Oleh : Badrun Kartowagiran
Pendahuluan
Guru memiliki peran strategis dalam bidang
pendidikan, bahkan sumber daya pendidikan lain yang memadai sering kali kurang
berarti apabila tidak didukung oleh guru yang berkualitas, dan begitu juga
sebaliknya. Dengan kata lain, guru merupakan ujung tombak dalam upaya
peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan. Dalam berbagai kasus,
kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru
(Beeby, 1969). Untuk itu, peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan
melalui upaya peningkatan kualitas guru.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualifikasi pendidikan minimal, utamanya, bila mengacu pada amanat UU RI No. 14/2005 Tentang Guru dan Dosen (UUGD), dan PP RI No. 19/2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). UUGD dan PP tersebut mengamanatkan kualifikasi pendidikan minimal D4 atau S1. Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (Balitbang Depdiknas) pada tahun 2005 menunjukkan terdapat 1.646.050 (69,5%) guru SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualifikasi pendidikan minimal, utamanya, bila mengacu pada amanat UU RI No. 14/2005 Tentang Guru dan Dosen (UUGD), dan PP RI No. 19/2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). UUGD dan PP tersebut mengamanatkan kualifikasi pendidikan minimal D4 atau S1. Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (Balitbang Depdiknas) pada tahun 2005 menunjukkan terdapat 1.646.050 (69,5%) guru SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal.
Gambaran rinci secara kuantitatif besaran
persentase keadaan kualifikasi pendidikan minimal guru di atas sesuai dengan
jenjang persekolahannya adalah sebagai berikut:
1. Guru TK yang tidak memenuhi kualifikasi
pendidikan minimal sebesar 91,54%, dengan sebagian besar 70,09% berijazah SLTA
dan D1, berijazah D2 sebanyak 21,45%.
2. Guru SD yang tidak memenuhi kualifikasi
pendidikan minimal sebesar 90,98%, yang meliputi sebanyak 44,28% berijazah SMA
dan D1, dan sebanyak 43,69% berijazah D2, sebanyak 3,01% berijazah D3.
3.
Di tingkat SMP, jumlah guru yang tidak memenuhi
kualifikasi pendidikan minimal sebesar 48,05%, yang terdiri atas 6,73% berijazah
SLTA/D1, sebanyak 17,94% berijazah D2, dan sebanyak 23,42% berijazah D3.
4. Di tingkat SMA, terdapat 28,84% guru yang belum
memiliki kualifikasi pendidikan minimal, yakni sebanyak 0,95% berijazah
SLTA/D1, sebanyak 2,94% berijazah D2, dan 23,95% berijazah D3.
5. Di tingkat SLB terdapat 59,59% guru yang belum
memiliki kualifikasi pendidikan minimal, yaitu sebanyak 54,63% berijazah
SLTA/D1, dan sebanyak 4,96% berijazah D3.
Pada pasal 8 UUGD, dan Pasal 28 PP
RI No. 19/2005, selain mempersyaratkan kualifikasi akademik minimal D4/S1 bagi
seorang guru, guru juga harus memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran
pada jenjang pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah. Kompetensi sebagai
agen pembelajaran ini meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional,
dan sosial. Hal ini dapat dikatakan bahwa seseorang yang sudah memiliki
kualifikasi pendidikan minimal belum berhak menjadi guru, bila belum memenuhi
persyaratan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Oleh karena itu apabila
seseorang ingin menjadi guru dipersyaratkan harus memenuhi kualifikasi
pendidikan minimal dan memiliki kompetensi minimal sebagai agen pembelajaran.
Pemenuhan persyaratan kualifikasi pendidikan minimal ini dibuktikan dengan
ijazah dan pemenuhan persyaratan kompetensi sebagai agen pembelajaran
dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Selanjutnya dalam Ayat (2) Pasal 11
UUGD disebutkan bahwa sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan
tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi
dan ditetapkan oleh pemerintah. Sertifikasi ini harus dilaksanakan secara
objektif, transparan, dan akuntabel.
Pelaksanakan Uji Sertifikasi
Istilah sertifikasi di kancah dunia
pendidikan kita sebenarnya sudah dikenal sejak dulu. Namun secara resmi dan
ramai didiskusikan lagi setelah UU RI No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) secara tegas memuatnya. Misalnya, pada pasal
42 ayat (1) UU Sisdiknas disebutkan bahwa pendidik harus memilikikualifikasi
akademik minimum dan sertifikat pendidik sesuai dengan jenjang kewenangan
mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, pembahasan, perencanaan, dan
pelaksanaan sertifikasi guru ke depan juga harus selalu dikaitkan dan atau mengacu
pada keberadaan dan isi amanat UU Sisdiknas itu. Di samping acuan ini, acuan
formal lain yang terkait dengan program sertifikasi guru adalah UU Guru dan
Dosen No. 14/2005, dan PP No. 19/2005.
