Oleh : Khoirul Anwar*
Saat masih kecil seringkali kita dinasehati oleh orang tua atau guru ngaji kita bahwa puasa Ramadhan merupakan bentuk empati kita terhadap kaum papa yang kehidupan sehari-harinya memang serba kekurangan, baik hal makan maupun kebutuhan hidup yang lain. Sehingga kita disuruh untuk berpuasa agar bisa ikut merasakan bagaimana menjalani kehidupan yang serba kekurangan tersebut. Penjelasan dari orang tua maupun dari guru ngaji kita perlu di koreksi ulang, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap mereka yang telah menuntun kita ke jalan spiritualitas, dengan beberapa pertanyaan. Jika puasa Ramadhan merupakan bentuk empati kita, mengapa puasa harus dilakukan dalam bulan Ramadhan dan cuma satu bulan dalam satu tahun? Selain itu mengapa kita juga dilarang makan minum mulai terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, bukankah orang-orang miskin makannya bisa sewaktu-waktu yang penting ada makanan untuk dimakan, terus kita juga dilarang berkata kotor dan melakukan “saresmi”, bersenggama, diwaktu siangnya dan hal-hal yang tercela lainnya? Bukankah orang-orang miskin juga melakukan hubungan suami istri dan tak jarang dari mereka juga berkata kotor?
Apa rahasia Allah mewajibkan umat beriman untuk melakukan puasa Ramadhan tanpa pandang bulu baik laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin asal memenuhi syarat maka ia wajib berpuasa. Jika berhalangan maka “wajib” mengganti pada bulan-bulan lainnya, kalau memang tidak sanggup melakukan puasa maka wajib membayar fidyah, memberi makan pada orang miskin yang melakukan puasa. Begitu gencar Allah memburu kita dengan amal-amal kebaikan di bulan suci tersebut sehingga sangat naïf jika puasa hanya didedikasikan kepada kaum papa. Bukankah mereka juga diwajibkan berpuasa? Lalu apa dong rahasianya?
Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim menyebutkan bahwa semua amal ibadah anak Adam akan dilipatkan gandakan menjadi sepuluh kalinya, bahkan sampai tujuh ratus kalinya, kecuali puasa. Hak Allah-lah yang pantas membalasnya dan hanya Dia-lah yang tahu seberapa besar balasan itu. Alasan Allah yang hanya berhak membalas pahala orang berpuasa karena orang tersebut meninggalkan syahwat dan makan minum karena Allah bukan karena surga maupun takut neraka mereka juga tidak merindukan belaian kasih bidadari-bidadari surga, satu tujuan mereka yakni kasih dan ridlonya Allah.
Selain itu, dipilihnya bulan ramadhan sebagai “bulan puasa” karena pada saat bulan Ramadhan inilah peristiwa agung terjadi, yakni diturunkannya al-Qur’an (nuzulul Qur’an). Al-Qur’an merupakan mukjizat, kitab suci, petunjuk sekaligus miniature peristiwa yang telah maupun yang akan terjadi terhadap alam semesta ini. Sebagaimana firman Allah,”…bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda”.
Bulan Ramadhan merupakan salah satu bulan pilihan, bulan yang dikeramatkan (di muliakan) karena pada setiap waktunya mengandung barakah, jika diibaratkan dengan kemajuan teknolgi-informasi sekarang ini, bulan Ramadhan merupakan daerah yang padat dengan sinyal-sinyal komunikasi sehingga untuk melakukan komunikasi begitu jelas, tidak terputus-putus. Dengan demikian, bulan Ramadhan merupakan bulan yang cocok untuk melakukan komunikasi (bermuajahah) dengan Allah, karena sepanjang bulan itu (baik siang maupun malamnya) Allah membuka lebar pintu rahmat-Nya. Serta disediakan jalur khusus untuk menggapai kenikmatan, jalur ini hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang melakukan puasa, jalur tersebut di kenal dengan “ar-Rayyan”.
Meskipun disepanjang waktunya, Allah telah menyebarkan rahmat-Nya akan tetapi Allah masih memberikan hari-hari yang penuh berkah, hari tersebut biasa disebut dengan “lailatul qodar”. Menurut Sa’id bin Mansar-mengutip mujahid-bahwa malam itu (lailatul qodar) adalah malam keselamatan. Syetan tidak akan mampu melakukan keburukan di dalamnya, atau melakukan suatu tipu daya. Sementara Qotada berkata, ”(pada malam itu) perkara-perkara kehidupan ditetapkan, ajal dan rizeki diputuskan, sebagaimana firman-Nya, “pada malam itu di jelaskan segala urusan yang penuh hikmah”. ( ad-Dukhan: 4).
Itulah alasannya, mengapa Allah memilih bulan ramadhan sebagai bulan untuk melaksanakan puasa. Puasa Ramadhan bukanlah puasa seperti yang dilakukan oleh masyarakat jawa yang dikenal dengan “puasa tirakatan”. Meskipun sama-sama melakukan puasa tetapi banyak perbedaannya antara lain: puasa “ kejawen” ( untuk memudahkan penyebutan bagi penulis) aturannya biasanya dibuat sendiri sehingga puasanya itu banyak macamnya seperti puasa “ngrowot”, puasa “mutih”, puasa “ngebleng”, puasa “pati geni”, dan lain sebagainya. Sedangkan puasa Ramadhan syarat dan ketentuan telah ditetapkan oleh Allah, meskipun keduanya mempunyai persamaan dalam hal tujuan, yakni memperoleh ridlo Illahi.
