23 July, 2014

Feodalisme di Pesantren



Islam sebagai agama yang datang sesudah Hindu dan Budha telah memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat Jawa. Meskipun ajaran Islam sudah mendominasi baik dari segi ajaran maupun budaya, namun ada juga beberapa kebudayaan non-Islam yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat Jawa, salah satunya adalah kebudayaan feodal. Memang budaya feodal saat ini tidak begitu kental (mengakar) di dalam kehidupan masyarakat jawa seperti dulu. Adapun faham feodal yang masih begitu kentara pada saat ini dapat kita lihat dalam lingkungan pesantren, terutama model pesantren klasik (tradisional).

A.    Pengertian
Feodalisme berasal dari kata feodal yang artinya penguasaan tanah/daerah/wilayah. Bisa berarti juga feodal adalah karakteristik hidup suatu masyarakat dengan corak (dipengaruhi) olah sifat kebangsawanan.[1]
Feodalisme adalah sebuah sistem perintahan dimana seorang pemimpin, yang biasanya seorang bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan juga, tetapi lebih rendah kedudukannya dan biasa disebut dengan istilah vazal. Para vazal ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vazal pada gilirannya juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi mereka upeti. Dengan begitu muncul struktur hierarkis yang berbentuk piramida.
Masyarakat Jawa, khususnya zaman dahulu mempunyai sikap hidup yang feodalistis. Mereka sangat hormat dengan keluarga bangsawan (orang-orang yang bertitel Raden Ayu, Raden Mas, Gusti Pangeran Haryo, dan lain-lain), terhadap abdi dalem, terlebih terhadap ingkang sinuhun. Sikap ini sampai sekarang masih cukup terasa, terutama pada lingkungan pemerintah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.[2]

B.     Feodalisme di pesantren
Feodalisme dalam masyarakat pesantren merupakan salah satu ciri khas sebagaimana identitas masyarakat tradisional lainnya. Feodalisme yang kental adalah pengkultusan (pengidolaan) terhadap figur seorang kyai. Dari sini terdapat keterlibatan pada pola hubungan kyai dengan santri yang vertikal. Pola pengkultusan terjadi bukan hanya terbentuk secara kultural, namun dipengaruhi juga oleh norma yang bersumber pada nilai agama Islam itu sendiri yaitu keharusan takzim (hormat) terhadap guru. Norma tersebut melahirkan derivasi (asal muasal) yang dibangun sendiri oleh masyarakat pesantren yaitu bila tidak hormat maka tidak akan mendapatkan berkah. Dari sinilah terbangun sikap kepatuhan tanpa batas. Dalam istilahnya sami’na wa atha’na (mendengar dan mematuhi segala perintah kyai). Dengan kata lain mereka (santri) menganggap bahwa segala perkataan dan perbuatan kyai adalah benar pada wajib dipatuhi.
Budaya feodalistik yang demikian menyebabkan kyai selalu ingin ditempatkan pada posisi superior (lebih tinggi). Superioritas kyai secara tidak sadar melahirkan karakter kepribadian individualis yang tidak mau orang lain ikut campur dan kyai cenderung tidak suka bila ada orang yang lebih tinggi di atasnya.
Budaya feodal cenderung terlihat pada pondok pesantren yang masih tradisional. Hal ini disebabkan karena pesantren tradisional memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Tidak memiliki manajemen dan administrasi modern, sistem pengelolaan pesantren berpusat pada aturan yang dibuat kyai dan diterjemahkan oleh pengurus-pengurus pondok pesantren.
2.      Terikat kuat pada figur kyai sebagai tokoh sentral, setiap kebijakan pondok mengacu pada wewenang yang diputuskan kyai.
3.      Pola dan sistem pendidikan bersifat konvensional, berpijak pada tradisi lama dan metode pengajaran bersifat satu arah yaitu kyai menjelaskan dan santri mendengarkan dengan seksama.
4.      Bangunan asrama santri tidak tertata rapi, masih menggunakan bangunan kuno atau bangunan kayu. Pondok pesantren menyatu dengan masyarakat sekitar, tidak ada pembatas yang memisahkan wilayah pondok pesantren dari lingkungan masyarakat sekitarnya.

