Oleh: Muhammad Husain Aziz
Yaa ayyuhal ladzina amanu, demikian ayat 183 surat al-Baqarah menyeru, wahai orang-orang yang beriman. Siapakah seorang mukmin yang dimaksud? Mukmin adalah seseorang yang pandangannya melampaui penjara-penjara material, dan ketika dia melihat manusia yang muncul dari alam, dia tidak melihatnya terbatas pada alam yang nyata saja. Sebaliknya, dia melihat manusia sebagai sesuatu yang lebih besar dari keseluruhan alam, karena alam bersifat terbatas, sedangkan manusia, pada satu sisi, tidak terbatas dan abadi1.
Manusia yang beriman mempunyai kelebihan mutlak, mempunyai pandangan yang jauh. Visi hidup yang jernih dan menjernihkan. Misi hidup yang bersih dan membersihkan. Seorang mukmin tidak akan sibuk dan hanya disibukkan oleh sesuatu hal yang remeh, berupa dunia dan alam yang terbatas ini -penjara-penjara material-. Akan tetapi seorang mukmin akan melihat jauh di atas ini semua, yang melampaui ini semua. Mereka melihat sesuatu yang disebut dengan after life, pasca kehidupan ini. Akhirat, yang dimana surga dan neraka merupakan tempat yang kekal abadi untuk selama-lamanya. Surga akan abadi untuk seorang manusia yang menempatinya, neraka pun akan abadi untuk seorang manusia yang menempatinya. Olehnya manusia dalam keadaan tidak terbatas dan abadi.
Maka menjadi mukmin pun kita harus mulia, dan bagaimanakah mukmin yang mulia itu. Seorang mukmin yang menjalani penuh kewajiban-kewajibannya sebagaimana wajibnya seorang mukallaf. Puasa adalah salah satu halnya.
Pada ayat seterusnya dari ayat di atas disebutkan, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, la`allakum tattaqun. Bertaqwa adalah buah dari puasa yang disebutkan. Sebuah maqam atau kedudukan di mata Allah SWT yang tinggi tentunya. Karena tidak semua orang beriman mendapatkan predikat bertaqwa. Masih banyak sekali kondisi, seorang yang mengaku mukmin, beriman, akan tetapi meninggalkan kewajibannya. Memang tidak mampu kita menyebutkan hidung, bahwa dia orang yang beriman, namun tidak bertaqwa. Akan tetapi cukuplah kita menengok bagaimana realitas kondisi sosial masyarakat kita. Cukuplah kita mendengar banyak berita yang menyebutkan bahwa negara kita menjadi penyumbang terbesar koruptor. Cukuplah kita mendengar berita bahwa ketidakadilan merajalela di setiap lini kehidupan masyarakat kita. Semua ini adalah indikasi bahwa hampir dari kita semua hanya mampu menjadi orang yang katanya beriman, akan tetapi masih belum mampu menjadi orang yang bertaqwa.
Apa arti menjadi taqwa? Taqwa adalah menjalani semua perintah-Nya, dan menjauhi semua larangan-Nya. Bila puasa itu wajib, maka kita menjalaninya adalah buah dari sebuah taqwa, dan kasih sayang atau sering kita sebut rahmat; sebagaimana buah puasa kita berupa empati terhadap mereka yang berada digaris kemiskinan dan ketidakberdayaan pun merupakan sebuah kewajiban kita yang berpuasa. Maka semua hal yang menjadi larangan-Nya, berupa korupsi, nepotism, kolusi, semua hal yang merugikan ekonomi, politik kotor, dan hal lain yang menyangkut semua larangan, pastinya akan kita jauhi. Itulah sebenar-benarnya taqwa.
