29 May, 2009

Agama dan Penyakit Jiwa Masyarakat

Oleh : Khoirul Anwar

Menyimak berita yang berkembang akhir-akhir ini hanya membuat hati kita merasa “miris” dan “trenyuh”. Bagaimana tidak! Semua berita yang kita terima tak lebih sebuah informasi yang tidak bergizi sekaligus tak menyehatkan mental masyarakat. Tetapi, berita yang kita terima adalah realita, yang disajikan bukanlah hal yang mengada-ada, merupakan potret perilaku masyarakat yang ada dilapangan.
Kasus pembunuhan, mutilasi, korupsi, perselingkuhan, penggelapan dana bantuan adalah penyakit jiwa masyarakat yang merebak di tengah-tengah kondisi sosial masyarakat yang carut marut. Seakan-akan pelaku kejahatan tersebut tdak lagi mempunyai sikap empati terhadap nasib sesama. Masyarakat lemah ditempatkan sebagai mangsa yang harus diterkam. Kalau kita cermati, perbuatan tersebut ujung ujungnya tidak lain adalah harta benda, bilamana nafsu duniawiyah dituruti tidak akan menemukan ujungnya, ”meskipun manusia sudah memiliki lembah emas, dia (manusia) masih ingin memiliki satu lembah emas lagi”, begitulah sabda Rosulullah S.A.W.
Masyarakat dewasa ini memang sedang dilanda sakit jiwa, mulai dari kalangan atas sampai strata masyarakat bawah ( grass root). Kondisi jiwa yang sakit ini tidak akan sembuh jika tidak ada kesadaran, dan inilah yang menjadi sinyal keadaan masyarakat bahwa masyarakat cenderung menjadi masyarakat yang resistan terhadap nasehat. Banyak nasehat maupun efek jera yang diterapkan oleh pemerintah baik melalui slogan (tulisan) maupun hukuman yang diekspose di media massa ternyata tak mempan untuk membunuh virus penyakit jiwa, malah sebaliknya, penyakit jiwa semakin merebak dengan format yang rapi.
Menurut hemat penulis, perilaku asusila masyarakat tidak lain disebabkan oleh hilangnya sikap malu mayarakat, sifat malu yang oleh Rosulullah ditempatkan sebagai kontrol diri, “Al haya’u khoiru kulluhu”, sebagai pertimbangan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan, sehingga Nabi pernah berkata, “ berbuatlah semaumu jika engkau sudah tidak mempunyai malu”, yang perlu digaris bawahi “malu” yang ditekankan Nabi bukanlah malu permukaannya saja alias malu-malu kucing, karena sikap “malu malu kucing” hanya akan melahirkan perilaku ”ing ngarep munduk-munduk sajake sopan tapi ing mburine keranjingan”. Malu disini adalah “malu fitrah”, yakni sikap malu yang dihembuskan Allah untuk mengontrol sikap ke-manusiaan-nya manusia agar tidak jatuh ke sikap hewaniyah meskipun wadagnya adalah organ manusia.
Selain sikap malu, nilai-nilai dari agama seharusnya lebih bisa mengontrol perilaku individu. Agama yang oleh sebagian orang ditampatkan sebagai alat untuk mempertahankan kohesi sosial sekaligus sabagai institusi kontrol paling utama dalam hubungan sosial. Agama yang dimaknai, yang tidak hanya dan seharusnya, sebagai “penyambung lidah” antara makhluk dengan kholik (hablu minna Allah) tetapi menempatkan agama sebagai alat pengikat antara kholik, makhluk dan alam. Dengan demikian bisa tercapainya keteraturan tauhid dan sosial yang harmoni. Apalagi untuk bangsa indonesia yang notabenenya bangsa yang menjujung tinggi nilai-nilai ketuhanan, yang dibuktikan dengan adanya pengakuan bahwa bangsa Indonesia adalah makhluk beragama dan wajib memeluk agama yang sesuai dengan keyakinan serta kemantaban hati.
Semua konsep yang tertuang dalam pancasila dan undang-undang dasar seolah-olah terpatahkan dengan realita yang terjadi saat ini. Ironis memang, bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang memegang teguh adab ketimuran ternyata bisa berubah menjadi bangsa barbar, menerkam sesama bangsa sendiri. Lalu kemanakah nilai-nilai “unggah-ungguh” ketimurannya saat ini? Serta dimana letak pengejawantahan nilai-nilai agama yang kita banggakan? Seharusnya bangsa ini menjadi “uswatun hasanah” bagi bangsa lain, bukan sebaliknya, yang terus berkiblat pada bangsa lain yang minim dengan nilai-nilai kereligiusannya. Sikap imitasi terhadap perilaku bangsa lain akan menjadi pembenaran kata-kata Mochtar Lubis bahwa kepribadian kita sudah terlalu lemah. Kita tiru kulit-kulit luar yang terlalu lemah kita tiru kulit-kulit luar yang mempesonakan.