Di beberapa negara maju, istilah
sertifikasi bagi masyarakatnya sudah tidak asing lagi, utamanya yang terkait
dengan upaya melakukan pengendalian mutu (quality control) dari suatu
hasil proses pendidikan. Di Amerika Serikat, National Commision Educational
Services (NCES) secara umum memberikan batasan sertifikasi, yaitu “sertification
is a procedure where by the state evaluates and review a teacher candidate’s
credentials and provides him or her a license to teach” (Illinois State
Board of Education, 2003). Dalam kaitan ini, ditingkat negara bagian (Amerika
Serikat) terdapat badan independen yang disebut The American Association of
College fot Teacher Education (AACTE). Badan independen ini yang berwenang
menilai dan menentukan apakah ijazah yang dimiliki oleh calon guru layak atau
tidak layak untuk diberikan lisensi guru.
Di Inggris, istilah sertifikasi
didefinisikan sebagai berikut, “Certification is designed for candidates who
have gained the competencies, skills, and knowledge ...” (Brown, 2003). Sementara
itu menurut Webster Dictionary: A certification is a designation earned by a
person, product or process. Certification may be a synonym for licensure but
more often licensure applies only to persons and is required by law (whereas
certification is generally voluntary). Certification of person indicates that
the individual has a specific knowledge, skills, or abilities in the view of
the certifying body.
Di Indonesia, menurut UU RI No.
14/2005 tentang Guru dan Dosen, sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang
telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen
pembelajaran. Sertifikat pendidik diberikan kepada seseorang yang telah
menyelesaikan program pendidikan profesi pendidik dan atau lulus uji
sertifikasi guru. Dalam hal ini, uji sertifikasi guru dimaksudkan sebagai
pengendalian mutu hasil pendidikan, sehingga seseorang yang dinyatakan lulus
dalam uji sertifikasi guru diyakini mampu melaksanakan tugas mendidik,
mengajar, melatih, membimbing, dan menilai hasil belajar peserta didik.
Secara eksplisit dapat dikatakan
bahwa tujuan sertifikasi guru adalah menentukan kelayakan seseorang dalam
melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan meningkatkan profesionalisme
guru. Dengan demikian sertifikasi guru dapat:
1. Melindungi profesi pendidik dari praktik-praktik
yang tidak kompeten, sehingga merusak citra profesi pendidik.
2.
Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan
yang tidak berkualitas.
3.
Menjadi wahana penjaminan mutu pagi PTK, dan
kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan.
4. Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari
keinginan internal dan tekanan eksternal yang menyimpang.
Menyimak uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa dengan adanya sertifikasi maka kualitas guru sebagai agen
pembelajaran meningkat, pada gilirannya mutu pendidikan juga meningkat. Selanjutnya,
guru yang profesional berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan minimum
dan jaminan kesejahteraan sosial. Guru yang telah memiliki sertifikat pendidik
akan memperoleh tunjangan profesi setara dengan satu kali gaji pokok guru yang
diangkat oleh penyelenggara dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh masyarakat.
Dengan adanya tunjangan profesi bagi
guru yang memiliki sertifikat pendidik ini maka antusias guru untuk mengikuti
uji sertifikasi ini sangat tinggi. Hal inilah yang karang-karang membuat guru
tidak sabaran untuk menunggu antrian masuk kuota, mengikuti prosedur yang telah
ditentukan.
Menurut Permendiknas nomor 18 tahun
2007 tentang Sertifikasi Guru, uji sertifikasi guru dalam jabatan dilakukan
dengan cara penilaian portofolio yang dikumpulkan guru. Dalam hal ini,
portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman berkarir
guru yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval
waktu tertentu. Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman, karya, dan
prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen
pembelajaran (kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial).
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional RI No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan,
komponen portofolio meliputi:
1.
Kualifikasi akademik
2.
Pendidikan dan pelatihan
3.
Pengalaman mengajar
4.
Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
5.
Penilaian dari atasan dan pengawas
6.
Prestasi akademik
7.
Karya pengembangan profesi
8.
Keikutsertaan dalam forum ilmiah
9.
Pengalaman organisasi di bidang kependidikan
dan sosial
10.
Penghargaan yang relevan dengan bidang
pendidikan
Fungsi portofolio dalam sertifikasi
guru (khususnya guru dalam jabatan) adalah untuk menilai kompetensi guru dalam
menjalankan tugas dan perannya sebagai agen pembelajaran. Kompetensi pedagogik
dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan
pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Kompetensi
kepribadian dan kompetesi sosial dinilai antara lain melalui dokumen penilaian
dari atasan dan pengawas. Kompetensi profesional dinilai antara lain melalui
dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar,
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, dan prestasi akademik. Portofolio juga
berfungsi sebagai:
1. Wahana guru untuk menampilkan dan/atau
membuktikan unjuk kerjanya yang meliputi produktivitas, kuallitas, dan
relevansi melalui karya-karya utama dan pendukung
2. Informasi/data dalam memberikan pertimbangan
tingkat kelayakan kompetensi seorang guru, bilai dibandingkan dengan standar
yang telah ditetapkan
3. Dasar menentukan kelulusan seorang guru yang
mengikuti sertifikasi (layak mendapatkan sertifikat pendidik atau belum)
4. Dasar memberikan rekomendasi bagi peserta yang
belum lulus untuk menentukan kegiatan lanjutan sebagai representasi kegiatan
pembinaan dan pemberdayaan guru.
