19 December, 2009

Lailatul Qodar, Al-qur'an dan Teori Relativitas

Oleh : Khoirul Anwar


Apa itu lailatul qodar? Orang akan menjawab: malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dan itulah jawaban yang penulis dapatkan ketika lailatul qodar ditanyakan ke beberapa teman Al-Qur'an sendiri memang menyebutkan demikian: malam yang nilainya setara dengan seribu bulan. Jawaban tersebut segera penulis tanggapi, memang benar lailatul qodar itu malam yang kebaikan setara dengan seribu bulan tetapi bukankah pertanyaaan dalam Al-Qur'an itu belum tuntas terjawab, bahkan terkesan kita disuruh menguak misteri pertanyaannya dari surat al-Qodar ayat satu tersebut? Coba kita simak lebih lanjut bagaimana surat tersebut memulai dialognya dengan pembaca: telah Kami turunkan pada malam kemuliaan. Bukan langsung mempertanyakan tentang lailatul qodar itu sendiri tetapi sesuatu yang telah Allah turunkan pada malam yang mulia tersebut. Tidak seperti surat-surat yang lain, seperti surat al-Qori'ah yang langsung mempertanyakan arti atau hakikat dari al-Qori'ah tersebut. Ini menandakan ada sesuatu hal yang Allah turunkan pada malam itu bukan sekedar menjelaskan apa itu lailatul qodar meskipun surat tersebut lebih terkonsentrasi mengenai arti lailatul qodar itu sendiri dan tidak menjelaskan mengenai apa yang telah Allah "anzalnahu" kan di malam itu, apalagi langsung mengacu kepada "hu", nya. Jelas ini menandakan bahwa Allah hendak mengajak kita berpikir dan menangkap sesuatu yang menjadi sebuah misteri, seolah-olah pada malam itu ada harta karun yang tersembunyi dan manusia tak diberi tahu apa wujud harta karun tersebut.

Kembali pada masalah lailatul qodar: Jawaban yang tertera dalam al-Qur'an tersebut seolah hanyalah sebuah analogi, perumpamaan, yang Allah buat untuk mengkomparasikan dengan malam-malam biasa. Seperti halnya saat kita membuat perumpamaan semisal: segelas madu itu lebih baik dari pada seribu gelas air sungai. Sebuah analogi yang hanya membandingkan dari sudut manfaat atau nilainya saja.

Begitu pula perumpaan Allah yang telah dibuat-Nya terhadap lailatul qodar dengan malam-malam yang lain, tak lain hanya membandingkan dari segi nilai, kualitas malam tersebut. Dan kalau kita baca keseluruhan ayat tersebut akan kita dapati sebuah pendeskripsian terhadap malam tersebut, sebuah penggambaran alur cerita pada malam itu, bagaimana malaikat-malaikat dan ruh mengatur segala urusan dan malam yang penuh kesejahteraan.

Surat tersebut seolah bertutur bagaimana keadaan malam tersebut dan apa arti malam tersebut. Sehingga ayat tersebut belum mengungkap mengapa dan apa yang telah Allah turunkan pada malam tersebut seperti yang telah disebutkan diawal ayat tesebut. Pertanyaan "mengapa " malam tersebut mempunyai nilai yang lebih "agung" jika dibanding dengan malam-malam biasa dan di bulan biasa pula, layaknya mengapa besi satu karung kok lebih berat dari pada kapas satu karung? Hal apa yang bisa menjadikan perbedaan tersebut. Mengapa penulis membuat pengandaian tersebut tidak lain penulis cermati adanya satu titik pandang yang sama untuk melihat antara malam al Qodar dengan malam-malam yang lain yakni titik tolak keadaan. Keadaan yang didasarkan pada rotasi bumi dan pergerakannya mengitari matahari. Karena surat tersebut memuat kata "malam" dan "bulan". Sebuah keadaan yang didasarkan pada terbit dan tenggelamnya sang surya. Inilah yang perlu kita selami makna dari malam tersebut, gerangan apa yang menyebabkan malam tersebut bernilai lebih jika dibandingkan dengan malam-malam yang lain bahkan jika dibandingkan dengan kumpulan-kumpulan hari, bulan.

Setidaknya apa yang disebutkan dalam surat al-Qodar khususnya ayat pertamanya juga telah disebutkan dalam surat ad-Dukhan ayat 3,4, "sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguhlah kami yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. Ayat ini melanjutkan ayat pertama surat tersebut yang menyebutkan bahwa Allah telah menurunkan kitab " mubiin", kitab yang nyata.

Kitab al-Qur'an diturunkan pada malam di bulan Romadhon, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an." Sehingga apa yang Allah turunkan pada malam tersebut tidak lain adalah Al-qur'an. Ibnu Abbas berkata bahwa Allah menurunkan al-Quran secara keseluruhan dari lawh mahfuzh ke baitul 'izzah di langit dunia. Kemudian al-Qur'an tersebut diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan selama 23 tahun kepada Rosulullah.

Al-Qur'an diturunkan pada malam tersebut tak lain bertujuan sebagai bentuk pengagungan terhadapnya. Sehingga jika dirunut yang menyebabkan malam itu menjadi lebih berbobot dari pada kumpulan-kumpalan malam adalah karena al-Qur'an. Karena al-Qur'an jugalah malaikat-malikat menembus cakrawala alam semesta untuk menyampaikan berkah yang telah Allah janjikan kepada siapa saja yang pada malam itu bermesraan dengan Robbnya, menyatu menghayati akan dirinya, Tuhannya juga mengapa ia harus menyembah-Nya.