Pertanyan selanjutnya, apakah bangsa ini sebetulnya adalah penganut liberalisme ketuhanan? Dimana agama hanya disimpan dalam masing-masing individu dan hanya mengenal agama jika hanya berada dalam tempat-tempat dan hari-hari besar agama, setelah itu agama digantungkan begitu saja, perlakuan ini tak lebih agama diperlakukan layaknya baju kedinasan yang hanya dipakai ditampat dan hari-hari tertentu.
Sudah saatnya kita harus mengubah sikap pandang terhadap fungsi agama demi tercapainya kehidupan yang “mawadah wa rohmah”. Apalagi ditengah-tengah kondisi masyarakat yang terjangkiti penyakit jiwa. Agama harus menjadi terapi yang bisa menyembuhkan sekaligus mencegah kambuhnya penyakit jiwa tersebut. Banyak sekali yang bisa kita ambil dari substansi agama untuk dijadikan “tombo ati”, salah satunya adalah solat.
Sholat sebagai terapi
Seperti yang difirmankan Allah S.W.T, “bacalah kitab yang telah diwahyukan kapadamu (Muhammad) dan laksanakanlah solat. Sesungguhnya solat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”. Sholat yang Allah tempatkan sebagai alat pertahanan diri terhadap perbuatan fahsya’ wa al mungkar bisa menjadi efektif jika dan hanya jika sebanding pemaknaan seseorang terhadap solatnya, apakah sebagai kewajiban , paksaan, atau kebutuhan?
Banyak buku-buku yang memaparkan dari fungsi sholat. Semuanya mencoba menggali manfaat sholat sebagai wahana penyehatan mental umat. Penyakit mental adalah penyakit yang tak terlihat tetapi dampaknya bisa kita rasakan. Penyakit jiwa adalah penyakit yang menyangkut mental diri seseorang maka cara penyembuhannya juga harus dilakukan sendiri bukan orang lain yang harus menyembuhkan.
Penyembuhan tidak cukup dilakukan sekali, apalagi penyakit mental, tetapi memerlukan sikap istiqomah dengan waktu-waktu tertentu. Oleh sebab itu dalam perintah solat tidak disebutkan bahwa solat dilaksanakan hanya sekali saja dalam seumur hidup melainkan semenjak manusia baliq hingga mendekati ajal. Mengapa sholat dilaksanakan secara istiqomah? Prof.Dr. H. Jalaluddin dalam bukunya “psikologi agama” menuliskan bahwa, ”agaknya cukup logis kalau setiap ajaran agama mewajibkan penganutnya untuk melaksanakan ajarannya secara rutin. Bentuk dan pelaksanaan ibadah agama, paling tidak akan ikut berpengaruh dalam menanamkan keluhuran budi yang pada puncaknya akan menimbulkan rasa sukses sebagai pengabdi Tuhan yang setia. Tindakan ibadah, yang dilakukan secara istiqomah, setidak-tidaknya akan memberi rasa bahwa hidup menjadi lebih bermakna.
Selain diperintahkan berlaku istiqomah dalam sholat, Allah menyuruh agar solat dilaksanakan dengan khusyu’, ”katakanlah,’Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu (kapada Allah) pada setiap solat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya sebagaimana kamu diciptakan semula”. Pentingnya sikap khusyu’ dalam solat sehingga Allah melarang solat dalam keadaan mabuk (pikiran yang tidak fokus).
Dengan solat yang istiqomah dan khusyu’ ini diharapkan bisa memberikan efek terhadap kesehatan mental masyarakat, dan yang terpenting diperhatikan adalah sikap khusyu’ jangan hanya dilakukan dalam sholat saja melainkan juga ditransformasikan dalam perilaku sehari-hari. Bukankah Allah mengancam terhadap orang-orang yang solat, yang sholatnya tidak menjiwai perilakunya dalam kehidupan sosial?
Wallahu a’lam.


Anda mungkin juga ingin membaca :

1.      Hikmah Ramadhan
5.      Manfaat Berjilbab

41.  ......

No comments:

Post a Comment