughal mulai mengalami kemunduran, walaupun masih berkuasa selama 150 tahun berikutnya. Pada 1739, empayar ini dikalahkan oleh pasukan dari Parsi yang dipimpin oleh Nadir Shah. Pada 1756, pasukan Ahmad Shah menceroboh Delhi sekali lagi. Empayar British akhirnya membubarkannya pada 1857.

BAB XV

KERAJAAN MUGHAL DI INDIA

=========================================

Kerajaan Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan Safawi.

Kerajaan Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di anak benua India. Awal kekuasaan

Islam di wilayah India terjadi pada masa Khalifah al-Walid, dari Dinasti Bani Umayyah.

Penaklukkan wilayah ini dilakukan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan

Muhammad ibn Qasim (Mahmudunnasir, 1981:163).

Pada fase desintegrasi, Dinasti Ghaznawi mengembangkan kekuasaannya di India di

bawah pimpinan Sultan Mahmud dan pada tahun 1020 M, ia berhasil menaklukkan

seluruh kerajaan Hindu di wilayah ini, sekaligus mengislamkan sebagian masyarakatnya

(Mahmudunnasir, 1981:163). Setelah Dinasti Ghaznawi hancur, muncul Dinasti-Dinasti

kecil seperti Mamluk (1206-1290 M), Khalji (1296-1316 M), Tuglug (1320-1412 M) dan

Dinasti-Dinasti lain (Nasution, 1985:82).

A. Asal-Usul Kerajaan Mughal

Mughal merupakan kerajaan Islam di anak benua India, dengan Delhi sebagai

ibukotanya, berdiri antara tahun 1526-1858 M. Dinasti Mughal di India didirikan oleh

seorang penziarah dari Asia tengah bernama Zahiruddin Muhammad Babur (1482-1530 M),

salah satu cucu dari Timur Lenk dari etnis Mongol, keturunan Jengis Khan yang telah

masuk Islam dan pernah berkuasa di Asia Tengah pada abad ke 15. Kerajaan ini berdiri

pada saat di Asia kecil berdiri tegak sebuah kerajaan Turki Usmani dan di Persia kerajaan

Safawi. Ketiganya pada saat yang sama menjadi sebuah negara-negara adikuasa di Dunia.

Mereka juga menguasai perekonomian, politik serta militer dan mengembangkan

kebudayaan.

Ayahnya bernama Umar Mirza, penguasa Ferghana. Babur mewarisi daerah Ferghana

dari orang tuanya dari orang tuanya ketika ia masih berusia 11 tahun. Setelah naik tahta

ia mencanangkan obsesinya untuk menguasai seluruh Asia Tengah, sebagaimana Timur

Lenk tempo dulu. Namun, ambisinya itu terhalang oleh kekuatan Urbekiztan, dan

mengalami kekalahan Namun berkat bantuan Ismail I (1500-1524 M), raja Safawi, Babur

dapat menguasai Samarkand tahun 1494 M. Pada tahun 1504 M, ia menduduki Kabul,

ibukota Afganistan.

Dari sini ia memperluas kekuasaannya ke sebelah Timur (India). Saat itu, Ibrahim

Lodi, penguasa India, di landa krisis sehingga stabilitas pemerintahan menjadi kacau.

Daulah Khan, Gubernur Lahore dan Alam Khan, paman Ibrahim sendiri melakukan

pembangkangan pada tahun 1524 terhadap pemerintahan Ibrahim Lodi, dan meminta

bantuan Babur untuk merebut Delhi. Tiga kekuatan itu bersatu untuk menyerang

kekuatan Ibrahim, tetapi gagal memperoleh kemenangan. Mereka melihat bahwa Babur

tidak sungguh-sungguh membantu mereka.

Ketidakseriusan Babur menimbulkan kecurigaan di mata Daulah Khan dan Alam

Khan, sehingga keduanya berbalik menyerang Babur. Kesempatan itu tidak disia-siakan

Babur, ia berusaha keras untuk mengalahkan gabungan dua kekuatan tersebut. Daulah

Khan dan Alam Khan dapat dikalahkan, Lahore dikuasainya pada tahun 1525 M. Dari

Lahore ia terus bergerak ke selatan hingga mencapai Panipat. Di sinilah ia berjumpa

KERAJAAN ISLAM di PERSIA

A. Awal Peradaban Islam di Persia

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perkembangan peradaban Islam baru bekembang di Persia sejak dinasti Abbasyiah di Baghdad mengalami kemunduran.
Namun demikian, perkembangan peradaban Islam kala itu masih sebatas permulaan. Sejatinya, perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai sejak berdirinya kerajaan Safawi yang dipelopori oleh Safi al-Din yang hidup sejak tahun 1252 hingga 1334 M.[1] Kerajaan ini berdiri di saat kerajaan Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan ini pertama kali dipimpin oleh Ismail. Ia berkuasa kurang lebih selama 23 tahun, yakni antara tahun 1501 sampai 1524 M.

Kerajaan Safawi itu sendiri berasal dari sebuah gerakan tarekat bernama Safawiyah yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat Safawiyah ini didirikan bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani di Turki. Hingga di masa perkembangannya, nama Safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik.

