Menuju masyarakat madani atau medeni?*
Suasana pesta demokrasi mulai terasa, di sana-sini mulai terlihat geliatnya. Di pinggir-pingir jalan mulai tumbuh subur berbagai baliho, spanduk dari para caleg dan partai kontestan pemilu. Di TV, para pejabat mulai terlihat sibuk kesana-kemari menjalin hubungan, menebar pesona, terhadap masyarakat. Sibuk menjalin koalisi dengan partai lain. Sibuk mengatur jadwal cuti agar tidak terjadi kejumbuhan antara tugas kemasyarakatan dengan kepentingan partai, meskipun telah sering kali antara tugas kemasyarakatan memang rutin tebengkalai walau tak ada pemilu. Ini adalah wajar dalam atmosfir pemilu yang notabenenya berujung pada penggalangan simpatisan. Sungguh, sebuah kegiatan yang menyedot berjuta hingga bermilyar joule energi dan sumber kalori yang harus dipersiapkan untuk menggerakan mesin pesta demokrasi tahun ini.
Pemilu 2009 bukanlah kegiatan parsial, kegiatan yang hanya menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan, tetapi kegiatan yang bersifat integral: kegiatan yang menyatukan dan membawa kembali kepada keadaan kesejatian kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana di dalamnya tidak hanya manusia saja yang hidup melainkan makhluk Allah yang lain juga ikut serta hidup di dalamnya. Sehingga, kalaupun ada kesempatan dan seandainya bisa, makhluk-makluk yang lain ini mempunyai hak untuk memilih "manusia pilihan" yang kelak dijadikan pemimpinnya.
Sejatinya, kalau kita jujur dan sadar, pemilu bukanlah sekedar memilih manusia kemudian dijadikan pemimpin manusia pula. Memilih pemimpin berarti memilih "kholifah" yang memimpin "bumi lokalnya" dimana masyarakat itu berpijak. Selama ini, kita hanya sadar dan tak mau beranjak kekesadaran yang lain, pemimpin kita pilih hanya untuk mewakili kepentingan pribadi kita sebagai manusia, meskipun kita sendiri tak pernah utuh menjadi manusia. Tak ayal buah sikap kita ini berbuah terhadap bencana-bencana yang sekarang sering nongol di bumi pertiwi ini. Degradasi lingkungan serta pendistorsian sifat kemakhukan makhluk lain adalah gambaran bagaimana ego kita mendominasi dalam setiap kegiatan kita, tak luput pemilu. Memilih pemimpin yang hanya untuk mewakili manusia berarti mempersiapkan diri kita, tanah air kita untuk menerima berbagai celaan, untuk tidak mengatakan azab, dari Allah. Allah sendiri mengatakan bahwa penciptaan manusia adalah selain untuk berbakti kepada-Nya juga untuk memimpin, mengelola bumi, 'khlolifatul fil ardhi", yakni memimpin batu, gunung samudera, hewan, udara, maupun isi alam semesta yang lain untuk dibawa menuju titik "roji'un", menyembah kepada Allah, kembali kepada cinta dan kekuasaan-Nya.
Menjadi pemimpin berarti menjadi "hamengku buwono". "Hamengku" bukanlah berarti menguasai. "Hamengku" berasal dari kata "pangku, mangku" yang dalam bahasa jawanya lebih terkesan sebagai suatu keharmonisan, rasa memiliki, mencintai dan mendidik yang di “pangku”. Jika seorang ibu "memangku" anaknya maka akan terjalin komunikasi, kasih sayang, lagu timang-timang yang di lantunkan dari "pemangku" terhadap yang di pangku dengan tujuan menanamkan rasa tentram yang tidak hanya mengena pada kondisi fisik semata melainkan juga menembus ke relung psikologis dan spiritual "sang anak". Demikian halnya dengan "pemimpin" dia harus "memangku", bukan menguasai, kekuasaan lokalnya, sehingga ada "komunikasi mesra" antara pemangku dengan yang di pangku. Harus dingat pula, bahwa memangku bukanlah sekedar menyediakan diri kita sebagai alas tempat" bokong/pantat bocah", bokong yang mengenai diri kita hanyalah mewakili keseluruhan dari raga, akan tetapi hakikatnya memangku adalah "ngemong" dari keseluruhan diri, nafs dan ruh, seseorang. Memimpin juga "ngemong" jiwa dan raga rakyat serta mengasuh makhluk lainya. Dengan konsep " hamengku" diharapkan proses pemilu mampu membawa masyarakat Indonesia menuju masyarakat madani, setidaknya begitu.
Prof. Dr. Maqvib Al Attas'mujtama' madani menuliskan bahwa "madani" mempunyai dua arti. Pertama, masyarakat kota, karena madani adalah adopsi dari kata bahasa arab, madinah berarti kota. Kedua, masyarakat yang beradaban, karena madani adalah juga merupakan adopsi dari kata arab "tamaddun" atau madinah yang berarti: peradaban, dalam bahasa Inggris dikenal dengan civillity/civilitation.
Di Indonesi, istilah masyarakat madani mengalami penerjemahan yang berbeda-beda dengan sudut pandang yang berbeda pula, seperti masyarakat madani sendiri, masyarakat sipil, masyarakat kewargaan, masyarakat warga dan civil society (tanpa penerjemahan).
Konsep dan pengejawantahan (direalisasikan) masyarakat madani pertama kali oleh Nabi muhammmad saw. Nabi telah merintis dan memberi teladan kepada umat manusia dalam membangun masyarakat madani, yaitu masyarakat yang baradaban (ber-madaniyah) karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Madani pada hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat tidak kenal hukum dan terhadap supremasi kekuasan pribadi seorang penguasa.