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang cocok untuk dijadikan “madrasah rabbaniyyah”. Madrasah ini merupakan institusi khusus yang Allah berikan kapada manusia agar dalam kehidupannya mencapai kesatuan karsa dengan sang Kholik (wihdatul irodah). Wihdatul irodah adalah sarana untuk menggapai kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan “ wihdatul irodah” sudah barang tentu jika perbuatan kita selalu bersesuaian dengan kehendak Allah. Kehendak Allah ini sudah tercantumkan dalam al-Qur’an dan As-sunah. Dalam al-Qur’an Allah selalu menyeru kepada hambanya agar senantiasa melakukakan “wihdatul irodah”, seperti dalam surat al-Baqoroh ayat 183. dalam ayat tersebut dipaparkan bahwa wihadatul irodah bisa ditempuh dengan ibadah puasa.
Dalam mewujudkan wihdatul irodah ini, Tuhan senantiasa siap membantu orang-orang yang bersungguh-sungguh berusaha ke arah itu. Menurut Sukamto dan A. Dardiri Hasyim dalam bukunya “Nafsiologi”, menuliskan bahwa wihdatul irodah bukanlah kondisi nafsiologi yang diraih melalui renungan. Namun hal itu merupakan bentuk refleksi dari suatu pengorbanan (pendekatan) lewat potensi dan aktualita dalam suatu sistem nilai. Apa yang dicintai oleh Tuhan, kita menyatu dengan kepada irodah-Nya. Dan apapun yang dibenci oleh Tuhan, kita harus menyatu pula pada iradah-Nya. Kita sebagai hamba–Nya banyak kelemahan yang kita miliki, sering keliru dalam menentukan pilihan yang sesuai dengan Tuhan. Pernyataan mereka, Sukamto dan A.Dardiri Hasyim, senada dengan ungkapan Syeh Abdul Husein Ahmad bin Muhammad An-Nuri tetapi beliau mendefinisikan “wihdatul irodah” sebagai bentuk konkrit dalam ajaran tasawuf. Karena tasawuf bukanlah suatu bentuk ilmu, tetapi moral. Karena tasawuf merupakan bentuk tentu dapat dicapai dengan perjuangan. Begitu pula bila tasawuf itu merupakan suatu ilmu tentu dapat dicapai lewat cara menuntutnya. Namun tasawuf adalah berakhlak kepada Allah dan akhlak Ilahi tak bisa dicapai dengan ilmu dan gambaran.
Madarasah rabbaniyyah adalah wahana penyucian jiwa. Kesucian jiwa merupakan syarat mutlak untuk bisa menjalin hubungan dengan Allah. Sesuai dengan Dzat-Nya, “Yang Maha Suci”. Maka untuk mendekatinya sudah barang tentu keadaan manusia haruslah suci lahir dan batin. Bukankah Allah menyukai orang-orang yang suci dan bertaubat? Selain itu orang yang menyucikan diri dan jiwanya oleh Allah di golongkan sebagai orang yang beruntung sedangkan orang yang mengotori jiwanya termasuk orang-orang yang merugi ( Q.S as-Syam: 9-10).
Penyucian jiwa merupakan langkah pertama seseorang untuk mewujudkan puncak ketauhidan. Tanpa penyucian jiwa, iman sulit mengakar dalam hati. Jiwa yang kotor merupakan hijab, penghalang, antara manusia dengan Tuhan, sehingga Imam Al-Ghazali menyebutnya sebagai debu yang mengotori cermin. Hati ibaratnya sebuah cermin sedangkan debu adalah dosa. Jika debu tidak dibersihkan tentunya akan mengganggu fungsi cermin sebagai alat bercermin. Begitu juga hati jika tak segera dibersihkan dari dosa-dosa maka fungsi hati juga akan terganggu.
Puasa Ramadan merupakan riyadlah ( latihan) untuk membuka serta melunakkan hati manusia supaya mudah menangkap spirit ketuhanan. Jika manusia yang sudah mengosongkan hatinya dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, segala perbuatan dan tindakannya sehari-hari selalu berdasarkan niat ikhlas.
Puncak dari Madarasah Robbaniyyah yaitu wihdatul irodah dengan Allah. Wihdatul irodah dalam bahasa populernya adalah ”taqwa”. Orang yang melakukan serangkain amalan–amalan bulan Ramadan tak lain bertujuan mencapai derajat ketaqwaan. semua itu merupakan sebagaian dari kurikulum yang ditawarkan dari madrasah Ramadhan, maka dari itu marilah kita mencoba menyerap hikmah yang dicurahkan Allah. Semoga kita sukses menempuh pelajarannya.
*Mahasiswa P.kimia
Fak.Saintek, UIN SUKA
Anda mungkin juga ingin membaca :
13.
Emansipasi
Bumi
14.
Manfaat Do’a
16.
Makna
Keadilan
25.
Berebut Benar
27.
Makna Lebaran
34.
Energi nuklir
37.
Valentine Day
38.
Selamatkan
Bumi
No comments:
Post a Comment