Sebagai pendiri kerajaan, Safi al-Din dikenal sebagai pribadi yang agamis. Ia merupakan keturunan Musa al-Kazhim yang terkenal sebagai imam Syi’ah yang keenam. Setelah ia berguru dengan Syaikh Taj al-Din Ibrahim Zahidi dan menjadi menantunya, ia mendirikan tarekat Safawiyah pada tahun 1301 M. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan untuk memerangi orang-orang ingkar dan golongan Ahl al-Bid’aH Namun pada perkembangannya, gerakan tasawuf yang bersifat lokal ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang mempunyai pengaruh besar di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri yang berada di luar Ardabil inilah, Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang diberi gelar Khalifah untuk memimpin murid-murid di daerahnya masing-masing.[2]

B. Proses Perkembangan Peradaban Islam di Persia

Peradaban Islam di Persia berkembang cukup cepat. Hal ini ditandai dengan mulai meluasnya daerah kekuasaan pada masa kepemerintahan Abbas I yang menjadi raja kelima dari dinasti Safawi. Meskipun pada masa pemerintahannya sering terjadi perebutan daerah kekuasaan dengan kerajaan Turki Usmani yang notabenenya sebagai sesama kerajaan Islam, namun pada masa pemerintahannya inilah, perkembangan peradaban Islam mulai berkembang pesat.

Ahmad al-Santanawi mengungkapkan bahwa perkembangan peradaban Islam di Persia diawali dengan penunjukkan kota Isfahan sebagai Ibu kota kerajaan Safawi pada saat Abbas I menjadi penguasa kerajaan Safawi. Kota ini merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yakni Jayy dan Yahudiyyah yang didirikan oleh Buchtanashshar atau Yazdajir I atas anjuran istrinya yang beragama Yahudi.[3]

Terjadi perbedaan pendapat tentang kapan kota ini masuk dalam wilayah Islam. Pemdapat pertama mengatakan bahwa penaklukkan kota ini terjadi pada tahun 19 H atas perintah khalifah Umar Ibn Khattab. Sedangkan pendapat kedua yang beraliran Bashrah menyebutkan bahwa kota ini ditaklukkan pada tahun 23 H di bawah pimpinan Abu Musa al-Asy’ari. Namun terlepas dari kedua perbedaan di atas, al-Santanawi menyatakan bahwa Isfahan menjadi kota penting sebagai pusat industri dan perdagangan setelah penaklukkan kedua terjadi pada masa dinasti Abbasiyyah.[4]

Dengan demikian, peradaban Islam di Persia mulai berkembang pesat setelah kota Isfahan berhasil ditaklukkan oleh bala tentara Dinasti Abbasiyyah untuk yang kedua kalinya. Berangkat dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa proses perkembangan peradaban Islam di Persia dilakukan dalam rangka perluasan daerah kekuasaan.

C. Kemajuan Peradaban Islam di Persia

Sebagaimana diketahui bahwa antara kebudayaan dan peradaban memiliki arti yang hampir sama. Namun dari kesamaan arti tersebut terdapat perbedaan dalam hal perwujudannya. Kebudayaan lebih diwujudkan dalam hal seni, sastra, religi dan moral. Sedangkan peradaban lebih diwujudkan dalam hal politik, ekonomi dan teknologi.[5] Demikian juga dengan kemajuan peradaban Islam di Persia.

Keberhasilan raja Abbas I dalam merebut kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya menjadi tolak ukur kemajuan peradaban Islam di Persia khususnya dalam bidang politik. Selain kemajuan di bidang politik, raja Abbas I juga telah membawa peradaban Islam menuju masa keemasan di bidang yang lainnya seperti ekonomi, ilmu pengetahuan dan pembangunan.

Di bidang ekonomi, raja Abbas I berhasil mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pusat perdagangan yang berada pada jalur penghubung antara Timur dan Barat. Sebelum dikuasai sepenuhnya oleh kerajaan Safawi, pelabuhan ini pernah diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis. Di samping itu, raja Abbas I juga berhasil menjadikan daerah Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent) sebagai daerah yang maju di sektor pertanian.

Sedangkan di dunia IPTEK, Persia masa itu berhasil melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal seperti Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi (filosof) dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Mereka inilah yang selalu hadir di majlis istana untuk mengisi setiap kajian yang diadakan di sana. Pada masa ini, Persia bisa dikatakan lebih maju jika dibandingkan dengan daerah dari kerajaan lain pada masa yang sama.

Pada masa kejayaan inilah, kota Isfahan yang menjadi pusat perkembangan peradaban Islam dihiasi dengan bangunan-bangunan berarsitektur tinggi. Hal ini bisa dilihat pada arsitektur masjid Syah yang dibangun pada tahun 1611 M. Pada pintu masjid ini terdapat lapisan perak yang membuat masjid ini terlihat begitu megah. Selain itu, di komplek salah satu masjid terindah di dunia ini terdapat lapangan serta taman yang masih terawat hingga sekarang. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.

No comments:

Post a Comment