Indonesia
merupakan negara yang plural, kaya akan ragam budaya, yang meliputi bahasa,
kesenian, rumah adat, cara berpakaian, serta simbol-simbol budaya lain yang
berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Hal ini secara tidak langsung
juga mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia. Sebagai agama pendatang,
yang datang sesudah agama Hindu dan Budha, maka Islam berusaha berbaur dengan cara
menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat (akulturasi). Tentu saja
penyesuaian tersebut tidak menghilangkan esensi ajaran Islam itu sendiri. Akan
tetapi tetap saja menimbulkan wajah Islam yang beraneka ragam, dalam artian
antara satu daerah dengan daerah lain memiliki ciri khas ke-Islaman tersendiri.
Adanya perbedaan
“wajah” Islam tersebut terkadang menimbulkan sebuah pertanyaan menggelitik yang
jika dibiarkan saja bisa jadi menjadi bom waktu perpecahan dalam Islam itu
sendiri. Pertanyaan tersebut menyangkut tentang “wajah” Islam yang sebenarnya,
yaitu Islam yang menurut Al Qur’an dan Hadits. Islam yang sebenarnya Islam, bukan
Islamnya (sebagai contoh) NU ataupun Muhammadiyah sebab pada zaman Rosululloh
SAW tidak ada Islam NU dan Muhammadiyah. Dan tidak akan pernah ditanyakan di
alam kubur kelak Islam kita NU atau Muhammadiyah. Bahkan kanjeng Nabi SAW
sendiri pun tidak mengenal NU dan Muhammadiyah.
Mungkin kita
juga dibuat bingung oleh peristiwa-peristiwa yang menimpa umat Islam
akhir-akhir ini. Ada beberapa kelompok yang sama-sama mengatasnamakan Islam saling
serang satu sama lain. Padahal sama-sama Islam. Bahkan ada yang secara
terang-terangan mengkafirkan saudaranya sendiri. Naudzubillah. Ada juga yang
rela mati dengan cara melakukan bom bunuh diri, hanya dengan diiming-imingi
surga abadi. Jika ditanya alasannya dalihnya jihad suci. Saya jadi teringat
sebuah anekdot yang saya sendiri lupa darimana dapatnya, jd mohon maaf jika
tidak saya sebutkan sumbernya.
Ada seorang pemuda bertanya kepada
Ustad.
“Pak Ustad, kalau ada orang Islam
yang melakukan bom bunuh diri di gereja, nanti ia masuk surga atau neraka.”
Ustad menjawab, “Masuk neraka.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Kalau Islam kenapa meninggalnya di
gereja. Malaikat pasti akan mengira ia sudah murtad sehingga akan memasukkannya
ke dalam neraka.”
Cerita di atas
hanyalah sebuah selingan guna menyegarkan pikiran. Yang menjadi permasalahan
sebenarnya adalah bagaimana agar kita bisa memahami Islam yang sebenarnya,
bukan Islam sebatas dipermukaan. Berikut beberapa metode yang bisa digunakan
dalam memahami Islam:
1.
Metode Pendekatan Komparasi
Pendekatan komparasi adalah mengenal Allah dan
membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain. Cara lainnya adalah
dengan mempelajari kitab Al Qur’an dan membandingkannya dengan kitab-kitab
samawi lainnya.[1] Mempelajari agama lain
tidaklah dilarang. Justru dengan cara seperti itu akan menambah pengetahuan dan
meningkatkan kualitas keimanan kita.
2.
Metode Pemahaman Islam secara
menyeluruh
Metode ini dikemukakan oleh Nasruddin Razak, yaitu suatu
cara yang ditempuh dalam upaya menghindari kesalahpahaman yang dapat
menimbulkan sikap dan pola hidup beragama yang salah pula. Untuk memahami Islam
secara benar ini terdapat 4 cara:
a.
Islam harus dipelajari dari
sumbernya yang asli yaitu Al Qur’an dan As Sunah (hadits) Rosulullah SAW. Kekeliruan
memahami Islam karena orang hanya mengenal Islam dari satu sudut pandang atau
hanya belajar pada satu ulama yang mungkin terlalu fanatik.
b.
Islam harus dipelajari secara
integral, bukan parsial. Artinya Islam dipelajari secara menyeluruh sebagai
satu kesatuan yang bulat tidak setengah-setengah. Memahami Islam secara parsial
akan membahayakan, menimbulkan sikap skeptis, bimbang, dan penuh keraguan.
c.
Islam perlu dipelajari dari
kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, dan sarjana-sarjana Islam,
karena pada umumnya mereka memiliki pemahaman Islam yang baik.
d.
Islam hendaknya dipelajari dari
ketentuan normatif teologi yang ada di dalam al Qur’an, baru kemudia
dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang ada di
masyarakat.
3.
Pendekatan Tipologi
Pendekatan ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap
obyektif, berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu
dibandingkan dengan topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Metode ini
dapat digunakan untuk memahami agama Islam.
4.
Metode selanjutnya untuk memahami
Islam ialah dengan meneliti suasana dan situasi di mana Nabi Muhammad SAW diutus.
Misalnya apakah beliau diutus sebagai Nabai tanpa tindakan-tindakan
pendahuluan. Apakah ada orang yang mengharapkan akan bangkitnya seorang Nabi,
dan lain sebagainya.
[1]
Ali Syari’ah, Tentang Sosiologi Islam, Terj. Saiyulah Mahyuddin, dari judul
asli On The Sociology of Islam, (Yogyakarta: Anands, 1982), hal. 72
Anda mungkin juga ingin membaca :
No comments:
Post a Comment