Islam sebagai
agama yang datang sesudah Hindu dan Budha telah memberikan perubahan yang cukup
signifikan terhadap kehidupan masyarakat Jawa. Meskipun ajaran Islam sudah
mendominasi baik dari segi ajaran maupun budaya, namun ada juga beberapa
kebudayaan non-Islam yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat Jawa, salah
satunya adalah kebudayaan feodal. Memang budaya feodal saat ini tidak begitu
kental (mengakar) di dalam kehidupan masyarakat jawa seperti dulu. Adapun faham
feodal yang masih begitu kentara pada saat ini dapat kita lihat dalam
lingkungan pesantren, terutama model pesantren klasik (tradisional).
A.
Pengertian
Feodalisme berasal dari kata feodal
yang artinya penguasaan tanah/daerah/wilayah. Bisa berarti juga feodal adalah
karakteristik hidup suatu masyarakat dengan corak (dipengaruhi) olah sifat
kebangsawanan.[1]
Feodalisme adalah sebuah sistem
perintahan dimana seorang pemimpin, yang biasanya seorang bangsawan memiliki
anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan juga, tetapi lebih
rendah kedudukannya dan biasa disebut dengan istilah vazal. Para vazal ini
wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vazal pada gilirannya
juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi mereka
upeti. Dengan begitu muncul struktur hierarkis yang berbentuk piramida.
Masyarakat Jawa, khususnya zaman
dahulu mempunyai sikap hidup yang feodalistis. Mereka sangat hormat dengan
keluarga bangsawan (orang-orang yang bertitel Raden Ayu, Raden Mas, Gusti
Pangeran Haryo, dan lain-lain), terhadap abdi dalem, terlebih terhadap ingkang
sinuhun. Sikap ini sampai sekarang masih cukup terasa, terutama pada
lingkungan pemerintah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.[2]
B.
Feodalisme di pesantren
Feodalisme dalam masyarakat pesantren
merupakan salah satu ciri khas sebagaimana identitas masyarakat tradisional
lainnya. Feodalisme yang kental adalah pengkultusan (pengidolaan) terhadap
figur seorang kyai. Dari sini terdapat keterlibatan pada pola hubungan kyai
dengan santri yang vertikal. Pola pengkultusan terjadi bukan hanya terbentuk
secara kultural, namun dipengaruhi juga oleh norma yang bersumber pada nilai
agama Islam itu sendiri yaitu keharusan takzim (hormat) terhadap guru. Norma
tersebut melahirkan derivasi (asal muasal) yang dibangun sendiri oleh
masyarakat pesantren yaitu bila tidak hormat maka tidak akan mendapatkan
berkah. Dari sinilah terbangun sikap kepatuhan tanpa batas. Dalam istilahnya sami’na
wa atha’na (mendengar dan mematuhi segala perintah kyai). Dengan kata lain
mereka (santri) menganggap bahwa segala perkataan dan perbuatan kyai adalah
benar pada wajib dipatuhi.
Budaya feodalistik yang demikian
menyebabkan kyai selalu ingin ditempatkan pada posisi superior (lebih tinggi).
Superioritas kyai secara tidak sadar melahirkan karakter kepribadian
individualis yang tidak mau orang lain ikut campur dan kyai cenderung tidak
suka bila ada orang yang lebih tinggi di atasnya.
Budaya feodal cenderung terlihat pada
pondok pesantren yang masih tradisional. Hal ini disebabkan karena pesantren tradisional
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Tidak memiliki manajemen dan
administrasi modern, sistem pengelolaan pesantren berpusat pada aturan yang
dibuat kyai dan diterjemahkan oleh pengurus-pengurus pondok pesantren.
2.
Terikat kuat pada figur kyai
sebagai tokoh sentral, setiap kebijakan pondok mengacu pada wewenang yang
diputuskan kyai.
3.
Pola dan sistem pendidikan
bersifat konvensional, berpijak pada tradisi lama dan metode pengajaran
bersifat satu arah yaitu kyai menjelaskan dan santri mendengarkan dengan
seksama.
4.
Bangunan asrama santri tidak
tertata rapi, masih menggunakan bangunan kuno atau bangunan kayu. Pondok
pesantren menyatu dengan masyarakat sekitar, tidak ada pembatas yang memisahkan
wilayah pondok pesantren dari lingkungan masyarakat sekitarnya.
C.
Kelebihan dan Kekurangan
Feodalisme di Pesantren
Feodalisme tidak selamanya jelek. Feodalisme
dapat menunjukkan kewibawaan seseorang. Pada konsep demokrasi yang di dalamnya
tidak ada kharisma, maka konflik pun tidak dapat terhindarkan. Oleh karena itu
seorang kyai harus memiliki kharisma karena dia merupakan sosok panutan yang
bisa diandalkan, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Dua hal yang menyebabkan negara
kuat yakni adanya ulama dan umara (pemimpin)”.
