19 December, 2009

Thermodinamika Psikologi Manusia dan Pentingnya Beragama


By : Anwarudin

Menjaga keseimbangan antara jasmani dan rohani tak ubahnya sebuah sistem dalam materi kimia sehingga keberadaanya bisa dikenakan hukum termodinamika. Hukum termodinamika dalam konteks ini lebih mengacu ke masalah keadaan manusia yang wujud eksistensinya terdiri dari ruh dan materi. Komposisi yang membentuk adanya "manusia" ini bila tak mendapat perhatian bisa menyebabkan ketidakstabilan "diri". Dari ketidaksetimbangan inilah yang memunculkan kekacuan manusia yang berefek pada kehidupan sosialnya.

Fenomena-fenomena yang tengah berlangsung saat ini, seperti pembunuhan, korupsi, KKN ataupun fenomena degradasi moral yang lain menunjukkan masyarakat ini tengah menuju ke arah ketidakteraturan. Jika ketidakteraturan ini tidak segera ditangani atau setidaknya ada penyekat untuk mengontrol "energi sia-sia" itu, niscaya alam semesta ini akan meluncur ketengah ketidakteraturan yang lebih besar yang sering disebut "kiamat". Kiamat adalah wujud nyata dari ketidakteraturan alam semesta, semua komponen yang menyusun makrokosmos ini sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ketidakteraturan ini dalam al-Qur'an dideskripsikan sebagai "kekacuan yang dahsyat", manusia beterbangan bagaikan anai-anai atau "gabah den interi", gunung-gunung beterbangan bagaikan bulu yang dihamburkan (QS. Al Qaari'ah 4 - 5).

Meskipun manusia adalah makhluk yang diciptakan sebagai makhluk yang sempurna tetapi perlu diketahui bahwa bahan dasar manusia adalah tanah. Manusia merupakan mahluk yang berada di tengah-tengah tingkatan (derajat) makhluk Allah yaitu derajat malaikat dan binatang. Keberadaan ini memngkinkan manusia bisa tergelincir ke dalam tingkatan-tingkatan tersebut.

Bila manusia bisa menjaga perilaku atau energi yang Allah berikan niscaya manusia akan mencapai derajat "malaikat" atau "ahsanu taqwim". Akan tetapi jika sebaliknya manusia tak mampu mengendalikan energi tersebut berarti manusia mengurangi nilai hakikat dirinya. Ini berarti hanya meningkatkan nilai entropi keadaannya. Hakikat dirinya sebagai makhluk "linuwih"-nya Allah mengalami distorsi menuju derajat binatang atau yang lebih rendah lagi.

Dengan mamahami keadaan manusia, maka kita juga diharapkan bisa memahami mengapa harus ada agama, mengapa Nabi yang diutus?

Allah SWT menyebutkan dalam firman-Nya bahwa Rosul yang diutus-Nya tak lain berfungsi sebagai kontrol perilaku manusia agar tetap berada di jalan lurus. Cak Nun menyatakan: mengapa era Nabi Adam sampai eranya Nabi Sulaiman tak ada kitab suci yang diturunkan Tuhan dan mengapa baru era Dawud dengan Zaburnya sampai era Muhammad SAW dengan Al-Qur'an baru muncul peraturan langit yang diturunkan? Itu semua tak lain karena era sebelum Dawud perilaku manusia masih dikontrol oleh nuraninya. Beliau juga mengatakan bahwa hukum langit turun tak lain karena nurani manusia sudah tak mampu bicara sehingga kehadiran hukum tak lain datang dengan keadaan terpaksa.

Sedangkan "Noe" Sabrang, anak Cak Nun, mengatakan dengan bahasa yang berbeda: kitab suci diturunkan tak lain karena tingkat kengeyelan manusia sudah melampui batas wajar, layak perdebatan filasat yang diawali era Thales sampai era filasafat modern, yang terus mengusik antara akal, agama, sains dan hal lain, yang ujung-ujungnya tak mencapi titik sepakat bahkan terkesan saling meniadakan antara kebenaran akal dan agama, roh dan materi. Dari kasus ini diperlukan sebuah pembatas untuk menghentikan debat tanpa ujung.
Dengan bahasa lain kitab suci merupakan energi pembatas (penyekat) antara wilayah kebatilan dan wilayah haq agar tidak campur aduk yang akhirnya akan menyebabkan kerancuan dalam kehidupan manusia.

Entropi dan keberadaan manusia

Hukum kedua termodinamika lahir ketika manusia mencoba memanfaatkan seluruh energi yang disuplaikan ke dalam mesin agar bisa menghasilkan energi yang setara antara yang masuk dengan keluarannya.

Era industri, pada abad ke-18, merupakan awal mula pemikiran tentang efesiensi kerja tersebut. Mesin-mesin yang diciptakan pada abad tersebut telah mengantarkan pada permasalahan baru yakni mesin yang bekerja secara siklik, artinya, akan kembali kekeadaan awal di mana setiap gerakan akan terjadi proses yang benar-benar tak reversibel. Hal ini dikarenakan uap yang didinginkan dan dibuang dari silinder pada akhir gerakan. Intinya, mesin mengambil energi panas dari sumber panas, menggunakan sebagain energi ini untuk menghasilkan kerja yang berguna, kemudian membuang sisanya melalui sumber yang lebih dingin (lingkungan). Energi yang hilang tadi tidak dapat diambil kembali oleh mesin.