Hasilnya berupa suatu tatanan sosial-politik yang menurut Robert N. Bellah sangat modern. Bahkan, ia mengatakan terlalu modern untuk saat itu sehingga orang Arab, di mulai Muawiyyah, meniggalkan pelaksanaan penuh tatanan Islam itu dan kembali ketatanan pra-Islam. Segi-segi modernitas Madinah itu, menurut Bellah, adalah tingkat komitmen yang tinggi, keterlibatan dan partisipasi dari seluruh posisi kepemimpinan terhadap ukuran kecakapan pribadi. Hal ini akan dinilai berdasarkan pertimbangan yang bersifat universal dan dilambangkan dalam percobaan, untuk melembagakan puncak kepemimpinan yang tidak bersifat keturunan. Karena itu, kata Bellah lebih lanjut, Madinah merupakan suatu model bangunan masyarakat nasional modern yang lebih baik dari yang telah diimajinasikan, dan menjadi contoh sebenarnya bagi nasionalisme partisipatoris yang egaliter.
Tantangan masa depan demokrasi di negeri kita ialah bagaimana mendorong berlangsungnya proses-proses yang diperlukan untuk mewujudkan nilai-nilai madani itu. Dengan kata lain, tantangannya ialah bagaimana mengupayakan agar jiwa dan semangat madaniyah atau keadaban benar-benar menjadi pandangan hidup (way of life) dalam kehidupan sehari-hari.
Pemilu 2009 menuju masyarakat madani?
Proses pemilu yang merupakan salah satu bagian dari demokrasi, sebagai bagian dari musyawarah (bahasa Arab: musyawarah, dengan arti saling memberi isyarat), harus dimaknai sebagai keinsyafan makna dan semangat musyawarah menghendaki atau mengharuskan adanya keinsyafan dan kedewasaan untuk tulus menerima kemungkinan kompromi, atau bahkan kalah suara. Semangat musyawarah menuntut kesediaan para pesertanya untuk menerima kemungkinan terjadinya partial functioning of ideals, yaitu prinsip bahwa dalam demokrasi belum tentu, dan tidak harus, seluruh keinginan atau pikiran kita akan diterima dan dilaksanakan sepenuhnya. Salah satu chek list semangat ini ialah sebarapa jauh kita mampu mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menerima perbedaan pendapat, dan kemungkinan mengambil pendapat yang lebih baik.
Kasus-kasus seputar sebelum dan sesudah pemilu yang telah, dan akan, berjalan sebenarnya membuat kita ragu akan cita-cita mulia pemilu. Kerusahan dalam kampanye, kecurangan proses pengambilan suara hanya membuat kita ketar-ketir terhadap kelangsungan hidup berkebangsaan. Meskipun terlalu kita sering menyaksikan ikrar kampanye damai, siap menang siap kalah, tetapi semua itu hanya perilaku di bibir saja. Sikap ketidakdewasaan kita ternyata lebih dominan dibanding kedewasaan kita. Kekalahan memang pil pahit yang harus siap ditelan semua pihak yang kalah dalam proses demokrasi. Oposisi memang perlu guna mengontrol pemerintahan, tetapi makna oposisi yag kita tangkap selama ini hanyalah sebuah ketidaksetujuan yang membuta, sebuah kekecewaan akibat dirinya, partainya kalah. Kalu sikap ini terus tertanam dalam kehidupan politik kita maka jangan terlalu berharap banyak mengenai kehidupan masyarakat madani.
Kerjasama dan sikap antar warga masyarakat yang saling mempercayai itikad baik masing-masing, diiringi jalinan dukung-mendukung secara fungsional antar berbagai unsur kelembagan kemasyarakatan yang ada merupakan segi penunjang efisien untuk demokrasi. Masyarakat yang terkotak-kotak dan masing-masing penuh curiga kepada yang lainya tidak saja mengakibatkan tidak efisiennya cara hidup demokratis, tapi juga dapat menjurus pada lahirnya pola tingkah laku yang bertentangan dengan nilai-nilai asasi demokrasi. Pengakuan akan kebebasan nurani, persamaan hak dan kewajiban bagi semua dan tingkah laku penuh percaya kepada itikad baik orang dan kelompok lain, mengharuskan adanya landasan pandangan kemanusian yang positif dan optimis. Pandangan kemanusian yang negatif dan pesimis akan sulit menghindari perilaku curiga dan tidak percaya kepada sesama manusia, yang kemudian berujung pada keengganan bekerja sama.
Sifat pemaaf dan toleransi serta kemauan akan bekerjasama merupakan syarat menuju kekehidupan masyarakat madani tanpa itu kita hanya akan sebatas membaca tulisan dan bermimpi mengenai kehidupan yang beradab. Pemilu hakikatnya mencari benang merah mengenai aspirasi masyarakat yang memang tidak bisa sama dalam segalanya tetapi mempunyai ujung cita-cita yang sama yakni berkehidupan yang tentram dan berkeadilan. Semoga pemilu 2009 memang sebagai media untuk meluruskan benang kusut cita-cita masyarakat Indonesia. Wa Allhu a'lam.
Ahmad Saifullah. Cs. Dan Jagad Pamungkas
*Artikel ini merupakan hasil diskusi kuliah Mahasiswa Kependidikan Islam UIN SUKA serta diolah dari berbagi sumber yang mendukung.
Anda mungkin juga ingin membaca :
13.
Emansipasi
Bumi
14.
Manfaat Do’a
16.
Makna
Keadilan
25.
Berebut Benar
27.
Makna Lebaran
34.
Energi nuklir
37.
Valentine Day
38.
Selamatkan
Bumi
41.
......
No comments:
Post a Comment