Adapun kekurangan feodalisme yaitu,
karena sifat kyai yang superior maka seorang kyai cenderung tidak berkenan
apabila figure baru muncul. Lebih-lebih bila figure tersebut muncul dari luar
anggota keluarga. Kecenderungan lain dari kyai adalah selalu berwatak ingin
menjadi pengasuh, baik di lingkungan pesantren maupun di luar pesantren. Sehingga
bila ada kondisi yang bertentangan dengan apa yang diyakini kyai, maka kyai
berkehendak mengatasinya. Kepercayaan yang berlebih kerap kali melahirkan
arogansi dan memancing perlawanan dari pihak lain.[3]
Selain itu tidak ada seorang pun yang
berani melawan kekuasaan dan otoritas seorang kyai yang disini berkedudukan
sebagai orang yang memimpin pesantren. Otoritas kyai yang sangat kuat meinmbulkan
tingkatan antara santri dan kyai. Santri tidak boleh melangkahi kyai. Hal yang
demikian akan membawa dampak tertutupnya kreatifitas santri, meskipun
sebetulnya mobilitas vertikal umat Islam lebih terbuka dibandingkan denga
agama-agama lain.[4]
Tampilnya figur kyai yang demikian
tidak lepas dari kultur yang terbangun di dunia pesantre yang
sentralistik-feodal, semua kebijakan ada di tangan kyai, para pengurus pondok
sebatas eksekutor kebijakan kyai. Berbagai tata tertib dan aturan dibuat sesuai
kehendak kyai tanpa adanya forum musyawarah. Maka tidak heran bila ada sebutan
bahwa kyai adalah raja-raja kecil, dan tidak jarang bagi yang melanggar
aturannya sering kali mendapat hukuman di luar batas pola pendidikan yang
membebaskan.
D.
Akibat Budaya Feodal
Budaya feodal sebenarnya berasal dari
negara kolonial Belanda yang diwariskan kepada bangsa Indonesia saat mereka
berkuasa. Budaya feodal digunakan Belanda untuk mengatur daerah jajahannya, dan
cenderung bersifat memaksakan kehendak guna memperoleh kekuasaan.
Konflik akibat sikap feodal kyai di
dunia pesantre berpola sama dengan konflik perebutan pengaruh umat, yakni
sama-sama berusaha melanggengkan kekuasaannya. Dalam perspektif sistem sosial,
bentuk feodalisme kyai pesantren terbangun atas kultur yang sudah sejak dulu
berlangsung terus-menerus sampai saat ini, dan ditopang juga dengan tidak
adanya sistem suksesi kepemimpinan, karena secara individu kyai berusaha untuk
mempertahankan keberadaannya dengan menjalankan watak feodal dan individual. Sikap
otoriter seorang kyai seringkali muncul ketika ia menganggap sesuatu yang ada
dihadapannya adalah ancaman. Maka ia akan berusaha untuk menyingkirkan ancaman
tersebut melalui sikap otoriternya tadi.
Perilaku feodal dapat memunculkan
konflik yang bermula dari kepentingan sesama kyai, sesama pengasuh, atau sesama
anak kyai dalam sebuah pesantren. Konflik kian parah ketika mereka mengikutsertakan
santri agar menjadi pengikutnya. Cakupan konflik pun melebar sehingga antar
pengikut saling berseteru. Jika hal ini terus berlanjut maka akan menimbulkan
konflik yang tidak hanya kerugian harta, tapi bisa juga menelan korban jiwa.
E.
Cara Menghilangkan Budaya
Feodalisme di Pesantren
Hal pertama yang perlu dilakukan
adalah menyusun ulang pemahaman tentang sosok kyai. Perlu dipahami bahwa kyai
bukanlah Nabi yang tidak memiliki salah sedikitpun. Bagaimanapun kyai adalah
manusia yang tidak selamanya perkataan dan perbuatannya benar. Dengan begitu
sikap mengkultuskan sosok kyai pun secara berangsur-angsur berkurang. Namun demikian
bukan berarti menganggap remeh kyai, karena bagaimanapun kyai adalah sosok yang
perlu ditadzimi, akan tetapi jangan terlalu berlebihan.
Kedua, perlunya forum musyawarah
dalam setiap pengambilan keputusan. Islam sendiri menganjurkan umatnya untuk bermusyawarah
dalam setiap urusan, terlebih hal-hal yang menyangkut maslahat orang banyak. Melalui
musyawarah, diharapkan keputusan yang diambil bisa mengakomodir semua pihak dan
tidak ada salah satu golongan atau kelompok yang tidak sepakat atau merasa
dirugikan. Selain itu musyawarah juga dapat dijadikan sarana pendidikan demokrasi.
Ketiga, menumbuhkembangkan sikap
egaliter. Seorang kyai yang egaliter ternyata lebih disukai santri ketimbang
kyai yang otoriter. Sikap egaliter kyai mampu mendekatkan dirinya dengan
santri. Dengan demikian secara otomatis sikap kekeluargaan dan kebersamaan pun
akhirnya dapat terbentuk.
[1]
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer,
(Surabaya: Arkola, 1994) hal. 175
[2]
M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000)
hal. 215
[3]
Hamdan Farchan Syarifudin, Titik Rengkar Pesantren: Resolusi Konflik
mayarakat Pesantren, (Yogyakarta: Pilar Religia. 2005) hal. 108
[4]
Ahmad Rodli, Pesantren Perkotaan Studi Kasus di Lembaga Kajian Islam dan
Mahasiswa Pesantren Krapyak Yogyakarta, (Yogyakarta: Jurnal Penelitian
Agama IAIN Sunan Kalijaga, Vol. X No. 3, September 2001) hal. 37
No comments:
Post a Comment