Dalam sebuah Munajat Sya`ban, sebuah munajat yang dihadapkan pada Allah SWT dalam menuju perjalanan Ramadhan, dan Sya`ban adalah bulan sebelum Ramadhan; penggalan doa itu disebutkan sebagaimana berikut:
Ya Allah, anugerahilah aku perpisahan total dari selain Engkau, dan keterikatan pada-Mu, dan cerahkanlah pandangan hatiku dengan pandangan yang menatap-Mu, sehingga terkoyaklah hijab cahaya dan tercapailah mata air sumber kecemerlangan, dan jiwa-jiwa kami tercekam oleh cemerlangnya kesucian-Mu. -Ketika manusia mengarahkan dirinya kepada selain Tuhan, hijab kegelapan dan hijab cahaya pun menyelimutinya. Segala macam urusan dunia yang menyebabkan manusia mengarahkan perhatiannya kepada dunia dan melupakan Tuhan Yang Maha Kuasa akan menciptakan hijab kegelapan; sesungguhnyalah, seluruh dunia wadag akan menciptakan serangkaian hijab itu. Tapi, jika urusan-urusan dunia membawa manusia untuk mengarahkan dirinya kepada realitas dan hari akhir -yaitu dunia yang akan memuliakan manusia- hijab kegelapan berubah menjadi hijab cahaya. Pemisahan total dari dunia ini tercapai jika seluruh hijab, baik hijab kegelapan maupun hijab cahaya, telah disingkapkan atau dikoyakkan; dan memberi kesempatan kepada manusia untuk memasuki tempat persinggahan ilahiah, yaitu ‘mata air kecemerlangan’2-
Sebuah doa yang mengajarkan kepasrahan total dan bersih. Kepasrahan suci nan menyegarkan batin. Bahwa bulan Ramadhan yang dituju adalah bulan yang di sana hilang semua keinginan maupun tujuan selain Allah SWT. Semuanya hanya untuk menghadap kepada-Nya. Hilang semua motivasi, selain motivasi kepada-Nya. Kita diritualkan berpuasa hanya untuk mengharapkan pahala dari-Nya, bukan pamer terlebih pamer ketaqwaan. Bulan dimana kesucian hati dan kebersihan pikiran menjadi tujuan utama. Bilamana kesucian hati dan kebersihan pikiran telah didapatkan, maka berbahagialah sang manusia. Bulan ibadah, yang tertutup semua keinginan kecuali hanya beribadah kepada-Nya. Bulan dimana setiap detailnya merupakan ibadah, bila benar kita semua menjalani-Nya. Hingga konon tidurnya seorang yang berpuasa pun adalah ibadah.
Muliakanlah bulan Ramadhan ini dengan menjadi pribadi yang mulia, dengan rumus sederhana di atas, yaitu menjadi mukmin yang mulia; yang dalam surat al-`Asr disebut sebagai pelaku kebaikan, pemberi nasehat kebenaran, dan pemberi nasehat dalam kesabaran. Pribadi yang bertuturkan motivasi dalam kebenaran dan kesabaran. Bukan pribadi yang menggunjing dan mencela. Bukan pribadi yang nyinyir dan kata-katanya menyakiti liyan.
Pun menjadi muttaqin yang mulia, yang telah terbiasa tergodok oleh puasa. Terbiasa dalam menjalani semua perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Hingga pasca itu semua, ketika semua kejahatan, keburukan mencapai taraf minimal. Dimana tidak ada lagi garis kemiskinan akut, karena yang di sana tidak lagi terbiasa korupsi. Hingga laku korup menjadi nihil, dan sang muttaqin menjadi suka pada shodaqoh dan zakat yang telah menjadi kewajibannya. Adanya hanyalah kebaikan dan kebaikan, yang ada adalah kesejahteraan dan kesejahteraan. Muttaqin mulia telah berhasil, maka ketinggian Islam tak perlu lagi diragukan.
Akhirnya, semoga dan semoga, Ramadhan ini tidak hanya sekedar Ramadhan seperti biasanya. Hanya mengundang lapar dan haus. Semoga Ramadhan ini lebih dan lebih lagi mendekatkan kita semua kepada pribadi mukmin dan muttaqin; yang keutamaannya berkali-kali disebutkan dalam al-Qur`an. Pribadi mukmin dan muttaqin yang mampu merubah kondisi seluruh lapisan masyarakat dimanapun mereka berada. Mengeluarkan yang buruk, meninggalkannya, dan memasukkan yang baik, dan menjadikan kebaikan sebagai laku utama. Bila semua itu belum mampu kita maksimalkan, maka bolehlah kita akan bertanya, mana yang salah dari ini semua. Bertanyalah, bertanyalah! Untuk menemukan jawabannya. Karena al-Ghazali menyatakan, “orang yang tidak pernah merasakan keraguan tidak akan pernah sampai kepada kepastian.3”
1 Muhammad Khatami, Membangun Dialog Antarperadaban, Harapan dan Tantangan.
2 Munajat Sya`ban berikut keterangannya, disarikan dari seorang tokoh.
3 Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim
Artikel lain :
Kepribadian Manusia dalam Al Qur'an
Anda mungkin juga ingin membaca :
13.
Emansipasi Bumi
14.
Manfaat Do’a
16.
Makna
Keadilan
25.
Berebut Benar
27.
Makna Lebaran
34.
Energi nuklir
37.
Valentine Day
38.
Selamatkan
Bumi
No comments:
Post a Comment