C.     Kelebihan dan Kekurangan Feodalisme di Pesantren
Feodalisme tidak selamanya jelek. Feodalisme dapat menunjukkan kewibawaan seseorang. Pada konsep demokrasi yang di dalamnya tidak ada kharisma, maka konflik pun tidak dapat terhindarkan. Oleh karena itu seorang kyai harus memiliki kharisma karena dia merupakan sosok panutan yang bisa diandalkan, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Dua hal yang menyebabkan negara kuat yakni adanya ulama dan umara (pemimpin)”.
Adapun kekurangan feodalisme yaitu, karena sifat kyai yang superior maka seorang kyai cenderung tidak berkenan apabila figure baru muncul. Lebih-lebih bila figure tersebut muncul dari luar anggota keluarga. Kecenderungan lain dari kyai adalah selalu berwatak ingin menjadi pengasuh, baik di lingkungan pesantren maupun di luar pesantren. Sehingga bila ada kondisi yang bertentangan dengan apa yang diyakini kyai, maka kyai berkehendak mengatasinya. Kepercayaan yang berlebih kerap kali melahirkan arogansi dan memancing perlawanan dari pihak lain.[3]
Selain itu tidak ada seorang pun yang berani melawan kekuasaan dan otoritas seorang kyai yang disini berkedudukan sebagai orang yang memimpin pesantren. Otoritas kyai yang sangat kuat meinmbulkan tingkatan antara santri dan kyai. Santri tidak boleh melangkahi kyai. Hal yang demikian akan membawa dampak tertutupnya kreatifitas santri, meskipun sebetulnya mobilitas vertikal umat Islam lebih terbuka dibandingkan denga agama-agama lain.[4]
Tampilnya figur kyai yang demikian tidak lepas dari kultur yang terbangun di dunia pesantre yang sentralistik-feodal, semua kebijakan ada di tangan kyai, para pengurus pondok sebatas eksekutor kebijakan kyai. Berbagai tata tertib dan aturan dibuat sesuai kehendak kyai tanpa adanya forum musyawarah. Maka tidak heran bila ada sebutan bahwa kyai adalah raja-raja kecil, dan tidak jarang bagi yang melanggar aturannya sering kali mendapat hukuman di luar batas pola pendidikan yang membebaskan.

D.    Akibat Budaya Feodal
Budaya feodal sebenarnya berasal dari negara kolonial Belanda yang diwariskan kepada bangsa Indonesia saat mereka berkuasa. Budaya feodal digunakan Belanda untuk mengatur daerah jajahannya, dan cenderung bersifat memaksakan kehendak guna memperoleh kekuasaan.
Konflik akibat sikap feodal kyai di dunia pesantre berpola sama dengan konflik perebutan pengaruh umat, yakni sama-sama berusaha melanggengkan kekuasaannya. Dalam perspektif sistem sosial, bentuk feodalisme kyai pesantren terbangun atas kultur yang sudah sejak dulu berlangsung terus-menerus sampai saat ini, dan ditopang juga dengan tidak adanya sistem suksesi kepemimpinan, karena secara individu kyai berusaha untuk mempertahankan keberadaannya dengan menjalankan watak feodal dan individual. Sikap otoriter seorang kyai seringkali muncul ketika ia menganggap sesuatu yang ada dihadapannya adalah ancaman. Maka ia akan berusaha untuk menyingkirkan ancaman tersebut melalui sikap otoriternya tadi.
Perilaku feodal dapat memunculkan konflik yang bermula dari kepentingan sesama kyai, sesama pengasuh, atau sesama anak kyai dalam sebuah pesantren. Konflik kian parah ketika mereka mengikutsertakan santri agar menjadi pengikutnya. Cakupan konflik pun melebar sehingga antar pengikut saling berseteru. Jika hal ini terus berlanjut maka akan menimbulkan konflik yang tidak hanya kerugian harta, tapi bisa juga menelan korban jiwa.

E.     Cara Menghilangkan Budaya Feodalisme di Pesantren
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menyusun ulang pemahaman tentang sosok kyai. Perlu dipahami bahwa kyai bukanlah Nabi yang tidak memiliki salah sedikitpun. Bagaimanapun kyai adalah manusia yang tidak selamanya perkataan dan perbuatannya benar. Dengan begitu sikap mengkultuskan sosok kyai pun secara berangsur-angsur berkurang. Namun demikian bukan berarti menganggap remeh kyai, karena bagaimanapun kyai adalah sosok yang perlu ditadzimi, akan tetapi jangan terlalu berlebihan.
Kedua, perlunya forum musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan. Islam sendiri menganjurkan umatnya untuk bermusyawarah dalam setiap urusan, terlebih hal-hal yang menyangkut maslahat orang banyak. Melalui musyawarah, diharapkan keputusan yang diambil bisa mengakomodir semua pihak dan tidak ada salah satu golongan atau kelompok yang tidak sepakat atau merasa dirugikan. Selain itu musyawarah juga dapat dijadikan sarana pendidikan demokrasi.
Ketiga, menumbuhkembangkan sikap egaliter. Seorang kyai yang egaliter ternyata lebih disukai santri ketimbang kyai yang otoriter. Sikap egaliter kyai mampu mendekatkan dirinya dengan santri. Dengan demikian secara otomatis sikap kekeluargaan dan kebersamaan pun akhirnya dapat terbentuk.



[1] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994) hal. 175
[2] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000) hal. 215
[3] Hamdan Farchan Syarifudin, Titik Rengkar Pesantren: Resolusi Konflik mayarakat Pesantren, (Yogyakarta: Pilar Religia. 2005) hal. 108
[4] Ahmad Rodli, Pesantren Perkotaan Studi Kasus di Lembaga Kajian Islam dan Mahasiswa Pesantren Krapyak Yogyakarta, (Yogyakarta: Jurnal Penelitian Agama IAIN Sunan Kalijaga, Vol. X No. 3, September 2001) hal. 37

No comments:

Post a Comment