Oleh: Khairul Fahmi*
Di antara yang menjadi isu peradaban ialah keadilan, al-'adâlah, al-'adl. Dalam al-Qur-an disebut juga istilah al-qishth atau al-mizan (keseimbangan). Dalam surah Arrahman ayat 7, kata-kata mizan dikaitkan dengan keadilan.
Ajaran Islam jika didalami secara teliti, kita dapati bahwa inti dari semua ajarannya bertumpu pada satu kata "keadilan". Mengapa demikian? Karena keadilan adalah sentra kehidupan, di mana kehidupan akan mengalami kehancurannya tanpa tegaknya keadilan. Dengan kata lain, sesungguhnya tiada kehidupan tanpa keadilan itu sendiri.
Kenyataan di atas didukung oleh ayat dalam al Qur'an (S. Ar Rahman:7-9). " Dan Allah Telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu."
Allah menggambarkan bahwa alam semesta ini ditegakkan dengan sebuah "keseimbangan" (mizan). Tanpa keseimbangan ini, alam semesta termasuk langit dengan segala perangkat celestial (kelompok planet) akan ambruk. Penggambaran ini dikembalikan kepada manusia agar tidak menghilangkan "keseimbangan" (keadilan)nya dalam hidup ini. Sebab jika itu terjadi, ambruklah kehidupannya. Manusia yang tidak adil alias zalim dalam kehidupannya akan mengalami kejatuhan, baik pada tataran individunya maupun pada skala sosialnya (moralitas). Akan ambruk pada aspek kehidupan ekonomi, politik, budaya maupun hankamnya.
Ada ungkapan menarik dari Fahmi Huwaydi (ulama terkemuka Mesir) dalam kitab Al-Qur’an wa Al-Sulthan: “Jika kita mencari padanan kata yang praktis, ringkas dan konprehensif dalam satu kata dari segala yang dikandung syariah, kita tidak akan menemukan padanan selain “keadilan”. Jika tauhid merupakan penyangga aqidah maka keadilan adalah penyangga syariah. Praktek keislaman yang benar tidak akan tuntas jika dua sisi tersebut tidak saling menguatkan. Selain itu, jika kita hanya membatasi pada salah satunya dan mengabaikan yang lain, maka hanya akan menghasilkan proses yang menyimpang dan bagaimanapun tidak akan mampu menegakkan praktek keislaman.”
Universalisme keadilan Islam terpatri dalam cakupannya, yang mencakup seluruh sisi kehidupan. Manusia, dituntut adil tidak saja dalam berinteraksi dengan sesama manusia, tapi yang lebih penting adalah adil dalam berinteraksi dengan Khaliknya dan dirinya sendiri. Kegagalan berlaku adil kepada salah satu sisi kehidupannya, hanya membuka jalan luas bagi kesewenang-wenangan kepada aspek kehidupannya yang lain. Ketidak adilan dalam berinteraksi dengan Sang Khalik misalnya justeru menjadi sumber segala bencana kehidupan. Allah menjelaskan dalam firman-Nya pada surah Ar-Ruum: 41 " Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Kerusakan-kerusakan di atas, baik di darat maupun di laut dan bahkan diangkasa luar saat ini, karena ulah manusia itu sendiri. Mengapa manusia berbuat demikian? Allah menjelaskan pada ayat selanjutnya: " Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)." (QS.Ar-Ruum; 42).
Mengabdi kepada Allah secara tidak proporsional, di luar ukuran timbangan (mizan), juga dapat mengakibatkan kezaliman pada sisi yang lain. Mungkin kepada keluarga, orang lain, atau mungkin kepada diri sendiri. Kecenderungan "rahbanist" atau menihilkan kehidupan duniawi dengan alasan ibadah adalah suatu bentuk kezaliman di sisi lain. Shalat malam secara terus menerus, puasa sunnah tanpa berhenti, sengaja tidak mencari keutamaan Allah (fadhlullah) dalam dunia kekinian (materi), bahkan sebagian menilai menikahi wanita adalah bentuk "ketidak taatan", adalah bentuk-bentuk kezaliman yang lain.