Sadi Carnot, seorang perwira di korps insyiur angkatan darat Prancis di zaman Napoleon, mencoba meningkatkan efisiensi kerja mesin, membuat model fungsi kerja dengan sebuah proses kerja siklik yang diidealiasasi dan sekarang dikenal dengan siklus Karnot. Dia menyimpulkan bawa kerugian energi yang dapat diambil tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, walaupun mesin tersebut dirancang dengan sangat baik. Bahkan sekalipun mesin tersebut bekerja dalam reversibel (yang perpindahan beban luarnya terlalu lambat untuk kebutuhan praktis), efesiensinya tidak dapat melampui batas dasar yang dikenal sebagai efesiensi termodinamik. Dengan demikian dapat dikatakan tidak ada mesin yang seratus persen efisien.

Pernyataan di atas seharusnya jangan hanya ditarik dalam ranah mesin semata karena bagaimanapun juga hukum-hukum dibidang sains mempunyai korelasi dengan ranah yang lain termasuk perilaku manusia. Masalah efesiensi, Allah sering menyinggung dalam al-Qur'an. Seperti Allah bersumpah dengan menggunakan "waktu". Waktu yang Allah berikan layaknya energi yang terdapat dalam variabelnya Carnot. Waktu tidak berjalan mundur shingga muncul idiom "waktu adalah pedang", jika tak bisa menggunakan dengan baik maka watu hanya akan menyebabkan kerugian. Manusia tak mungkin menggunakan waktunya yang dua puluh empat itu secara penuh untuk bekerja pastinya dan waktu yang mengalir percuma sehingga bisa dikatakan manusia pun tidak bisa mencapai efesiensi 100%.

Allah memulai surat al-Ashar dengan sumpah "wal ashr" (demi masa), untuk membantah anggapan sebagian orang yang mempermasalahkan waktu dalam kegagalan mereka. Tidak ada yang dinamai sial atau mujur, karena yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan. M. Quraish Shihab dalam bukunya "wawasan al-Qur'an" menuliskan bahwa pengaruh baik dan buruk suatu pekerjaan tidak dipengaruhi oleh waktu karena waktu selalu bersifat netral. Manusia memang cenderung kepada nilai ketidakteraturan dibandingkan dengan sifat keteraturan. Agama yang Allah rahmatkan kepada manusia tak lain adalah suatu pembatatas untuk mengisolasi ruang gerak manusia yang jika dibiarkan bisa menimbulkan derajat entropi yang tinggi dan ini berarti nilai ketidakteraturan yang semakin tinggi.

Agama dan norma-norma yang lain ibaratnya suatu pembatas, manusia merupakan molekul-molekulnya dan ranah-ranah yang dikuasai manusia merupakan wujud dari sistem. Apabila agama dan norma-norma itu dilepaskan maka molekul-molekul akan bergerak bebas menempati lebih banyak lagi, ketidakteraturan bertambah dan entropi muncul, perilaku manusia bergerak acak, tak teratur. Meningkatnya entropi berarti meningkatnya kriminalitas, kriminolog Paul Kibuka pernah mengingatkan, bahwa kejahatan yang berkembang mempunyai kaitan erat dengan pertumbahan masyarakat yang ditandai dengan heteregonitas dan anomitas, perubahan-perubahan sosial, persaingan, orientasi materialistik dan bangkitnya kecenderungan menguatnya ambiguitas individualistik.

Anomitas mempunyai kesamaan arti dengan ketidakteraturan. Anomitas ini tengah bermunculan di tengah kehidupan masyarakat. Kerusuhan, tawuran, perampokan, pemerkosaan, korupsi merupakan tanda bahwa masyarakat telah menuju ketidakteraturan. Penyebabnya tidak lain adalah masyarakat ini mulai mencabut pembatas yang menjadi pembeda antara yang baik dengan yang buruk. Manusia tengah terjangkiti sikap permissive, asal hidup ini senang, norma-norma diterjang, sikap wedi wirang wani mati tinggal omong kosong. Jika masyarakat memang sudah tidak peka lagi kepada penyimpangan perilaku anggotanya maka kita harus siap menuju nilai entropi yang sangat dahsyat dengan ketidakteraturan mencapai titik klimaksnya yaitu hari kiamat.

Fenomena ini sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi "tidak akan terjadi hari kiamat hingga Allah mengangkat syariat-sayariat dari penduduk bumi, maka semua yang ada di bumi itu mereka tidak mengenal yang ma'ruf dan tidak mengingkari yang mungkar.

Hari kiamat memang suatu kepastian akan tetapi usaha yang baik untuk manusia adalah mengendalikan derajat entropinya agar energi yang Allah berikan menjadi bermanfaat sebagaimana ungkapan Quraisy Shihab bahwa energi bersifat netral, yang tidak adalah tujuan dari penggunaan energi tersebut, apakah bertujuan ke surga atau neraka dan manusia berhak memilihnya sedangkan Allah mempunyai hak untuk mengganjarnya. Wallahu a'lam.


Anda mungkin juga ingin membaca :

1.      Hikmah Ramadhan
5.      Manfaat Berjilbab
41.  ......

No comments:

Post a Comment