Syarat Asesor
Penilaian portofolio dilakukan oleh
asesor yang diangkat oleh LPTK dengan kriteria sebagai berikut:
1. Warga negara Indonesia yang berstatus sebagai
dosen, diutamakan yang telah mengikuti pelatihan/pembekalan asesor.
2.
Sehat jasmani dan rohani, sehingga mampu
melaksanakan tugas dalam menilai portofolio.
3. Memiliki komitmen, kinerja yang baik, dan
sanggup melaksanakan penilaian portofolio guru secara objektif.
4. Berpendidikan minimal S2 (dapat S1 kependidikan
dan S2 kependidikan,; atau S1 kependidikan dan S2 nonkependidikan; atau S1 non
kependidikan dan S2 kependidikan, atau S1 dan S2 nonkependidikan yang sudah
memiliki Akta V atau sertifikat Applied Approach).
Sertifkasi Guru Meningkatkan Mutu Guru?
Kalau ada pertanyaan apakah
sertifikasi guru dapat menjamin meningkatnya kualitas atau mutu guru? Jawaban pertanyaan
ini sama dengan jawaban dari pertanyaan: apakah sholat dapat menjamin seseorang
tidak melakukan hal-hal yang fasakh dan mungkar?
Jawabannya adala YA, bila
sertifikasi dilaksanakan sesuai dengan rencana, tidak ada atau kecil sekali
penyimpangan yang berupa manipulasi dokumen portofolio guru, penilaian yang
tidak akurat dari asesor, dan atau permainan suap dari siapapun. Hal ini bisa
difahami karena dengan adanya sertifikasi, guru harus memiliki kualifikasi
akademik S1/D4, tidak hanya D2 ataupun D3. Guru harus membuat persiapan
mengajar yang baik karena akan dinilai oleh asesor, berusaha mengajar dengan
baik karena dinilai oleh atasan dan pengawas, harus aktif mengikuti pelatihan
yang mungkin saja malas bila tidak ada sertifikasi guru. Selain itu guru juga
dituntut mampu berkomunikasi dengan masyarakat supaya dapat dipercaya menjadi
pengurus organisasi pendidikan dan sosial.
Hal lain yang perlu diingat adalah
sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan
tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua pihak bahwa
sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahaman ini
akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk
mencapai kualitas.
Kalau seorang guru kembali masuk
kampus untuk meningkatkan kualifikasinya, maka belajar kembali ini bertujuan untuk
mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehingga mendapat ijazah
S1. Ijazah S1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara
yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajarn dan telah
mendapatkan tambahan ilmu dan keterampilan baru.
Demikian pula kalau guru mengikuti
sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan
untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi
sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru. Tunjangan profesi adalah
konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Selain itu,
juga harus disadari bahwa tunjangan ataupun kesejarhteraan itu diperoleh karena
guru meningkatkan mutu; bukan sebaliknya. Dengan menyadari hal ini maka guru
tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali
mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi sertifikasi. Berdasarkan
hal tersebut, maka sertifikasi akan membawa dampak positif, yaitu meningkatnya
mutu guru.
Secara sistem, untuk memperoleh mutu
diperlukan penjamimam dan pengontrol mutu. Kedua hal ini harus dilakukan secara
terpisah. Penjaminan mutu dilakukan oleh lembaga penyelenggara atau lembaga
pelaksana program dengan memberikan jaminan bahwa dalam proses pelaksanaan
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip, prosedur operasional baku. Sementara itu
pengendalian mutu dilakukan oleh pihak lain di luar pihak lembaga penyelenggara
yang dipercaya dan berkompeten untuk melakukan hal itu. Oleh karena itu,
penjaminan mutu pendidikan profesi pendidik dilakukan oleh LPTK sebagai
penyelenggara dan penghasil, sedangkan pengendalian mutu dilaksanakan oleh
suatu konsorsium yang beranggotakan lembaga penyelenggara dan penghasil (LPTK),
lembaga pengguna (Ditjen Didasmen, Ditjen PMPTK, Dinas Pendidikan, dan
Masyarakat), dan unsur asosiasi profesi pendidik.
Penutup
Dalam waktu yang terbatas, masih
banyak pekerjaan yang harus dikerjakan terkait dengan sertifikasi. Meskipun demikian,
semua pihak harus bekerja lebih keras, lebih jujur dan bertanggungjawab agar
kegiatan sertifikasi ini bermakna. Efektifitas dan efisiensi sertifikasi harus
selalu diusahakan agar kegiatan ini mampu meningkatkan mutu guru dan pada
gilirannya meningkatkan mutu pendidikan.
Anda mungkin juga ingin membaca :
No comments:
Post a Comment