Oleh : Anwar P.
Setidaknya, bagi umat Islam tak pernah sepi dari hiruk pikuk peringatan momentum yang berdimensi tauhid maupun sejarah. Setelah berhari raya Idul Fitri, yang begitu gegap gempita perayaannya, sekarang kemeriahan itu terulang kembali, Idul Adha. Meskipun suasana agak sedikit berbeda dengan peringatan Idul Fitri, Idul Adha ternyata tak kalah serunya umat Islam memperingatinya. Kalau boleh jujur, dibanding Idul Fitri justru Idul Adha-lah yang banyak menyedot tenaga. Hal ini terbukti, ditempat saya peringatan hari raya justru dibentuk panitia yang lebih sistematis dan lebih banyak rapatnya dibandingkan dengan rapat ketika hendak memperingati hari raya Idul Fitri. Pada hari raya Lebaran paling banter rapat cuma diadakan dua kali yaitu ketika hendak memasuki bulan Ramadhan dan ketika laporan pertanggung jawaban panitia setelah Idul Fitri usai. Akan tetapi hal berbeda jika hari raya Qurban, bisa lebih dari lima kali. Maklumlah hari raya ini lebih bersifat kolektif, meskipun lebaran juga kolektif, soalnya pada hari raya Qurban berhubungan langsung dengan hewan kurban yang hubungannya dengan prosesi penyembelihan dan pembagiannya tak mungkin ditangani secara individu.
Terlepas dari itu semua, menurut penulis, justru hari raya korban jelas sekali mempunyai nilai yang lebih. Momentum berkorban bukan sekedar festival atau pasar rakyat. Peristiwa berkorban adalah hal yang sangat dramatis dan banyak pertanyaan yang ada dalam peristiwa tersebut yang perlu kita ketahui jawabannya.
Sebetulnya Tuhan menyuruh berkorban tidak hanya di era Nabi Ibrahim tetapi semenjak Nabi Adam perintah itu sudah ada. Peristiwa ketika anak Adam disuruh berkorban, yakni Habil dan Qobil, adalah awal bagaimana perintah berkorban dimulai. Meskipun dalam konteks peristiwa yang melahirkan ihwal berkorban jelas berbeda dengan berkorbannya Nabi Ibrahim. Sejarah yang penulis terima bahwa yang melatarbelakangi berkorbannya anak Adam adalah saat keduanya hendak dijodohkan kepada kedua putrinya. Tetapi Qobil protes karena merasa perjodohan itu tidak adil dan masalah perintah perjodohan itu sendiri bukan keinginan pribadi Nabi Adam melainkan perintah dari Allah SWT. Ditengah peristiwa dilematis inilah Allah menyuruh kepada Adam agar anaknya melakukan korban. Habil yang berprofesi sebagai peternak mempersembahkan ternaknya yang bagus untuk dipersembahkan kepada Tuhan, sedangkan Qobil yang berprofesi sebagai petani mempersenbahkan hasil pertaniannya yang jelek, dan bisa dipastikan korbannya Qobil tidak diterima oleh Tuhan.
Perintah berkorban itu terus berlanjut sampai Nabi Ibrahim dan dari peristiwa berkorbannya Nabi Ibrahim ini umat Islam berittiba’. Peristiwa korbannya Nabi Ibrahim tak sederhana seperti peristiwa berkorbannya anak Adam tadi. Tak tanggung-tanggung Allah menyuruh Ibrahim mengorbankan Anak kesayangannya, Ismail. Kalau dibayangkan ini sungguh diluar akal manusia. Masak ada tho Tuhan yang dikatakan sebagai Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang tersebut menyuruh seorang bapak untuk menyembelih anaknya sendiri dengan tangannya sendiri pula, apa ini bisa diukur dengan akal sehat? Kalau hanya diukur dengan akal sehat jelas ini sangat tidak masuk akal, muskyil, apalagi perintahnya hanya lewat mimpi yang berulang-ulang, mendingan Tuhan itu mendatangi langsung Ibrahim dan berkata, ”Ibrahim sembelih anakmu sebagai bukti cintamu pada-Ku”, mungkin ini masih bisa diterima. Tapi kenyataannya perintah itu hanya lewat mimpi. Seumpama perintah itu ditujukan pada kita, apalagi penulis yang masih dalam tataran iman ecek-ecek, tentu akan muncul pikiran, “wow Tuhan ki kepiye to mosok anakku sing ganteng dewe tak belih, wong gawene wae angel!”. Tapi syukurlah perintah itu tak dibebankan pada penulis, melainkan Nabi Ibrahim yang dalam sejarahnya manusia yang kritis dalam hal bertauhid dan pantaslah kalau Beliau menyandang orang yang hanif.