Keadilan dalam Islam juga tidak mengenal pembatas "kekeluargaan", "pertemanan" dan bahkan "permusuhan" sekalipun. Keadilan harus ditegakkan, walau itu menyentuh kepentingan diri, keluarga, teman kita sendiri. Bahkan menurut al Qur'an, tegakkan keadilan itu walau demi memberikan hak kepada siapa yang kita anggap sebagai musuh. Dengan kata lain, "like and dislike" tidak boleh menjadi ukuran dalam penegakan keadilan dalam Islam.
" Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." QS. Al Maidah: 8.
Ketika menafsirkan kalimat adil lebih dekat kepada takwa pada ayat di atas, Qurais Shihab mengingatkan bahwa keadilan dapat merupakan kata yang menunjukkan substansi ajaran Islam. Jika ada agama yang menjadikan kasih sebagai tuntunan tertinggi, Islam tidak demikian. Ini, karena kasih dan kehidupan pribadi apalagi masyarakat, dapat berdampak buruk. Misalnya kasihan pada penjahat Anda tidak menghukumnya? Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Bila perlu kasih maka dengan adil bisa mencurahkan. Jika seseorang melakukan pelanggaran maka wajar mendapat sangsi yang berat, maka kasih tidak boleh berperanan karena dapat menghambat jatuhnya ketetapan hukum atasnya. Ketika itu yang dituntut adalah adil, yakni menjatuhkan hukuman setimpal atasnya. (M. Quraish Sihab, 2006:41-42)
Menanamkan Kebiasaan Berlaku Adil Pada Anak-Anak
Bagaimana keadilan itu dapat diterapkan pada anak-anak didik sebagai generasi penerus bangsa. Menanamkan nilai-nilai keadilan pada anak didik diantaranya melalui pendidikan di rumah tangga dan di sekolah. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan di bawah ini.
1. Pendidikan di Rumah Tangga
Rumah tangga adalah pendidikan yang pertama kali dirasakan oleh anak didik, dan waktu merekapun lebih banyak berada di rumah di bandingkan di sekolah. Sehingga faktor yang paling banyak mempengaruhi jiwa anak adalah faktor keluarga di mana ia tumbuh dan berkembang.
Dalam rumah tangga kedua orang tua adalah tauladan yang sangat berpengaruh bagi anak, untuk menanamkan nilai-nilai keadilan pada anak tentunya dimulai dari diri kedua orang tua itu sendiri. Sebagai contoh, seorang ayah atau suami berlaku adil kepada istrinya, tidak memperlakukan istrinya seperti makhluk bergerak yang tidak punya hati dan perasaan. Semua pekerjaan rumah tangga mutlak diserahkan kepada istrinya, sementara suami merasa cukup dengan bekerja mencari nafkah di luar rumah, sehingga suami merasa berhak untuk dilayani dengan baik, sementara istri dijadikan sebagai pelayan tanpa memperhatikan perasaannya. Hal ini merupakan penindasan bagi seorang suami pada istrinya. Islam tidak membenarkan perbuatan seperti ini, karena dalam agama kita laki-laki atau suami yang baik adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istrinya.
Dalam hal memperlakukan anak, orang tua harus berlaku adil tidak membedakan jenis kelamin, kecantikan atau ketampanannya, baik atau buruk perangainya dalam artian tidak diskriminatif terhadap anak-anak. Nabi SAW bersabda:" Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berlaku adillah kalian terhadap anak-anak kalian" (HR. Muslim).