Setidaknya, sampai saat ini, yang menjadi penyebab malam lailatul qodar menjadi begitu mulia, mengalahkan dengan malam-malam di hari-hari biasa, karena al-Qur'an. Pertanyaan selanjutnya: mengapa al-Qur'an kok mampu menjadi begitu mumpuni menjadikan malam tersebut hebat. Kalau dalam bahasa fisika atau ilmu sains lainnya suatu benda begitu mempunyai massa, bobot, yang berbeda dengan benda yang lain dikarenakan adanya massa jenis yang terkandung di dalamnya. Sehingga al-Qur'an jka kita analogikan dengan dunia tersebut, fisika, tentunya mempunyai komponen-komponen yang menyusunnya tentulah agung. Sehingga menjadikan al-Qur'an tersebut mempunya kuantitas dan kualitas yang 'adhim.

Dalam dirinya sendiri, al-Qur'an, disebutkan bahwa ia adalah kitab petunjuk, obat, peringatan dan masih banyak sebutan kegunaannya sehingga jika dikerucutkan ia adalah rahmatan lil 'alamin, rahmat semesta. Al-qur'an bukan semata diturunkan kepada orang Islam tetapi kepada seluruh alam, orang non muslim pun dipersilahkan untuk mentadabburinya. Jadi al-Qu'an adalah mukjizat bagi siapa saja yang mencintainya. Orang yang mencintai akan mendapatkan pancaran nur Ilahi dan bila di imani dan diselami isinya akan membawanya ke wilayah kebenaran yang benar, haqul haq.

M. Quraish Shihab dalam bukunya, Lentera Hati, menuliskan: tidak ada satu bacaan pun, selain al-Qur'an, yang dipelajari redaksinya, bukan hanya dari segi penetapan kata demi kata dalam susunannya serta pemilihan kata tersebut, tetapi mencakup arti kandungannya yang tersebut, tetapi mencakup arti kandungannya yang tersurat dan tersirat sampai kepada kesan-kesan yang ditimbulkannya dan yang dikenal dalam bidang studi al-Qur'an dengan tafsiri.

Tidak ada satu bacaan pun, selain al-Qur'an, yang diatur dan dipelajari tata-cara penulisannya, baik dari segi persesuain dan perbedaannya dengan penulisan masa kini, sampai pada mencari rahasia perbedaannya dengan penulisan masa kini, sampai pada mencari rahasia perbedaan penulisan kata-kata yang sama seperti penulisan kata "bismi" yang pada wahyu pertama ditulis dengan menggunkan huruf alif setelah ba'. Sedangkan pada ucapan bismillah ditulis tanpa alif dan kemudian ditemukan pertimbangan-pertimbangan yang sangat mengagumkan dari perbedaan-perbedaan tersebut.

Sebetulnya masih banyak ilmu yang bisa ditilik oleh manusia dari al-Qur'an, entah ia menilik dari segi sastra, sains, atau ilmu sejarahnya. Seolah al-Qur'an tak ada titik akhirnya untuk kita berhenti berjalan di atasnya. Dari celah-selah redaksinya dtemukan tiga bukti kebenaran. Pertama, keindahan, keserasian dan kesimbangan kata-katanya. Kedua, pemberitaan gaib yang diungkapkannya. Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya sungguh mengagumkan ilmuwan masa kini, apalagi yang menyampaikannya adalah seorang ummi yang tidak pandai membaca dan menulis serta hidup dilingkungan masyarakat terbelakang.

Al-qur'an merupakan sebuah titik acuan untuk melihat segala sesuatu hal. Ia adalah kerangka acuan untuk segala sesuatu yang ada di dunia ini. Kita tahu bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini, entah itu pikiran kebenaran yang dicetuskan manusia sangatlah bersifat relatif, sementara. Mungkin kebenaran yang saat ini ada kita amini sebagai sesuatu kebenaran mutlak tapi apakah ia akan langgeng nilai kebenaran tersebut jika telah di uji dengan waktu yang terus mengalir. Kalau tidak ada titik uji untuk dijadikan patokan maka akan terjadi kekacuan di tengah kehidupan manusia. Manusia akan menggunakan kerangka kebenaran sendiri, manusia hanya akan mengenal benere dewe, manusia lain dianggap salah, begitu juga manusia yang lain memandang dirinya. Manusia berada dalam dua titik: benar karena menggunakan perspektif kebenaranya sendiri. Titik salah, jika ditilik dari perspektif kebenaran orang lain.

Untuk itu lah al-Qur'an diturunkan sebagai huda, petunjuk, dijadikan pijakan dalam melihat diantara kebenaran-kebenaran tersebut. Al-Qur'an diturunkan untuk menghentikan kengeyelan-kengeyelan manusia dan kerancuan dalam menelurkan kebenarannya yang bersifat relatif tersebut.

Akankah manusia masih setia memandang al-Qur'an sebagai paradigmanya dalam memandang kebenaran di dunia ini? Ataukah ia akan sekedar menjadi bacaan rutin yang hanya berorientasi pahala yang notabenenya hanya mementingkan dirinya sendiri, yakni terbebasnya dirinya dari neraka dan mendapatkan surga. Ataukah ia akan menjadi pajangan etalase rumah-rumah sekedar menaikkan nilai dirinya dihadapan manusia supaya mendapat predikat sebagai manusia saleh? Ataukah ia memang sebuah kitab yang selalu dirindukan rahasia-rahasia yang termuat di dalamnya?. Wa'allahu a'lam.

No comments:

Post a Comment