Bersyukurlah kita ternyata perintah menyembelih anak hanya sekedar ujian bagi Nabi Ibrahim dan akhirnya Allah menggantinya dengan seekor domba. Coba bayangkan kalau peristiwa itu Allah tak menggantinya dengan domba dan Nabi Ismail jadi disembelih tentunya kita akan bertanya kira-kira masih ada gak ya orang yang beritiba’ padanya, lha wong disuruh menyembelih kambing saja masih banyak yang gak sanggup apalagi manusia, bisa-bisa Tuhan akan dihadapkan pada sidang HAM dan ayat perintah berkorban bisa diajukan ke MK untuk diuji lagi.
Perintah menyembelih Ismail oleh Ibrahim dan digantikan dengan domba banyak menyimpan makna. Dalam tafsir al- Misbah-nya, Qurais Shihab menafsirkan ayat yang menceritakan peristiwa saat Ibrahim menyembelih anaknya dan digantikan dengan domba sebagai sebuah ujian terhadap Ibrahim untuk menguji kecintaannya terhadap Allah. Disamping itu ternyata Allah ingin men-dekonstruksi tata cara berkorban kala itu.
Nabi Ibrahim hidup pada masa persimpangan pemikiran manusia menyangkut pengorbanan manusia kepada Tuhan. Ketika itu hampir di seantereo dunia, masyarakat manusia rela mempersembahkan manusia sebagai sesaji kepada tuhan yang disembah. Di mesir misalnya, gadis cantik dipersembahkan kepada dewa sungai Nil. Di Kan’an, Irak, yang dipersembahkan kepada dewa Baal adalah bayi; berbeda dengan suku Aztec di Meksiko, mereka mempersembahkan kepada dewa Matahari, jantung dan darah manusia. Di Eropa Timur, orang-orang Viking yang menyembah dewa Perang yaitu yang mereka namai “Odion”, mempersembahkan pemuka agama mereka kepada dewa itu. Demikianlah dalam berbagai tempat di bumi ini termasuk di Jawa juga dikenal korban yang mempersembahkan manusia untuk sesembahannya seperti kebiasaan suku Tengger masa silam dengan cara melempar manusia di kawah Bromo. Legenda tentang asal-usul padi yang di percayai masyarakat Jawa merupakan jelmaan Dewi Sri tatkala itu merelakan dirinya sebagai persembahan bagi para Dewa karena tatkala itu masyarakat sedang mengalami paceklik dan para Dewa meminta korban manusia agar paceklik ini segera berakhir.
Pada masa Nabi Ibrahim itu muncul ide yang menyatakan tidaklah wajar mempersembahkan manusia kepada Tuhan. Manusia terlalu mahal untuk itu. Nah, melalui perintah Allah kepada Ibrahim, seolah menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang mahal jika panggilan Ilahi itu telah datang. Anak satu-satunya yang lebih dicintai oleh seorang ayah dari pada dirinya sendiri-jika panggilan telah datang, maka sang anak pun harus dikorbankan, dan itulah yang dibuktikan oleh Nabi Ibrahim. Tetapi selanjutnya Allah membatalkan penyembelihan itu, setelah tersanggah dalih tentang kemahalan “jiwa manusia”. Allah sekali lagi bermaksud mengajarkan bahwa memang jiwa manusia tidak boleh dijadikan sesaji kepadanya, hanya saja larangan itu bukan karena manusia terlau mahal-sebagai mana dalih manusia, tetapi karena Allah kasih kepada manusia. Bukankah kasih Tuhan lebih dahulu dibanding dengan murka-Nya dan manusia yang sering berprasangka bahwa Tuhan itu murka-Nya lebih mendahului dibandingkan dengan kasih-Nya sehingga sering kali tercipta dalam benak manusia Tuhan itu sebagai sosok yang seram dan berwajah cemberut. Kasih sayang-Nya kepada makhluk ini, menjadikan Dia melarang persembahan manusia sebagai korban. Bukan larangan berkorban, dan karena itu kesediaan berkorban dengan apa saja dilambangkan dengan penyembelihan kambing atau unta, sapi dan domba yang sempurna (M. Qurais Shihab: tafsir Al-Misbah surat ash-Shaffat ayat 37).