Sikap adil dapat mewariskan kecintaan dan kerukunan di antara saudara dan membantu meraka untuk berbakti kepada kedua orang dan mendo'akan keduanya. Berikut ini adalah sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Anas r.a. bahwa pernah ada seorang lelaki sedang bertamu kepada Nabi SAW, kemudian datanglah anak laki-lakinya, maka ia langsung mencium anak laki-lakinya itu dan mendudukkannya di atas pahanya. Tidak lama kemudian datang anak perempuannya, maka ia menyuruhnya untuk duduk di hadapannya. Melihat hal tersebut Nabi SAW bersabda:”Mengapa engkau tidak memperlakukan hal yang sama di antara mereka? (HR. Al Bazzar). (Jamal Abdur Rahman, 2005:147)
Begitu pula dalam pemberian yang bersifat materi ayah atau orang tuanya harus berlaku adil, jangan sampai karena kencederungan terhadap salah seorang di antara mereka mengabaikan yang lainnya. Akan tetapi kalau dalam hati seorang ayah yang lebih cenderung kepada salah seorang di antara mereka, hal ini tidak dipermasalahkan, yang penting orang tuanya tidak menampakkan dalam perbuatan lahiriahnya. Kalau perasaan itu nampak dalam lahiriahnya, di khawatirkan akan terjadi permusuhan di antara mereka. Dalam al Qur-an Allah memberikan pelajaran kepada kita bagaimana peristiwa Nabi Yusuf a.s. yang nyaris terbunuh oleh saudaranya sendiri karena kecemburuan mereka akan kasih yang diberikan ayahnya kepada Yusuf a.s. lebih dari yang mereka rasakan.
2. Pendidikan di Sekolah
Pendidikan di sekolah merupakan pendidikan formal yang sangat berpengaruh pada diri anak setelah pendidikan keluarga. Oleh karenanya, sekolah dapat dengan baik membentuk jiwa anak didiknya menjadi orang yang adil. Penanaman nilai-nilai keadilan terhadap anak didik tentunya dimulai dari para pendidik itu sendiri. Bagaimana seorang pendidik memperlakukan anak didiknya dengan adil, tidak pilah-pilih dalam memberikan perhatian dan pendidikan kepada mereka. Seorang pendidik benar-benar ikhlas dalam menjalankan tugasnya. Sehingga contoh yang baik ini akan mudah berkesan pada jiwa anak didiknya.
Seorang pendidik juga tidak bersifat otoriter, ingin menang sendiri, tidak memberikan ruang bagi anak didik untuk mengungkapkan perasaannya, dan tidak beranggapan bahwa anak didik sebagai objek pendidikan yang bisa di bawa kemanapun yang diinginkan oleh pendidik.
Pendidikan haruslah dilandasi dasar pendidikan yang membebaskan dalam artian yang positif, tidak mengekang kreatifitasnya dan tidak membelenggu jiwanya. Sehingga lembaga pendidikan tidak dirasakan oleh anak-anak didik sebagai penjara.
Untuk mengakhiri tulisan ini, marilah kita renungkan kisah nyata penegakkan keadilan dalam Islam, sebagai berikut:
“Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasannya kaum Quraisy dibingungkan oleh urusan seorang wanita dari Kabilah Makhzum yang kedapatan mencuri, maka mereka berkata: Siapakah yang berani memohonkan keringanan untuknya kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam? Maka Mereka berkata: Siapakah yang berani melakukannya selain Usamah orang kesayangan Rasululah shollallahu ‘alaihi wasallam lantas Usamah pun memohonkan keringanan untuknya. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Apakah engkau akan memohonkan keringanan pada salah satu hukum had/pidana (ketentuan) Allah? Kemudian beliau berdiri berkhutbah, lalu bersabda, Wahai para manusia,! Sesungguhnya yang menyebabkan orang-orang sebelum kalian binasa adalah bila ada dari orang yang terhormat (bangsawan) dari mereka mencuri maka mereka biarkan (lepaskan) dan bila orang lemah dari mereka mencuri, maka mereka tegakkan atasnya hukum had. Dan sungguh demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan potong tangannya.” (HR. An-Nasa'i ).
*Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Anda mungkin juga ingin membaca :
13.
Emansipasi
Bumi
14.
Manfaat Do’a
16.
Makna
Keadilan
25.
Berebut Benar
27.
Makna Lebaran
34.
Energi nuklir
37.
Valentine Day
38.
Selamatkan
Bumi
41.
......
No comments:
Post a Comment