Dengan demikian kita bisa mengambil makna dari peristiwa Ibrahim yang dilematis itu. Mengapa Tuhan menyuruh menyembelih manusia tetapi langsung digantikan dengan domba. Ini semua tidaklah menggambarkan bahwa Tuhan senang memainkan manusia atau bersikap mencla-mencle, tidak konsisten. Dari itu pula kita bisa tahu hewan korban bukanlah ukuran patuhnya dan diterima amal ibadah manusia, maksudnya hanya dengan menyembelih hewan solah-olah tugas ibadah kita selesai dan merasa kita masuk dalam kategori manusia taqwa, sekali lagi bukan. Kalau ketaqwaan hanya diukur dari entitas apa yang kita korbankan dan Allah menerima begitu saja apa yang kita lakukan itu, tentunya Ia akan memilih korban dari wujud manusia. Mengapa? Soalnya nilai manusia lebih tinggi bila dibandingkan dengan seekor kambing, unta, maupun sapi. Begitu pula jika diukur dari rasa eman-nya manusia, tentunya manusia akan lebih mencintai anaknya dibandingkan dengan mengorbankan hewan ternak. Bila rasa eman menjadi standar iman tentu Allah akan memilih korban dari sesuatu yang paling dicintai dari manusia.
Untunglah Allah bukanlah Tuhan yang suka mengukur derajat cinta hambanya hanya dari entitas-entitas belaka melainkan hakikat yang terdalam yakni keikhlasan. Soalnya masalah ikhlas adalah hal yang tersulit diwujudkan dan sulit untuk didefinisikan karena yang mampu mendefinisikan hanyalah manusia dan Tuhannya. Ikhlaslah yang dituntut oleh Allah seperti yang difirmankan-Nya: “sekali-kali tidak dapat mencapai Allah daging-dagingnya dan tidak juga darah-darahnya, tetapi yang dapat mencapainya adalah ketakwaan kamu…(surat Al-Hajj:37).
Dengan mengetahui asal usul bagaimana korban itu disyariatkan oleh Allah kita bisa memaknai bahwa korban mempunyai makna penting yang berhubungan dengan sifat alamiah manusia yang mencintai materi (anak, kekayaan), hak milik yang selama ini dimiliki manusia dan sering ditangisi jika kehilangan dan yang paling penting adalah sifat Allah itu sendiri, kasihnya, serta Allah tidak membutuhkan harta benda yang kita punyai itu karena pada dasarnya Allah amat kaya dan tak perlu sogokan dari manusia. Seumpama manusia tak ada yang mau berkorban kekuasan serta kekayaan apalagi kemuliaannya akan berkurang, begitu juga sebaliknya jika manusia semesta ini berkorban untuk-Nya kemulian juga tidak akan bertambah hanya gara-gara manusia berkorban. Allah terlalu agung untuk dikhianati oleh perilaku manusia dan korban yang sering kita lakukan secara terorganisir ini bukanlah festival, pesta rakyat yang meriah dengan penyembelihan kambing, unta, maupun sapi terus meriah dibagikan dan ramai-ramai memasak daging itu. Sekali lagi ini bukan pesta tetapi sebuah momentum yang sangat dalam dan sarat dengan “ibrah”. Kita mampu menyembelih kebinatangannya binatang seharusnya kita juga harus mampu menyembelih sifat kebinatangan kita.
Anda mungkin juga ingin membaca :
13.
Emansipasi
Bumi
14.
Manfaat Do’a
16.
Makna
Keadilan
25.
Berebut Benar
27.
Makna Lebaran
34.
Energi nuklir
37.
Valentine Day
38.
Selamatkan
Bumi
41.
......
No comments:
Post a Comment